Loading...
RELIGI
Penulis: Diah Anggraeni Retnaningrum 18:48 WIB | Sabtu, 29 April 2017

“Kekerasan Atas Nama Tuhan adalah Penistaan Agama”

Paus Fransiskus mengunjungi institusi sunni ternama Al-Azhar di Kairo pada 28 April 2017. Paus memulai kunjungannya ke Mesir dengan mempromosikan "persatuan dan persaudaraan" dengan umat muslim dan memberi dukungan kepada umat Kristen yang diterpa sejumlah serangan ekstremis. (Foto: AFP)

KAIRO, SATUHARAPAN.COM - Dalam pidatonya di Mesir, hari Jumat (28/4), Paus Fransiskus menegaskan semua bentuk kekerasan dan kebencian yang membawa nama Tuhan atau dalih agama adalah penistaan terhadap agama.

"Arti damai itu sendiri adalah kudus dan tidak ada tindak kekerasan yang dapat dilakukan atas nama Tuhan karena ini akan mencemarkan nama-Nya."

"Mari kita bersama-sama di atas tanah di mana surga dan dunia bertemu, tanah perjanjian di antara orang-orang dan jemaat Tuhan, mari kita katakan 'Tidak!' kepada segala bentuk kekerasan, balas dendam dan kebencian atas nama agama dan Tuhan," kata dia.

Paus Fransiskus berpidato di depan anggota Konferensi Internasional Perdamaian yang diselenggarakan di Universitas Al-Azhar sebagai bagian dari kunjungannya ke Kairo pada tanggal 28-29 April 2017.

Kunjungan itu diselenggarakan sebagai wujud dari hubungan yang mencair antara Vatikan dan universitas tersebut yang sempat tegang sejak 2011.

Imam Besar Masjid Al-Azhar, Sheikh Ahmed Mohamed el-Tayyib, juga berpidato dalam konferensi tersebut. Dia adalah orang yang dianggap terpandang oleh beberapa umat Islam sebagai otoritas tertinggi dunia atas 1,5 juta Muslim Sunni yang kuat dan mengawasi Masjid Al-Azhar Mesir dan universitas yang letaknya berdekatan.

Dalam pidatonya, Paus Fransiskus menyoroti peran pemimpin agama untuk mengakhiri kekerasan dan mempromosikan perdamaian, dengan mengatakan mereka dipanggil untuk membuka kedok kekerasan yang menyamar sebagai kesucian dan tidak didasarkan pada ‘keterbukaan otentik’ kepada Tuhan, namun pada keegoisan.

"Kita punya kebijakan, untuk mengakhiri kekerasan terhadap hak asasi manusia dan harga diri manusia, untuk menyingkap apa saja bentuk kebencian atas nama agama dan mengutuk upaya-upaya tersebut sebagai ketaatan kita akan Tuhan.

Paus menjelaskan kekerasan dan iman, kepercayaan dan kebencian adalah dua hal yang bertolak belakang, meminta mereka yang hadir untuk sepaham dengannya. “Bersama-sama mari kita menyatakan penghargaan yang setinggi-tingginya untuk setiap kehidupan manusia terhadap segala bentuk kekerasan, baik fisik, sosial, pendidikan maupun psikologi," kata dia.

Paus kemudian mengenang nilai historis yang telah dicapai Mesir terhadap pendidikan, dengan mengatakan bahwa hal itu mutlak diperlukan untuk masa depan dan pendidikan yang tepat untuk generasi berikutnya. Dengan demikian, mereka membuat keputusan berdasarkan kedamaian.

"Untuk melawan secara efektif kebiadaban orang-orang yang menimbulkan kebencian dan kekerasan, adalah kita perlu menemani kaum muda, membantu mereka dalam perjalanan menuju kedewasaan dan mengajari mereka untuk menanggapi logika penebar kejahatan dengan menebar kebaikan," kata dia.

Dalam pidatonya, Paus mengilustrasikan beberapa poin dengan simbol Gunung Sinai, sebuah gunung di Mesir yang diyakini sebagai gunung yang pernah disebut di Alkitab.

"Gunung Sinai, mengingatkan kita bahwa perjanjian otentik di bumi tidak dapat mengabaikan surga. Manusia tidak dapat bertemu satu sama lain dalam damai dengan menghilangkan Tuhan dari cakrawala, juga tidak dapat mendaki gunung untuk bertemu dengan Tuhan," kata dia seperti yang dikutip dari Keluaran 19:12.

Gunung Sinai adalah tempat di mana Musa menerima 10 Perintah Tuhan, sesuai dengan tradisi Kristen dan Islam. Di tengah perintah ini, Paus menekankan, "ditujukan kepada setiap individu dan orang-orang dari segala umur, perintahnya adalah: Jangan membunuh!"

"Di atas segalanya dan terutama di zaman kita, agama dipanggil untuk menghormati perintah ini, karena sangat penting bahwa kita menolak ‘absolutisasi’ yang akan membenarkan kekerasan. Karena kekerasan adalah negasi dari setiap ekspresi religius yang otentik."

Paus Fransiskus juga mengingatkan peningkatan gerakan sekularisme di masyarakat dengan mengatakan meninggalkan agama bukanlah jawaban atas fundamentalisme. Dia menekankan agama itu sendiri adalah jawaban melawan fundamentalisme.

Kita sering terjebak antara relasi agama ke ranah privat atau di sisi lain tidak bisa membedakan antara agama dan politik dengan benar. Tapi agama adalah penangkal hidup yang dangkal dan tak bersemangat yang telah melupakan keberadaan keabadian.

Tapi iman beragama harus lahir dari hati yang tulus dan cinta sejati terhadap Tuhan yang Maha Pengasih, jika tidak maka hal itu tidak akan membebaskan manusia tapi menghancurkan manusia.

Paus kemudian memuji kerja sama antara Dewan Kepausan untuk dialog antaragama dan komite Al-Azhar untuk upaya mereka sebagai ‘contoh nyata’ dan mendorong dialog dan pertemuan antara berbagai agama dan budaya.

"Pemimpin nasional, institusi dan media diwajibkan untuk melakukan tugas yang mendesak dan berat ini. Demikian juga kita semua yang memainkan peran utama dalam budaya masing-masing di daerah kita sendiri. Kita dituntut oleh Tuhan, sejarah dan masa depan untuk memulai proses perdamaian, berusaha untuk meletakkan dasar yang kuat antara masyarakat dan negara-negara," kata dia.

"Inilah harapan saya bahwa tanah Mesir yang mulia dan tercinta ini, dengan pertolongan Tuhan, dapat terus menanggapi panggilan yang telah diterimanya sebagai tanah peradaban dan perjanjian dan dengan demikian berkontribusi pada pengembangan proses perdamaian bagi orang-orang yang dicintai dan untuk seluruh wilayah Timur Tengah." (chatolicnewsagency.com)

Editor : Diah Anggraeni Retnaningrum


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home