Loading...
OPINI
Penulis: Dr. Martin Lukito Sinaga 19:15 WIB | Minggu, 09 Juni 2013

Kebebasan Iman dan Toleransi Beragama

Martin L. Sinaga di Basel (Foto: Trisno S. Sutanto)

SATUHARAPAN.COM - Sudah sejak abad ke XVI, Martin Luther memperkenalkan sebentuk modus kebebasan beriman yang unik, melalui karyanya berjudul Kebebasan Seorang Kristen. Di situ kebebasan beriman harus mulai –bahkan semata-mata bertolak-  dari kebebasan batin, dari jiwa yang dalam kegembiraannya, tidak lagi hidup dalam kungkungan agama dan hukum (agama).

Ada yang menyala di dalam jiwa orang yang beragama, yaitu status bebas sang manusia di hadapan Allah yang memberi karunia-Nya. Pendek kata, Luther amat menekankan adanya inner liberty  dalam diri manusia beriman; kebebasan itu manusia dapatkan karena ia hidup di bawah Allah yang maharahim.

Selanjutnya, ini aspek yang tak kalah penting: setiap manusia yang sudah bebas merdeka dalam jiwanya tadi, mampu menerima setiap orang (lain) merayakan kebebasannya. Gelanggang hidup sudah dibuka sebagai ruang pemberian Allah dimana kebebasan menjadi intinya.

Dengan demikian ihwal institusi dan posisi legal agama tidak terlalu dipermasalahkan, apalagi dijadikan sebagai penjaga tingkah laku manusia. Yang tersedia kini bagi kita ialah agama yang ikut mendorong manusia menikmati “kebebasan untuk” menghidup sebentuk hidup beriman  yang terbuka dan lapang.

Pernah pangeran Ulrich von Hutten menawari Luther “pedang” untuk menjaga “kebebasan” Protestantisme kala itu. Namun Luther menjawab, “Hanya dengan Sabdalah dunia ini dihadapi, hanya oleh Sabda sajalah gereja dipelihara, dan oleh Sabda pulalah gereja akan dibaharui” (Surat Kepada Spalatin, terbit tahun 1521). Dan Sabda tidak akan datang sebagai paksaan kepada setiap yang mendengarkannya.

Mungkin ini terasa naif, walau menurut saya perspektif Luther ini tetap sahih sekalipun untuk Indonesia masalah kebebasan beragama bertambah rumit di sini. Teman Luther, yaitu Calvin di Genewa, dalam acuan pada kebebasan iman tadi, akhirnya bersepakat bahwa orang Katolik dan Protestan (yang sebelumnya berperang) bisa hidup dalam hormat akan independensinya masing-masing dan menikmati kebebasan imannya, di sebuah negara yang berdaulat dan legitim.

Toleransi

Mungkin dengan modus bebas beriman di hadapan Tuhan ini, maka toleransi juga bisa diharapkan datang menjelang. Maksud saya: kalau kebebasan iman adalah dimensi batin komunitas, maka toleransi beragama adalah dimensi sosialnya.

Sejak John Locke sudah dicatat bahwa masyarakat (dan pemerintah yang mengelolanya) akan lebih sehat kalau ia tidak minta restu dari satu agama, atau pun mengistimewakannya; ia mesti bersikap netral saja. Dalam catatan Locke mengenai toleransi ditegaskannya bahwa tangan pemerintah/kekuasaan tidak boleh masuk ke ruang agama, sebab memang paksaan negara tidak bisa mendorong orang untuk beriman; “negara/pemerintah tidak bisa mengatur –apalagi memaksa- warganya masuk surga!”, demikian sepenggal isi Surat tentang Toleransi. Justru kalau negara/pemerintah/masyarakat mengatur hidup beragama, maka kemunafikanlah yang dilahirkannya.

Indonesia masa Reformasi ini harus menanggung sejumlah beban terkait dengan kebebasan tadi: beban politik identitas (disebut SARA), yang terus menggangsir proses demokrasi modern, namun juga menimbulkan sekat-sekat lintas komunal yang membatasi kebebasan beragama di Indonesia. Tentu ada isu pada tataran legislasi di sini, yang kiranya diperjuangkan di bawah skema  Pasal 28E UUD’45:

(1). Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah negara dan meninggalkannya, serta berhak kembali.

(2). Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya.

Tapi, sekali lagi, tak kalah pentingnya adalah unsur kebebasan batin atau iman tadi. Sebab dengan itulah dari hati umat mungkin muncul sikap yang membela bahkan menjaga kebebasan beragama dan berkepercayaaan di negeri ini.

Pendek kata, kalau agama-agama di negeri ini menekankan dan mengembangkan sebentuk inner liberty dalam hidup berimannya, maka dalam kebebasan sedemikian ia akan mudah sekali  mengembangkan sikap toleransi beragama. Kita bisa berharap bahwa setelah nyata iman yang bebas, maka akan lahirlah masyarakat yang menjunjung toleransi beragama.

 

Editor: Trisno S. Sutanto


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home