Loading...
HAM
Penulis: Eben E. Siadari 22:37 WIB | Sabtu, 14 Januari 2017

Jurnalis Australia Bersaksi Soal Kekerasan Saat Pepera Papua

Hugh Lunn, wartawan Reuters satu dari dua wartawan asing yang menjadi saksi pelaksanaan Pepera di Papua, mengisahkan kekerasan yang dialami rakyat Papua pada saat pelaksanaan Pepera itu tahun 1969 (Foto: The Courier Mail) Foto di bawah: Aparat keamanan Indonesian memukul seorang pengunjuk rasa di Manokwari pada bulan Agustus 1969 selama masa pelaksanaan Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) (Foto: Courier Mail)

CANBERRA, SATUHARAPAN.COM - Seorang veteran wartawan dari Australia yang meliput langsung proses Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) Papua pada tahun 1969, menceritakan  apa yang dilihatnya ketika itu. Kisah tersebut mengungkit kembali kontroversi yang selama bertahun-tahun telah dituntut oleh sebagian rakyat Papua untuk diluruskan, sebagai bagian dari solusi atas berbagai konflik di Papua.

The Courier Mail (TCM) mewawancarai Hugh Lunn, orang Australia yang pada masa itu menjadi wartawan Reuters, menjadi satu dari dua wartawan asing -- bersama Otto Kuyk dari Belanda -- meliput peristiwa Pepera, Papua. TCM mengangkat isu ini di tengah gejolak hubungan Indonesia-Australia, pasca penghentian kerjasama militer menyusul ditemukannya materi pelatihan yang sensitif terkait Papua dan hal lain yang dianggap menghina Indonesia.

Menurut Lunn, pada bulan Juli 1969 ratusan orang Papua berkumpul di Biak untuk mendengarkan penjelasan tentang Pepera. Mereka gembira karena proses ini adalah yang dijanjikan oleh Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) untuk memberi kesempatan rakyat Papua menyuarakan keinginan merdeka.

Namun, apa yang didengar oleh Lunn pada hari itu adalah sungut-sungut akibat janji yang diingkari.

"Ketika saya mendengar bahwa akan diadakan Pepera, saya kira itu akan dilaksanakan dengan cara yang demokratis dan setiap orang akan memiliki suara," kenang dia.

Namun yang terjadi, sebagaimana buku-buku sejarah telah menceritakan, Indonesia memilih 1025 orang Melanesia untuk memberi suara di bawah sistem konsensus yang disebut musyawarah. PBB mengawasi proses ini, tetapi menurut Lunn, mereka mengabaikan intimidasi kepada pemilih.

TCM mencatat kesaksian Lunn yang mengatakan tentara Indonesia memukuli orang Papua dan melemparkan mereka ke bak belakang truk tentara.

"Orang-orang seperti saya berkata, 'tahan dulu, bukan begini demokrasi," kata dia mengenang.

Lunn yang ditugaskan ke Indonesia setelah penempatan sebelumnya di London, Singapura dan Vietnam, sempat mengeluhkan kekerasan dan intimidasi tersebut kepada pejabat PBB. Tetapi dia diberitahu bahwa Papua "Seperti kanker yang tumbuh di daging PBB yang harus dilenyapkan."

"Di pundak saya orang Papua menangis pada suatu malam. Dia berkata, 'Apakah PBB akan menyelamatkan kami?' dan saya berkata, 'lupakan itu, kamu akan menjadi bagian dari Indonesia,' dan dia menangis," kenang Lunn.

"Saya selalu marah tentang hal ini," kata Lunn, posisi yang terus ia pertahankan selama 48 tahun.

Batu Sandungan Hubungan RI-Australia?

Banyak pihak mengakui  kelompok yang menyuarakan penentuan nasib sendiri bagi Papua belakangan ini bangkit dan sampai titik tertentu berhasil melakukan konsolidasi. Ini antara lain diakui oleh  Profesor Jason McLeod dari Centre for Peace and Conflict Studies pada University of Sydney. Ia berkata , sebagaimana ditulis oleh TCM, bahwa gerakan yang menyuarakan penentuan nasib sendiri semakin terorganisasi dan strategis.

Bukan rahasia lagi sebagian dari mereka yang menyuarakan hal ini tinggal di Australia. Bahkan ada rakyat Australia yang bersimpati, terlihat dari aksi yang menerobos Konsulat Jenderal Republik Indonesia di Melbourne.

Tidak mengherankan jika isu Papua kerap menjadi batu sandungan dalam hubungan RI- Australia. Semenjak lepasnya Timor Timur (kini Timor Leste), yang mendapat dukungan dari Australia, Indonesia cenderung bersikap hati-hati.

Menurut TCM, hubungan RI-Australia dapat dikatakan relatif buruk hingga tahun 2006, ketika pemerintahan Howard dan Indonesia akhirnya menandatangani Perjanjian Lombok, Isinya antara lain kedua negara menghormati kedaulatan masing-masing.

Menteri Luar Negeri Australia, Julie Bishop mengatakan, "Australia tetap komit pada integritas teritorial Indonesia, termasuk provinsi-provinsi di Papua, sebagaimana ditunjukkan oleh Perjanjian Lombok antara Australia dan Indonesia."

Hanya saja walau Perjanjian Lombok telah ditandatangani, kecurigaan Indonesia terhadap Australia masih tetap ada. Richard Chauvel, ahli tentang Indonesia dari Victoria University, mengatakan, walaupun Australia sering mengatakan menghormati kedaulatan RI, selalu disikapi dengan kecurigaan oleh RI. Dan, Pengalaman lepasnya Timor Timur, masih membayangi.

Papua Merdeka, Cita-cita Tak akan Terwujud

Lalu apakah kecurigaan bahwa Papua merdeka akan terwujud dan Australia akan mendukungnya, beralasan?

Bagi Profesor Politik Internasional dari Deakin University, Damien Kingsburry, yang juga pernah bertindak sebagai penasihat Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dalam perundingan di Helsinki dengan pemerintah Indonesia, cita-cita Papua merdeka sesungguhnya adalah cita-cita yang sangat kecil kemungkinannya tercapai.

Kingsburry yang juga diwawancarai TCM dalam laporannya, berpendapat ada perbedaan Timor Timur dan Papua. Timor Timur menurut dia, adalah wilayah yang dianeksasi Indonesia secara paksa dan tidak pernah diakui secara internasional sebagai bagian dari Indonesia.

Ini berbeda dengan Papua.

"Di bawah hukum internasional, Papua adalah bagian dari Indonesia," kata Kingsburry.

"Keadaan yang menyebabkan hal itu terjadi memang sangat problematik, tetapi Papua (sebagai bagian dari RI) diakui oleh PBB," kata dia.

Oleh karena itu, Kingsburry mengatakan impian untuk merdeka bagi rakyat Papua sangat sulit untuk dicapai. Apalagi berkat program transmigrasi, kemungkinan jumlah ras Melanesia di Papua  sudah dibawah 50 persen dan bukan lagi mayoritas.

Oleh karena itu, Kingsburry menyarankan rakyat Papua yang menginginkan penentuan nasib sendiri perlu merumuskan kembali cita-cita perjuangannya. Cita-cita tersebut perlu ditinjau ulang menjadi cita-cita yang relatif dapat dicapai.

"Apa yang mereka perlukan adalah menyasar sesuatu yang dapat dicapai --Tanah Perdamaian. Kemerdekaan kelihatannya bukan hasil akhirnya. Negosiasi yang diperlukan adalah di seputar meningkatkan keadaan sosial, ekonomi dan politik orang Melanesia di Papua yang menciptakan perbedaan dalam kehidupan mereka. Limapuluh satu persen (tercapai) lebih baik ketimbang 100 persen gagal," kata Kingsburry.

"(Hasil) Pepera memang seharusnya tidak diakui, tetapi nyatanya sampai saat ini telah diakui sampai empat dekade. Akan sangat sulit untuk mengubahnya," kata dia.


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home