Loading...
RELIGI
Penulis: Reporter Satuharapan 11:29 WIB | Rabu, 26 Oktober 2016

Kemah Pemuda Lintas Agama, Merajut Cerita Baru Indonesia

Kemah Pemuda Lintas Agama, Merajut Cerita Baru Indonesia
Peserta Youth Interfaith Camp 2016 berkunjung ke berbagai tempat ibadah dari berbagai agama di sekitar wilayah Bandung, untuk memberikan pengalaman langsung berinteraksi dengan umat beragama lain. (Foto: Dok GKI)
Kemah Pemuda Lintas Agama, Merajut Cerita Baru Indonesia
Pdt Obertina M Johanis (keempat dari kiri) dari GKP, penyelenggara YIC 2016, bersama pendukung kegiatan, dari Jakatarub, Islam, Katolik, Kristen, Buddha, Hindu, Ortodoks, Konghucu, Sikh, Baha’i, Penghayat, dan kepercayaan lain. (Foto: Sigit P Wibisono)

SATUHARAPAN.COM – Pemuda-pemudi lintas agama khususnya yang berada di Kota Bandung dan sekitarnya berkumpul dalam Youth Interfaith Camp yang diadakan di sebuah wisma di Lembang, pada 21-23 Oktober 2016.

Youth Interfaith Camp kali ini bukanlah kegiatan pertama yang digagas komunitas lintas agama ini, melainkan kegiatan yang ke-6. Kegiatan kali ini mengambil tema “Merajut Cerita Baru Indonesia”. Di tengah keributan yang mengatasnamakan agama, pemuda-pemudi yang berasal dari berbagai agama dan kepercayaan ini justru memilih untuk bersama merajut cerita baru untuk Indonesia.

Bagi anak-anak muda ini, keributan dan kekerasan atas nama agama adalah cerita lama yang sudah basi. Kini saatnya mencari perbedaan bukan untuk membangun permusuhan. Sekarang saatnya mencari perbedaan justru untuk saling melengkapi.

Pertemuan Pemuda Lintas Agama ini dihadiri 104 pemuda-pemudi yang berlatar belakang Islam, Katolik, Kristen, Buddha, dan Hindu. Selain itu hadir pula dari Ortodoks, Konghucu, Sikh, Baha’i, Penghayat, dan kepercayaan lain. Kegiatan ini diisi dengan berbagai aktivitas, di antaranya stand discussion. Dalam diskusi yang dilakukan sambil berdiri itu peserta melakukan pembicaraan secara bebas dengan teman-teman yang berbeda agama.

Dalam pertemuan itu peserta juga diberi pelatihan untuk berpikir secara alternatif dan kristis, khususnya menghadapi pemberitaan media yang dinilai kurang memberikan dampak positif terhadap kerukunan umat beragama di Indonesia.

Peserta juga melakukan kunjungan ke berbagai tempat ibadah dari berbagai agama di sekitar wilayah Bandung. Kegiatan itu bertujuan untuk memberikan pengalaman langsung berinteraksi dengan umat beragama lain setelah sebelumnya peserta berdiskusi dalam kafe religi.

Konflik Atas Nama Agama Dimulai dari Tidak Saling Kenal

Ustaz Wawan Gunawan SSos I, MUd, dari Jakatarub, Jaringan Kerja Antarumat Beragama, mengatakan, “Acara seperti sangat penting untuk anak-anak muda sebagai sebuah alternatif. Melalui forum ini, anak-anak yang berbeda latar belakang suku dan agama ini saling mengenal.”

Konflik yang mengatasnamakan agama, kata Ustaz Wawan, sebenarnya dimulai karena tidak saling kenal. “Dengan forum inilah pengenalan itu dapat dilakukan,” katanya.

“Forum ini mengingatkan kembali bahwa sejarah Indonesia menunjukkan bangsa kita ini tidak memiliki masalah dengan perbedaan. Itu terlihat dari tahun 1908 melalui Budi Utomo, tahun 1928 dengan Sumpah Pemuda, juga tahun 1945 melalui Proklamasi Kemerdekaan. Hanya baru-baru ini saja ada orang-orang yang memaksakan ajarannya sehingga membuat kebersamaan dalam perbedaan itu sedikit rusak, tetapi mereka ini baru-baru saja masuk. Kita ini memang berbeda namun kita disatukan dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia,” ia menjelaskan.

“Tahun ini peserta lebih banyak, karena antusiasme jaringan yang kami bangun. Lembaga pendukung tahun ini juga bertambah menjadi lima lembaga. Gereja Kristen Pasundan (GKP) sebagai penyelenggara, didukung oleh Jakatarub, Universitas Maranatha, Gereja Kristen Jawa (GKJ) Merdeka, GKI Klasis Bandung, Keuskupan Agung Bandung, dan Mission 21,” ujar Pdt Obertina M Johanis dari GKP.

“Kami sadar bahwa ada cerita lama Indonesia yang penuh kekerasan, dan ketidakadilan. Namun, ada cerita lama di mana hidup bersama dengan orang yang berbeda adalah hal yang wajar. Dengan tema merajut Indonesia baru anak-anak muda ditantang untuk berpikir dan merajut Indonesia yang baru seperti yang mereka ingin bangun dengan melihat dari cerita-cerita lama itu,” Pdt Obertina menambahkan.

“Saya berharap melalui kegiatan ini, di mana ini bukan kegiatan yang pertama, mereka mengalami ‘bertetanggaan batin’, dari sharingmenjadi encounter, sehingga kalau saya bersahabat dengan orang lain itu berarti saudara saya. Tidak lagi berpikir bahwa saya Katolik, kamu Hindu. Identitas tetap perlu, namun suasana cair,” kata Romo Agus dari Keuskupan Bandung.

“Kebinekaan itu janganlah diganggu-ganggu karena Indonesia dibangun atas dasar itu. Meski memang anak-anak muda ini harus tetap didampingi,” Romo Agus menambahkan.

“GKI melalui GKI Klasis Bandung terlibat sebagai steering committee, sebagai pendorong, dan juga panitia. GKI Klasis Bandung juga mendukung secara dana untuk kegiatan ini. Saya berharap GKI dapat menjadi motor penggerak bagi kebersamaan dengan umat beragama lain di Indonesia,” papar Pdt Sutanto Tedhy dari GKI Cimahi mewakili GKI Klasis Bandung.

Peserta yang hadir berasal dari berbagai komunitas dan lembaga, seperti Pemuda GKP, GKI, Keuskupan Bandung, Gereja Ortodoks, PMII Jawa Barat, UIN Sunan Gunung Djati Bandung, HMI Bandung, Ahlul Bait Indonesia, Jaringan Pesantren for Peace, Pemuda Ahmadiyah, STT Kalam Mulia, STT Bandung, Universitas Bhayangkara, Universitas Kristen Maranatha, Matakin, KMHDI Jawa Barat, Komunitas Penghayat Budidaya, Masyarakat Baha’i, dan Vihara Karunia Mukti.

Hadir pula peserta dari luar pulau seperti LK3 Banjarmasin, Jaringan Lintas Iman Menado, UIN Ar-Raniri Aceh, dan GBKP Tanah Karo.

Peserta diharapkan dapat mempromosikan perdamaian dalam perbedaan di daerah mereka masing-masing. Para peserta yang sudah pernah mengikuti kegiatan ini sebelumnya bahkan sudah membangun komunitas-komunitas antaragama di daerahnya, merajut cerita baru Indonesia.(spw)

Editor : Sotyati


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home