Loading...
DUNIA
Penulis: Yan Chrisna Dwi Atmaja 12:25 WIB | Minggu, 25 Januari 2015

Kebijakan Arab Saudi Diperkirakan Tetap Sepeninggal Raja Abdullah

Orang-orang berkabung di sekitar makam mendiang Raja Abdullah dari Saudi Arabia di Pemakaman Al-Oud di Riyadh. (Foto: AFP)
MOSCOW, SATUHARAPAN.COM - Pengamat kawasan Teluk memperkirakan meninggalnya Raja Arab Saudi Abdullah bin Abdulaziz Al Saud tidak akan mempengaruhi arah politik Kerajaan juga tidak akan berdampak besar pada harga minyak. Raja baru yang tak kalah konservatif sudah menyatakan akan mempertahankan kebijakan pendahulunya.
 
"Kematian raja tak akan mengubah baik internal ataupun kebijakan internasional Arab Saudi. Memahami hal ini akan terjadi, keluarga kerajaan telah sepakat memilih raja baru yang akan melanjutkan kebijakan pendahulunya, "kata Wafeeq Ibrahim pengamat kawasan Teluk asal Lebanon pada Sputnik, Jumat (23/1).
 
Menurut Wafeeq Ibrahim, raja baru negara itu, Salman bin Abdulaziz Al Saud, bahkan lebih "tradisional" dari penguasa sebelumnya, yang meninggal pada usia 90 tahun pada Jumat pagi.
 
"Perlu disebutkan bahwa mereka semua, sebenarnya sangat konservatif, mereka tidak memiliki semangat modernisme," kata Ibrahim, menjelaskan bahwa kepemimpinan Saudi skeptis teknologi baru.
 
Meskipun para Sheik diminta untuk mengurangi ekstremisme religius dan menjadi lebih toleran terhadap agama-agama lain, rezim Saudi hampir tidak dapat digambarkan sebagai demokratis, walaupun arahan tersebut "jelas" didorong Amerika Serikat.
 
"Kediktatoran berlaku di berbagai bidang, kehidupan ekonomi dan sosial," Ibrahim menekankan.
 
Tentang pangkalan militer AS di Arab Saudi, Wafeeq Ibrahim menyatakan bahwa "Arab Saudi tidak punya peran di sana tetapi hanya sebuah 'fungsi' mendukung Amerika Serikat dan negara-negara barat". Sementara itu, kelompok-kelompok radikal seperti Negara Islam Irak dan Suriah (NIIS) dan Front al-Nusra terus mengancam keamanan Kerajaan.
 
"Tidak diragukan lagi mereka merasa terancam. Arab Saudi dikelilingi negara-negara 'tidak stabil' seperti Irak, Suriah, Bahrain, dan Iran, yang mengancam keamanannya. Tentu saja apa yang terjadi adalah bagian dari kebijakan AS. Arab Saudi akan terus mengejar hal yang sama, 'kebijakan negatif' seperti di Yaman dan Irak," kata Wafeeq Ibrahim.
 
Omar El-Shenety, pengamat Teluk dari Mesir juga sepakat bahwa dampak nasional dan internasional dari perubahan kekuasaan akan minimal.
 
"Kabar tentang kematian raja sudah diperkirakan. Oleh karena itu, tidak akan memprovokasi pasar minyak atau di bursa saham di negara-negara Arab ... Konsekuensi ekonomi yang terkait dengan kematian raja akan sangat minim," kata El-Shenety pada Sputnik, Jumat.
 
Meskipun ada lonjakan harga minyak setelah raja meninggal, tetapi faktor utama yang mempengaruhi harga minyak akan tetap, El-Shenety menambahkan. Menurutnya, "perkembangan saat ini akan berlanjut sampai pertemuan OPEC mendatang," yang dijadwalkan pada 5 Juni.
 
Harga minyak jatuh sejak musim panas 2014 karena pasokan berlebih di pasar. Bulan November, Organisasi Negara-negara Pengekspor Minyak (OPEC), yang terdiri dari 12 negara, termasuk Arab Saudi, memutuskan menurunkan produksi.
 
El-Shenety percaya ada kemungkinan harga minyak jatuh lebih dalam.
 
"Menurut sumber di Uni Emirat Arab yang sangat paham dengan situasi ini, UEA akan tetap bertahan bahkan jika harga per barel turun menjadi sekitar 40 dolar AS. Sementara menurut sumber-sumber Saudi, Kerajaan akan mampu menjaga situasi walau harga minyak kurang dari 30 dolar AS, per barel selama delapan tahun," kata El-Shenety. (sputniknews.com)

BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home