Loading...
INDONESIA
Penulis: Wim Goissler 22:49 WIB | Senin, 18 Desember 2017

John Jonga: Bagi RI Papua Tak Lebih Penting dari Palestina

Pastor John Jonga (Foto: Wim Goissler/satuharapan.com)

JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Pastor John Jonga yang dipandang sebagai rohaniawan yang banyak merekam dan menyampaikan suara rakyat Papua yang termarginalkan, menyampaikan sindiran bahwa bagi Indonesia Papua tidak lebih penting dari Palestina.

Ungkapan itu ia sampaikan setelah secara panjang lebar menjelaskan berbagai pengabaian persoalan di Papua oleh pemerintah Indonesia (terutama menyangkut pelanggaran HAM) dan pada saat yang sama, Indonesia justru pelopor untuk menyuarakan HAM rakyat Palestina di dalam dan di luar negeri.

Peraih Yap Thiam Hien Award 2009 itu mengungkapkan sindirannya saat menjadi salah  satu pembicara pada Seminar Nasional Tiga Tahun Pemerintahan Jokowi-JK untuk Papua,  di Auditorium LIPI, Jakarta, hari ini (18/12).

"Dalam penegakan hukum dan HAM, pemerintah (Jokowi) sudah bentuk tim waktu zamannya Pak Luhut (Luhut Pandjaitan, Red). Tapi sampai saat ini tidak ada bunyi. Gerakannya  kayak tidak ada apa-apa. Jadi apa yang mau diharapkan dari penegakan hukum. Satu pun tidak ada di zaman Jokowi. Masih ada penyisiran di Nduga. Ada 4 orang yang sudah ditembak, entah itu masih hidup atau sudah meninggal. Tetapi peristiwa ini menambah panjang korban pelanggaran HAM di Papua. Saya kira Papua tidak lebih penting daripada Palestina," kata pastor bernama asli Yohanes Jonga, yang memuji LIPI sebagai lembaga yang telah merekam dengan akurat aspirasi rakyat Papua.

Mengawali pembicaraannya tentang tiga tahun kebijakan pemerintahan Jokowi-JK  terhadap Papua, John Jonga mengeritik komitmen politik pemerintah untuk menyelenggarakan dialog Jakarta-Papua, sebagaimana yang diusulkan oleh LIPI. "Komitmen politik pemerintah RI memang sudah jelas. Bahkan didengungkan di PBB. Tetapi komitmen yang jelas itu tidak ada realitasnya. Sampai saat ini omong tentang dialog tidak ada. Apakah waktu Pak Jokowi datang ke Papua lalu tanya 3-4 orang, kemudian orang itu menjawab dan diberi hadiah, apa itu dialog?" tanya pria yang sudah bertugas di Papua sejak tahun 1985.

"Apakah dialog yang dimaksud adalah hasil kunjungan untuk mengangkat dan mendengar keprihatinan dan di Tanah Papua? Saya ikuti betul setiap kali kunjungan Presiden ke Papua. Karena salah satu distrik di tempat saya 100 persen memilih Jokowi. Ini contoh, saya hanya mengangkat realitas yang ada. Soal satu harga BBM. Begitu Jokowi pulang (setelah mengunjungi Papua), satu dua minggu kemudian harga BBM kembali 'harga normal.' Lalu siapa yang monitoring ini. Sementara bupatinya lebih banyak di Jakarta dan di Jayapura," kata pria yang pernah diancam akan dikubur hidup-hidup di dalam tanah sedalam 700 meter tatkala membela korban penembakan aparat di Papua.

"Kami di Papua sekarang hutan sagu sudah habis. Di Riau, ada provinsi sagu. Sementara di Papua sagu dibakar, jenis kebijakan apa ini?. Bagaimana jutaan ha tanah di Merauke sebelumnya menghasilkan sagu, sudah dibabat, dan tidak tahu tanam apa?."

Ia juga menjelaskan berbagai ironi dan kesenjangan opini yang dibangun oleh pemerintah dengan realitas yang ada. "Soal pemenuhan hak-hak dasar bagi masyarakat Papua. Ini ngeri sekali. Pemerintah mengatakan sudah 2,8 juta penduduk yang menerima Kartu Indonesia Sehat. Dikatakan juga bahwa anak-anak juga sudah mendapatkan manfaat dari Kartu Indonesia Pintar. Realitas di lapangan, kami melihat, tidak ada program kesehatan  dijalankan di kampung-kampung bagi orang Papua. Di sebuah distrik, ada 68 orang meninggal karena sejak lahir tidak diimunisasi. Petugas Puskesmas tidak ada. Obat juga sudah kadaluwarsa," kata dia.

"Kami merasakan sekolah itu hanya nama. Gurunya tidak ada. Waktu kenaikan kelas baru gurunya datang. Semua orang tahu itu. Menteri tahu."

"Semua solusi atas masalah Papua ada di Papua. Tetapi orang Papua sering dicap sebagai pro Papua merdeka. Ketika teman saya almarhum Muridan (peneliti LIPI tentang Papua) sakit di Depok, saya pergi membesuknya dan saya katakan, Aduh Mas, kita punya persoalan. Saya membuat surat kepada Pak SBY, situasi sosial yang harus ditangani negara. Tetapi tidak sampai. Pada 16 Juli saya membawa surat kepada Kantor Staf Kepresidenan (KSP), ada 5 halaman. Tidak sampai juga. “

Menurut dia, instansi lokal di Papua juga saat ini hanya jadi simbol. Ada banyak orang Papua omong tentang Otsus tetapi dana Otsus itu tak ubahnya seperti apa yang mama-mama di Biak katakan, bahwa uang Otsus itu seperti melihat pemandangan awan di puncak gunung. "Siapa yang bisa menangkapnya?"

Tentang akses jurnalis asing ke Papua juga ia tunjukkan realitasnya. Jika pemerintah mengatakan akses jurnalis asing ke Papua sudah dibuka, "Saya tidak pernah lihat yang namanya jurnalis asing. Pak Jokowi waktu datang ke Papua pernah mengatakan, 'Mulai sekarang jurnalis asing bebas masuk Papua.'Tetapi, sampai sekarang mereka belum ada yang datang."

Sebagai kesimpulan, John Jonga mengatakan ada jarak yang terlalu jauh antara komitmen pemerintah dengan kenyataan. Menurut dia, kebijakan pemerintah sepatutnya mendengarkan aspirasi masyarakat dan berlandaskan data di lapangan. "Pasar Mama Mama yang dicanangkan Jokowi pembangunannya, sampai sekarang belum apa-apa. Apa yang dirancang di Papua, diubah lagi di Jakarta. Pasar Mama-Mama di Papua sesungguhnya tidak perlu berlantai dua atau tiga. Mama-mama hanya ingin tempat duduk di lantai. Kita lihat saja, kaca di lantai dua dan tiga itu mungkin akan hilang," kata dia.

John Jonga sekali lagi menekankan perlunya pemerintah mengadakan dialog Jakarta-Papua. Dan ia merujuk pada disain besar dialog yang sudah disusun oleh LIPI. "Dulu saya bertanya kepada Muridan, apakah dia sudah omong dengan Presiden (ketika itu SBY) tentang dialog? Muridan jawab: Terlalu banyak presiden di Republik ini. Jadi SBY yang jenderal saja masih juga ada presiden-presiden kecil di bawahnya. Padahal LIPI sudah memberikan beberapa petunjuk yang bagus. Siapa saja yang menjadi  perwakilan dialog, sudah ditawarkan, siapa pesertanya, siapa yang jadi mediator,sudah lengkap tinggal menjalankan. Hanya saya tidak tahu kenapa (Jakarta) tidak mau dialog."

Editor : Eben E. Siadari


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home