Loading...
OPINI
Penulis: Sampe L. Purba 00:00 WIB | Kamis, 08 September 2016

Kebijakan dan Strategi Manajemen Gas Nasional

Indonesia pernah menjadi salah satu pemain utama pasar gas di kancah global. Akan tetapi situasinya kini sudah berubah. Bagaimana pemerintahan Jokowi membenahi tata kelola industri gas, akan sangat menentukan posisi Indonesia ke depan.

SATUHARAPAN.COM - Gas sebagai hasil ekstraksi sumber daya alam memiliki tiga makna strategis, yaitu sebagai sumber energi yang dapat menggerakkan perekonomian nasional, sumber keuangan negara, modalitas daya tawar (bargain position) dalam kancah diplomasi energi internasional.  Ketiga tujuan tersebut tidak selamanya sejalan seiring, bahkan sering saling bertolak belakang.

Misalnya, untuk tujuan menggerakkan perekonomian (engine – stimulan - lokomotif), akan menghendaki gas yang murah, demi menyediakan gas baik sebagai bahan baku industri, atau bahan energi bahan bakar yang digunakan industri. Selanjutnya diharapkan multiplier effect akan tercipta, kalau industri penggunanya dapat menyerap lapangan kerja yang lebih luas, mendorong industri turunan substitusi impor, dan beroperasi efisien untuk menumbuhkan pendapatan yang merupakan sumber pajak penghasilan.

Sebagai sumber keuangan negara, revenue (penghasilan) dari gas merupakan komponen langsung sebagai sumber penerimaan negara di APBN. Pada titik ini, sering preferensi jangka pendek Kementerian Keuangan untuk mendapatkan hasil penjualan gas setinggi mungkin. Dalam situasi di mana harga minyak rendah (pada kisaran $50/ barel  turun separuh dari sewindu yang lalu) dan harga gas juga menyesuaikan, akan terjadi paradoks. Minyak dan gas akan didorong eksploitasi sebanyak mungkin untuk mendapatkan volume yang kiranya cukup menambal kompensasi turunnya harga.

Indonesia telah lama menggunakan gas sebagai alat diplomasi energi di kancah Internasional. Pada tahun 1980an ketergantungan Jepang sangat tinggi terhadap LNG Indonesia. Pemerintah Presiden Soeharto menggunakan diplomasi tersebut, untuk menarik modal Jepang berinvestasi pada industri strategis seperti baja, infrastruktur dan pupuk. Ketergantungan Singapura dan Malaysia ke sumber gas dari Indonesia melalui pipa bawah laut (West Natuna Pipeline System) pada tahun 1990an dan yang diimpikan terintegrasi dengan Trans Asia Pipeline, membuat pendulum  politik dan ekonomi kabinet Orde Baru merupakan salah satu kiblat  bagi para Pemimpin di kawasan Asia Tenggara. 

Keadaan saat ini sudah berubah. Banyak Negara seperti Qatar, Afrika Barat dan Australia telah merupakan emerging forces dan juga ditambah likuiditas pasar LNG dunia.  Untuk menjaga posisinya sebagai market player, Indonesia perlu mempertahankan kehadirannya. Namun, sering hal ini merupakan perdebatan elit yang ironis. Atas nama nasionalisme ekonomi, sentimen anti pasar sering ditiupkan untuk menghalangi ekspor.

Sementara di sisi lain, tidak dipersiapkan infrastruktur dan kemampuan yang handal (affordability and sustainability) untuk menumbuhkan demand domestik. Ironi yang kedua adalah, ketika untuk proyek kelistrikan (sekitar 27% dari program kelistrikan 35.000 MW nya pak JKW – JK, menggunakan gas sebagai energi pembangkit listrik), baik PT. PLN maupun Pertamina meminta dibuka keran impor LNG, penentangan juga datang, karena dianggap akan mematikan potensi pasar domestik. Maju kena mundur kena. Mengekspor dianggap tidak nasionalis, mengimpor pun dianggap anti nasionalisme.

Berbeda dari komoditas umum yang mengikuti hukum pasar, gas berada pada zonasi pasar persaingan tidak sempurna. Ini adalah industri yang highly regulated. Produser gas adalah para Kontraktor Kontrak Kerja Sama Migas, yang beroperasi dibawah koordinasi dan manajemen SKKMIGAS. Kebijakan alokasi, harga dan peruntukan gas merupakan kewenangan  Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral.

Adapun pemain infrastruktur pipa transmisi, distribusi atau terminal LNG dan terminal regasifikasi berada di bawah Pertamina dan afiliasinya, maupun PGN dan afiliasinya. Sementara itu, pembeli utama gas Indonesia adalah PT PLN, dan Pupuk Indonesia. Pengendali Korporasi dan Pemegang saham utama pada  seluruh mata rantai tersebut adalah Kementerian Keuangan dan Kementerian BUMN, ditambah dengan BPHHilir yang mengatur regionalisasi dan tarif penggunaan akses gas pipa. Adapun pengguna gas lainnya, seperti petrokimia, industri dasar dan aneka industri berada di bawah pembinaan dan supervisi Kementerian Perindustrian.

Permasalahan gas domestik saat ini, meliputi harga yang dikeluhkan sangat tinggi (affordability), dan volume tidak tersedia (availability), dan akses minim (accessibility), yang mengakibatkan banyak lapangan gas di pedalaman tidak dapat dikembangkan (stranded), yang pada akhirnya mengakibatkan krisis gas maupun kelistrikan (seperti di beberapa bagian Sumatera dan Kalimantan) yang merupakan gudangnya lapangan gas.

Mengurai permasalahan gas di Indonesia, meliputi lima isu strategis, yaitu a. masalah pasokan (supply), b. kemampuan membeli (demand), c. infrastruktur transmisi dan distribusi, d. harga dan e.  regulasi. Sebagian terbesar dari ladang gas  Penghasil Gas Utama di Kalimantan Timur maupun Sumatera dan Laut Natuna akan habis Kontraknya dalam 5 tahun yang akan datang. Tanpa ada kepastian lebih awal akan pengelola maupun bentuk kerja samanya, akan mempengaruhi keputusan investasi maupun portofolio management para Kontraktor hulu migas.

Dari aspek pengguna (demand), Indonesia belum memiliki basis yang kuat, baik kemampuan penyerapan yang stabil, dan  kemampuan membayar sesuai keekonomian lapangan. Komposisi pengguna gas domestik sekitar 20% adalah untuk kelistrikan, pupuk dan petrokimia 11%, industri 18 % dan sisanya untuk rumah tangga, transportasi dan own-use operasi di lapangan.

Pipa transmisi ada yang dibangun oleh produsen hulu (dedicated hulu), hanya untuk pengguna tertentu (dedicated hilir), dan dapat digunakan bersama (open access). Mengingat ketergantungan produsen gas kepada pipa transmisi sangat tinggi (tanpa pipa tersebut gas tidak dapat mencapai konsumen), maka peran pemilik pipa ini menjadi sangat penting. Karena itu, konsep memisahkan (undbundling) shipper dengan transporter perlu diawasi oleh KPPU (Komite Pengawas Persaingan Usaha) menjadi krusial untuk memastikan fairness ruang/ kapasitas dan harga bagi produsen gas, transporter, pembeli dan pengguna akhir gas. Selain itu, seyogianya para pengelola ruas pipa yang oligopolis tersebut, diberi tanggung jawab untuk membangun ruas pipa transmisi menembus ke daerah yang stranded

Gas untuk kelistrikan maupun pabrik pupuk dan petrokimia pada umumnya langsung dari produsen gas ke pengguna. Adapun untuk industri pembelinya melalui Pemegang Izin Usaha Niaga Gas (trader). Formula gas bervariasi yaitu ada dengan harga tetap, harga dengan eskalasi, dikaitkan dengan harga produk, dan dikaitkan dengan harga minyak.

Tata kelola gas memerlukan aspek regulasi yang ramah tetapi tegas, untuk menciptakan tumbuhnya kompetisi yang sehat, melindungi infant industry, mencegah terjadinya perburuan rente serta memberikan perlindungan kepada pembuat kebijakan, implementator dan korporasi untuk terbebas dari kriminalisasi kebijakan yang didasarkan pada aturan, dinamika pasar dan akuntabilitas.

Sinergitas kelembagaan, penyesuaian target dan Key Performance Indicator yang harus mengacu ke program Nawacita pemerintahan pak Jokowi-JK di bidang Energi dan Ekonomi, serta kesepahaman para auditor negara dan aparat penegak hukum, untuk tidak masuk mempertanyakan  wilayah korporasi yang mengimplementasikan kebijakan Pemerintah, merupakan  faktor faktor yang absen selama ini dalam pengambilan strategi pemanfaatan gas. Semoga bangsa ini berubah. Untuk Indonesia yang lebih baik.

 

Penulis adalah Praktisi Energi Global  - Alumni Program Pendidikan Reguler Lemhannas RI 

Editor : Trisno S Sutanto


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home