Loading...
DUNIA
Penulis: Eben Ezer Siadari 20:57 WIB | Minggu, 01 Maret 2015

Julissa Arce, Wanita Karier Sukses Berbekal Filipi 4:6

Julissa Arce (Foto: Bloomberg/BusinessWeek)

NEW YORK, SATUHARAPAN.COM Jika ada satu ayat Alkitab yang paling berharga bagi Julissa Arce, itu adalah Filipi 4:6. Bunyinya: Janganlah hendaknya kamu kuatir tentang apapun juga,  tetapi nyatakanlah dalam segala hal keinginanmu kepada Allah dalam doa dan permohonan dengan ucapan syukur.

Wanita yang berasal dari Taxco,  sebuah kota kecil di Meksiko,  dan kemudian  berhasil menjadi salah satu Vice Persident di salah satu bank investasi terbesar di AS, Goldman Sachs, ini  memfavoritkan ayat ini bukan hanya karena itu menenangkan jiwanya dan menjauhkannya dari segala kekhawatiran, tetapi juga karena hidup yang dijalaninya memang penuh dengan hal-hal yang sangat mengkhawatirkan. Selama bertahun-tahun ia tinggal di AS dengan tidak memiliki surat-surat imigrasi yang sah alias  menjadi imigran gelap. Setiap hari adalah mimpi menakutkan baginya, jangan-jangan orang tahu akan ketidaklengkapan surat-surat kewarganegaraannya.  

Ketika pada tahun 2007 ia mendengar kabar ayahnya meninggal dunia di Meksiko, ia yang kala itu sedang dalam perjuangan menapak tangga karier di Goldman Sachs, hanya bisa diam terpaku dan menenangkan diri dengan Filipi 4:6 itu. Ia tidak bisa pulang ke Meksiko, sebab apabila ia melakukannya, ia akan ketahuan tidak memiliki surat-surat kewarganegaraan yang sah. Bisa jadi ia tidak akan bisa kembali lagi ke AS. Maka ia merelakan ayahnya berpulang tanpa sempat melihat jasadnya untuk terakhir kalinya.

Jatuh Cinta pada Amerika Serikat

Bloomberg mengangkat profil Julissa Arce lewat tulisan yang cukup panjang pekan ini, dengan judul How an Undocumented Immigrant From Mexico Became a Star at Goldman Sachs . Tulisan ini tampaknya untuk menggambarkan sebuah sisi yang unik dari kehidupan kaum imigran di AS, isu yang terus bergulir secara kontroversial di Negara Paman Sam itu. Dari hidup Arce tergambar bagaimana AS dipandang sebagai lahan penuh harapan oleh para imigran. Dan, pada saat yang sama, tergambar pula bagaimana sistem imigrasi di AS yang selalu berusaha untuk diakali dan dicari titik-titik lemahnya, demi dapat menggapai sukses di negeri itu.

Arce berusia 11 ketika kedua orang tuanya memboyongnya ke  San Antonio, AS. Mereka berasal dari Taxco, sebuah kota lebih kurang seratus mil dari Mexico City. Kedua orang tuanya sering bepergian ke Texas AS, untuk berdagang perhiasan. Dan sekali waktu, Arce dibawa serta, dan mereka menetap di AS dengan visa turis.

Arce kemudian disekolahkan di sebuah sekolah Katolik. Ia dengan cepat menonjol sebagai remaja yang pintar Matematika. Ia juga lekas akrab dengan kawan-kawannya. Ia aktif bermain basket, ikut tim tari dan terlibat dalam dewan siswa di sekolahnya.

Tetapi pada usia 14, ia harus berada di persimpangan. Visa turisnya habis masa berlakunya. "Saya tahu apa artinya itu. Saya jadi penduduk yang tidak tercatat," kisah perempuan dengan rambut panjang hitam ini.

Semula ia membujuk kedua orang tuanya agar mengizinkan dirinya diadopsi oleh orang tua sahabatnya, Tiffany. Tetapi orangtuanya tidak menanggapinya, sama dengan dirinya yang hanya menyambut setengah hati ketika disarankan membayar seorang gay yang bekerja untuk keluarganya untuk menikahinya di usia enambelas demi mendapat kewarganegaraan.

Kecintaannya yang sangat besar kepada AS, membuatnya nekad untuk tetap tinggal di negeri itu tanpa dokumen kewarganegaraan yang sah. Ketika ia duduk di bangku SMA dan mengirimkan surat pendaftaran ke universitas yang ia inginkan, ia terpaksa tidak mengisi kolom nomor kartu jaminan sosial. Aplikasinya pun itu ditolak.

Namun, rupanya keberuntungan menghampirinya. Pada tahun 2001, persis ketika ia lulus, sebuah peraturan baru di AS terbit, yang mengizinkan orang yang tidak memiliki dokumen kewarganegaraan yang lengkap dapat diterima di universitas negeri. Dan dia pun berhasil masuk ke University of Texas di Austin. Ia mengambil jurusan Keuangan dengan alasan, "Persamaan Matematika sangat masuk akal bagi saya. Selalu ada jawaban yang benar. Tidak ada yang ambigu disitu. Saya selalu menyukainya," kata dia.

Pada tahun yang sama, kedua orang tuanya meninggalkan AS dan kembali ke Meksiko. Sebagai bekal bagi Arce untuk melanjutkan studi, mereka mewarisinya lapak bisnis kue di pasar San Antonio. Setiap hari Jumat Arce naik bus menempuh jarakl 80 kilometer ke pasar San Antonio untuk menjual kue.  Lalu pada hari Minggu ia kembali ke Austin dengan uang yang ia pergunakan untuk membayar sewa apartemen dan uang kuliahnya.

Tetapi masalah muncul ketika kontrak lapak kue itu habis dan ia tidak bisa melanjutkannya. Praktis ia tidak memiliki pekerjaan lagi. Padahal, untuk membiayai kuliahnya ia harus punya uang. Dan uang hanya bisa didapat bila ia bekerja. Sedangkan untuk melamar kerja, ia harus punya surat-surat kewarganegaraan yang lengkap.

Magang di Goldman Sachs

Ia kemudian menceritakan kesulitannya itu kepada teman satu kamarnya. Tak dinyana, pacar temannya tersebut dapat membantunya. Ia kemudian diperkenalkan kepada seorang ibu yang dengan membayar biaya yang diperlukan, ia memperoleh dokumen-dokumen kewarganegaraan yang dibutuhkannya. Meskipun itu adalah dokumen palsu, tetapi lumayan berguna.

Ia  mencoba mencari pekerjaan  sambil melanjutkan kuliah. Dan ternyata berhasil. Diantaranya dengan menjadi staf pelayanan konsumen pada malam hari pada sebuah perushaan kartu kredit. Ia juga bekerja pada sebuah organisasi klub sepak bola. Dengan melakoni pekerjaan itu, ia melanjutkan kuliahnya.

Sampai akhirnya ia melihat ada lowongan kerja di sebuah bank di New York, yang menawarkan gaji $10,000. Bank itu adalah Goldman Sachs.

Goldman Sachs adalah lembaga keuangan yang bergerak di bidang investasi dengan klien orang-orang terkaya di AS dan seluruh dunia. Lulusan terbaik dari berbagai universitas di AS bermimpi untuk bekerja di sana. Pada tahun 2013, untuk bisa menjadi satu dari  350 analis di unit perbankan investasi ini, seseorang harus menyingkirkan  17.000 pelamar lainnya. Diterima di perusahaan ini lebih tipis kemungkinannya daripada diterima di  Universitas Harvard.  Catatan lainnya, 9 dari 10 pejabat eksekutif perusahaan ini adalah laki-laki.

Dan Arce ternyata diterima di perusahaan ini. Awalnya adalah sebagai pegawai magang melalui program yang disebut Sponsors for Educational Opportunity, yang diperuntukkan bagi mahasiswa berkulit hitam dan Hispanik. Di sini ia bergabung dengan sebuah tim yang  menciptakan dan menjual produk-produk derivatif bagi klien-klien kaya.

Setahun bekerja sebagai pegawai magang, ia kemudian menjadi pegawai tetap, tatkala ia menamatkan kuliahnya. Kegigihannya dengan cepat membuatnya jadi orang penting di perusahaan itu. Dalam waktu singkat ia menjadi analis yang laporannya setiap pagi sebelum pukul tujuh sudah harus diterima oleh  managing director Goldman Sachs.

"Julissa adalah tipe seseorang yang dibutuhkan oleh perusahaan di Wall Street," kata seorang mantan rekan kerjanya, Jodi Salsberg. "Seseorang yang bekerja dengan sangat keras dan loyal pada perusahaan."

"Klien-klien kami dengan cepat mencari tahu dan ingin mendapat pelayanannya," kata koleganya yang lain, David Hughers. "Ia juga dengan sabar membimbing kolega-kolega yang lebih muda," kata dia.

Yang mengherankan bagi Arce adalah sepanjang kariernya di Goldman Sachs, tidak sekalipun ia ditanyai mengenai dokumen-dokumen kewarganegaraannya.  Justru yang membuatnya selalu stres  adalah apabila ia menerima surat-surat dari Dinas Pajak AS. Ia berusaha berpura-pura tidak pernah menerima surat-surat itu. Tetapi sesungguhnya ia selalu cemas.

Memperjuangkan Hak Imigran

Permasalahan kewarganegaraannya baru benar-benar tidak lagi menghantuinya ketika ia menikah dengan kekasihnya yang berkewarganegaraan AS. Dan itu sebetulnya bukan sesuatu yang direncanakan.

Setelah ayahnya meninggal pada tahun 2007,   Arce sempat bertekad untuk pulang ke kampung halaman, ke Meksiko, dan tidak akan kembali lagi. Ia merasa lelah dan jenuh bekerja di Goldman Sachs, walaupun gajinya menggiurkan. Mendengar rencana nekad itu, pacarnya rupanya takut kehilangan dia.  Lagipula ada cara lain agar Arce dapat lepas dari permasalaan kewarganegaraan. Cara itu adalah ketika pacarnya  melamarnya untuk dinikahi, yang tentu saja diterimanya dengan senang hati. Dan dengan seketika permasalahan kewarganegaraannya selesai. Arce pun menjadi warga negara AS.

Pada tahun 2011, Arce mengakhiri karier di Goldman Sachs dengan penghasilan $300,000- $400,000 per tahun. Ini tentu bukan penghasilan main-main bagi seorang yang dulunya imigran gelap dan  anak penjual kue dari Meksiko. Namun, sebagaimana pengakuannya sendiri, justru perasaan hampa semakin sering menggelayuti pikirannya di puncak karier di perusahaan yang menekankan persaingan itu.

Setahun kemudian, setelah sempat berlibur ke berbagai tempat, termasuk pulang ke negara asalnya, Meksiko, ia memutuskan berhenti dari Goldman Sachs. Ia menerima tawaran dari seorang temannya untuk bekerja di  Merryl Lynch. Namun, hanya setahun dia betah di sana, karena ia kemudian terpikat pada lembaga yang dibentuk oleh Jose Antonio Vargas. Vargas adalah wartawan yang ikut membantu The Washington Post memenangi penghargaan Pulitzer  pada tahun 2008 dan ternyata seorang yang dulunya bernasib seperti Arce: imigran gelap.

Vargas mendirikan Define American, sebuah organisasi nirlaba yang memperjuangkan hak-hak warga imigran yang tidak memiliki surat-surat kewarganegaraan yang lengkap. Arce menjadi direktur pengembangan di lembaga ini.

Aku Sudah Ditebus

Bulan Agustus lalu, Arce diambil sumpahnya di gedung pengadilan di  Manhattan untuk menjadi warga negara AS. Dia harus bersusah-payah menarik nafas sebelum dapat mengucapkan Sumpah Kesetiaan kepada AS. Paspornya datang lewat pos pada bulan September.

Dia memiliki tato di lengan kirinya, berbentuk garis yang mengubungkan beberapa titik. "Saya selalu merasa segala sesuatu terjadi pasti ada tujuannya dan saya hanya perlu menghubungkan satu titik ke titik lain," kata dia, menjelaskan arti tato di lengannya.

"Dan ada satu lagi tato di sini yang bertuliskan 'Ditebus,'" kata dia, sambil mengangkat lengannya di atas kepalanya. "Saya selalu tidur seperti ini, jadi ketika saya bangun setiap pagi, tulisan itulah yang  pertama kali saya lihat. Untuk mengingatkan saya bahwa apa pun yang terjadi, tidak peduli apa pun yang saya rasakan, saya ini telah ditebus."

Kini tidak ada lagi hari-hari penuh khawatir seperti dulu. Seperti pesan Filipi 4:6 itu: Janganlah hendaknya kamu kuatir tentang apapun juga.

Editor : Eben Ezer Siadari


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home