Loading...
SAINS
Penulis: Dewasasri M Wardani 15:25 WIB | Selasa, 26 Februari 2019

Kebakaran Hutan di Riau Tembus 1.136 Hektare

Ilustrasi. Peta potensi kemudahan terjadinya kebakaran hutan di berbagai wilayah Indonesia ditinjau dari analisa parameter cuaca . (Foto: bmkg.go.id)

PEKANBARU, SATUHARAPAN.COM – Kebakaran hutan dan lahan di sejumlah kabupaten dan kota di Provinsi Riau yang terjadi sejak Januari hingga Februari 2019 ini terus meluas hingga mencapai 1.136 hektare (ha).

Kepala Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Riau, Edwar Sanger di Pekanbaru, Selasa  (26/2) mengatakan, angka itu melonjak lebih dari 150 hektare dalam kurun waktu kurang dari 48 jam terakhir.

"Titik-titik api masih cukup banyak terdeteksi di pesisir Riau seperti Bengkalis, Dumai, Rokan Hilir hingga Indragiri Hilir," kata Edwar.

Dia memerincikan, Kabupaten Bengkalis sejauh ini masih merupakan wilayah yang paling parah mengalami kebakaran hutan dan lahan (karhutla). Sedikitnya lahan di lima kecamatan di kabupaten kaya sumber daya alam migas itu hangus terbakar.

Salah satu daerah yang saat ini menjadi fokus pemerintah daerah dan pusat adalah Pulau Rupat, Bengkalis. Wilayah itu selama dua pekan terakhir terus dilanda karhutla hingga lebih dari 200 hektare. Ratusan personel gabungan TNI, Polri, Manggala Agni, BPBD serta masyarakat terus berjibaku melakukan pemadaman.

Namun, upaya itu belum membuahkan hasil maksimal. Tak hanya darat, tim udara juga terus berjibaku melalui operasi pengeboman air. Bahkan, hari ini satu sekolah di Rupat terpaksa diliburkan karena kondisi udara pada level membahayakan dengan jarak pandang hanya 100 meter.

Selain Bengkalis, Edwar mengatakan titik-titik api baru terpantau di Kota Dumai, Pekanbaru, Kabupaten Rokan Hilir dan Indragiri Hilir.

"Seluruh kekuatan kita upayakan semaksimal mungkin untuk menanggulangi titik-titik api di wilayah itu,” kata Edwar.

Secara umum, Edwar menjelaskan, sembilan dari 12 kabupaten dan kota di Riau telah dan sedang dihadapkan dengan karhutla. Kabupaten Bengkalis menjadi wilayah yang paling parah dihadapkan karhutla dengan total luas kebakaran 817 hektare, dari 1.136 hektare seluruh Riau.

Selanjutnya Rokan Hilir tercatat 132 hektare, Dumai 60 hektare, Indragiri Hilir 38 hektare, Siak 30 hektare, Kampar 15 hektare, Pekanbaru 21,01 hektare dan Meranti 20,4 hektare.

Pemerintah Pusat dan Daerah hingga Selasa (26/2) ini terus berjuang untuk sedapat mungkin melakukan upaya pemadaman.

Bantuan terakhir datang dari TNI AU, yang mengerahkan satu unit pesawat Casa 212 untuk membantu upaya penanggulangan ke wilayah yang telah menetapkan status siaga karhutla tersebut melalui operasi hujan buatan.

Waspada dan Siaga dengan Potensi Kebakaran Hutan dan Lahan

Sementara itu, Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) telah memantau periode kemarau pertama akan dialami di Pesisir Sumatera bagian Tengah dan Kalimantan bagian Barat, serta adanya potensi meningkatnya kebakaran hutan dan lahan di Riau.

Berdasarkan analisis BMKG, curah hujan di sepuluh hari pertama pada bulan Februari, menunjukkan curah hujan kategori rendah yang tampak di sebagian besar Provinsi Aceh, Sumatera Utara dan Riau, sebagian Kalimantan Utara dan Timur, Gorontalo, dan sebagian Sulawesi Tengah.

Peta analisis hari tanpa hujan berurutan di wilayah Sumatera menunjukkan beberapa tempat di pesisir timur Aceh, Sumatera Utara, dan Riau terindikasi mengalami hari kering berurutan 6 - 20 hari (kategori pendek dan menengah). Di Riau, hari tanpa hujan kategori panjang (21 - 30 hari) telah terjadi di Rangsang, Rangsang Pesisir, dan daerah Tebing Tinggi.

Deputi Bidang Klimatologi BMKG, Herizal, mengatakan selama sepuluh hari kedua pada bulan Februari 2019, wilayah subsiden/kering mendominasi wilayah Indonesia hingga sepuluh hari terakhir di bulan Februari 2019, yang ditengarai sebagai MJO (Madden Julian Oscillation/massa udara basah) fase kering.

Kondisi itu, tambahnya, akan menyebabkan proses konvektif (penguapan), dan pembentukan awan hujan terhambat. "Kondisi kurang hujan di wilayah-wilayah tersebut didukung oleh kondisi troposfer bagian tengah yang didominasi kelembaban udara yang relatif rendah. Ini sesuai dengan peta prediksi spasial anomali radiasi balik matahari gelombang panjang (OLR),” katanya, seperti dilansir situs bmkg.go.id, pada Jumat (21/2).

Herizal mengutarakan, dampak dari kemarau pertama adanya peningkatan jumlah titik api (hotspot) pada dua pekan terakhir ini di berapa wilayah. Sebagaimana terpantau oleh BMKG, daerah yang cukup signifikan berada di Riau (80 titik dari 24 titik pada pekan sebelumnya) dan Kalimantan Timur (7 titik).

Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) memantau adanya penurunan kualitas udara berdasarkan Indek Standar Pencemaran Udara dan menunjukkan TIDAK SEHAT di daerah Rokan Hilir pada hari Senin, 12 Februari 2019 pukul 09.00 WIB, sementara daerah lain terindikasi pada ISPU SEDANG. Pengamatan jarak pandang mendatar (visibility maksimum) terlaporkan masih dalam kisaran 2 - 5 km.

Berdasarkan posisi daerahnya, Pesisir Barat Sumatera, Sumatera bagian Tengah, Kalimantan Barat dan Tengah, Sulawesi bagian Tengah dan sebagian Tenggara, dan sebagian Papua bagian Utara yang dekat dengan garis khatulistiwa, memiliki karakter musim yang berbeda dengan wilayah lainnya di Indonesia. Karakter musim itu ditandai adanya dua kali puncak hujan dan puncak kemarau dalam setahun. Kondisi ini berlangsung di bulan Februari, sementara kemarau kedua berlangsung mulai Juni hingga Agustus.

Herizal mengimbau kepada pemerintah daerah, instansi terkait, dan masyarakat luas pada umumnya di wilayah terdampak untuk terus waspada dan siap siaga terhadap potensi kebakaran lahan dan hutan, bahaya polusi udara dan asap, potensi kekeringan lahan dan kekurangan air bersih dan terus mengikuti pembaharuan informasi. (Antaranews.com/bmkg.go.id)

 


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home