Loading...
HAM
Penulis: Reporter Satuharapan 09:11 WIB | Jumat, 24 Maret 2017

Kelompok Kristen Quaker Ajukan Petisi Pelanggaran HAM Papua

Maire Leadbeater, mewakili kelompok Kristen Quaker di Selandia Baru mengajukan petisi tentang pelanggaran HAM di Papua kepada parlemen negara itu (Foto: radionz.co.nz)

WELLINGTON, SATUHARAPAN.COM - Perwakilan kelompok Kristen Quaker atau disebut juga Perkumpulan Agama Sahabat menemui sejumlah anggota parlemen Selandia Baru di Gedung Parlemen negara itu di Wellington.

Menurut laporan radionz.co,nz, Kamis (23/03), mereka menyerahkan petisi publik yang isinya mendesak pemerintah Selandia Baru mengambil sikap dan tindakan atas situasi Hak Asasi Manusia (HAM) di Papua.

Dua perwakilan kelompok Quaker itu, yaitu Maire Leadbeater dan Murray Short, menyerahkan petisi yang ditandatangani oleh 729 orang kepada Komite Luar Negeri dan Pertahanan parlemen. Ketua komite, Todd Muller, turut hadir dan mendengarkan paparan Leadbeater.

Maire Leadbeater dan Murray Short saat memaparkan petisi mereka di depan Komite Parlemen Selandia Baru tentang pelanggaran HAM di Papua (Foto: radionz.co.nz)

Petisi ini berfokus pada pelanggaran yang berkelanjutan atas hak  kebebasan berekspresi dan berkumpul di Papua. Mereka mengambil contoh penangkapan ribuan orang yang mengambil bagian dalam demonstrasi damai tahun lalu.

Awal bulan ini di Jenewa, tujuh negara Pasifik juga telah  menyerukan hal serupa kepada Dewan HAM PBB. Mereka meminta meminta Komisaris Tinggi Hak Asasi Manusia PBB untuk menyajikan laporan konsolidasi dari "situasi aktual di Papua".

Leadbeater mengatakan petisi mereka bertujuan meminta pemerintah Selandia Baru (New Zealand, NZ) mengakui pelanggaran yang terjadi di Papua dan  mengambil sikap yang kuat atas hal itu.

"Dan kami  menyarankan hal-hal tertentu, seperti menyerukan agar pelapor khusus PBB tentang kebebasan berekspresi mengunjungi Papua, dan kami telah menyarankan agar pemerintah membawa masalah ini ke Pacific Islands Forum  dan mendesak mereka untuk mendukung ini, dan juga di PBB. "

"Kami tentu meletakkan petisi ini dalam konteks keprihatinan serius atas pelanggaran hak yang sedang terjadi," kata Leadbeater.

"Tapi kami harus maju langkah demi langkah. Langkah pertama yang penting adalah memungkinkan akses yang jauh lebih bebas ke Papua, dan Indonesia harus mencatat fakta bahwa seluruh dunia tidak terima bila mereka menangkapi orang yang melakukan unjuk rasa damai."

Menurut Radio NZI, komite di Parlemen berterimakasih kepada Leadbetter atas paparannya dan mereka memperoleh pengertian yang lebih baik tentang situasi di Papua.

Lebih jauh Leadbeater mengatakan kedaulatan Indonesia atas Papua  seharusnya tidak mengesampingkan keprihatinan yang sah tentang perlindungan terhadap masyarakat adat yang secara sistematis berada di bawah ancaman.

Dia mengutip penelitian  Jim Elmslie, seorang sarjana Australia yang telah mempelajari marginalisasi orang Papua.

Penelitian Elmslie menemukan marjinalisasi sangat serius sehingga memenuhi kriteria ketat di bawah Konvensi Genosida.

"Itu memang hal yang sangat keras untuk disampaikan tetapi penelitian akademis mendukung hal itu dengan cermat," kata Leadbeater.

"Jadi dia mengatakan ini adalah genosida dan sejauh yang ia prihatinkan, tidak ada yang bisa membenarkan genosida, bahkan integritas teritorial. Dan saya pikir kita harus membuat hal ini jelas dan kuat. Ini semua sangat baik mengatakan kedaulatan dan integritas teritorial, tetapi tidak dalam wajah genosida - itu tidak masuk akal."

Tentang Kelompok Quaker

Wikipedia menjelaskan, Kaum Quaker atau Perkumpulan Agama Sahabat (bahasa Inggris: Religious Society of Friends) adalah suatu kelompok Kristen Protestan, yang muncul pada abad ke-17 di Inggris. Pendiri "Perkumpulan Agama Sahabat" adalah George Fox (1624-1691)

Cita-cita kaum Quaker adalah menemukan kebenaran agama dan menghidupkan kembali Kekristenan yang mula-mula. Untuk mendapat bimbingan, mereka mengaku berpaling kepada Roh Kudus, para nabi Alkitab, para rasul Kristus, dan "cahaya" atau "suara" batin, yang dianggap sebagai kebenaran rohani. Maka, pertemuan mereka pada dasarnya adalah saat-saat hening ketika setiap orang dalam kelompok mencari bimbingan Allah. Siapa yang menerima pesan ilahi dapat berbicara.

Kaum Quaker percaya akan keadilan, kejujuran yang tak kenal kompromi, gaya hdup sederhana, dan sikap anti kekerasan. Mereka juga percaya bahwa semua orang Kristen, termasuk wanita, hendaknya berperan dalam pelayanan.

Karena mereka menolak sistem agama, menghindari ritus yang semarak, serta mengaku dibimbing oleh suara batin dan bukannya oleh golongan pendeta, kaum Quaker ditakuti dan dicurigai semua orang. Yang paling merisaukan dari semuanya adalah semangat menginjil mereka yang menyulut kemarahan, amuk massa, dan campur tangan pejabat.

Dahulu di Inggris, kaum Quaker ditindas dan dipenjarakan, dan di New England mereka juga diusir dan bahkan dibunuh. Misalnya, antara tahun 1659 dan 1661, para misionaris bernama Mary Dyer, William Leddra, William Robinson, dan Marmaduke Stephenson digantung di Boston. Yang lain diborgol, diselar, atau dicambuk. Ada yang telinganya dipotong.

Seorang pria bernama William Brend mendapat 117 cambukan di punggungnya dengan tali yang dilapisi ter. Namun, tidak soal adanya kebrutalan demikian, kaum Quaker terus bertambah banyak.

Editor : Eben E. Siadari


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home