Loading...
OPINI
Penulis: Surya Samudera Giamsjah 00:00 WIB | Senin, 08 Juni 2015

Kesetaraan Perempuan: Tanggungjawab Gerakan Ekumene

SATUHARAPAN.COM – Sebuah kejutan dilakukan Presiden Joko Widodo dengan menetapkan sembilan Srikandi Indonesia sebagai Pansel KPK. Kejutan ini tentu saja menimbulkan beragam respon, mulai dari yang optimis sampai dengan yang skeptis, bahkan antipati. Mereka yang optimis berkata, "Babak baru revolusi mental!" Mereka yang skeptis dan bahkan antipati berkata, "Agama melarang perempuan menjadi pemimpin!" Yah, namanya saja kejutan, tentu saja akan mendatangkan berbagai respon yang tentu juga mengejutkan.

Sebenarnya, yang lebih mengejutkan adalah data-data yang dikemukakan Komnas Perempuan berkaitan dengan kondisi dan sikap terhadap perempuan di Indonesia. Dalam rangka menyambut Sidang Raya ke-14 Dewan Gereja Asia di Ancol, Jakarta, 21 s.d. 27 Mei 2015 lalu, Centre for Development and Culture, JKLPK Indonesia, Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia, serta YAKOMA PGI menyelenggarakan sebuah people forum Forum Refleksi Inspirasi untuk Solidaritas Aksi (FRISA) tanggal 21 Mei 2015 lalu yang menyuarakan pergerakan ekumene, bukan hanya di aras institusi, namun sebenarnya juga harus mencapai aras umat. Dengan tema "Lembaga Pelayanan Kristen dan Gerakan Oikoumene di Indonesia" salah satu narasumber, Ibu Saur Tumiur Situmorang, Ketua Gugus Kerja Papua Komnas Perempuan, menyajikan data-data yang membuat banyak berduka. Seperti dicatat dalam "Risalah dan Rekomendasi FRISA untuk SR ke-14 DGA", dikatakan:

“Indonesia sudah masuk dalam kondisi darurat kekerasan seksual. Tercatat ada tiga puluh perempuan yang mengalami kekerasan seksual setiap harinya dan tidak tertangani dengan baik. Salah satu penyebabnya adalah produk hukum nasional hanya menangani tiga jenis kekerasan seksual, padahal Komnas Perempuan mencatat ada lima belas jenis kekerasan seksual: perkosaan, pelecehan seksual, eksploitasi seksual, perdagangan perempuan untuk tujuan seksual, penyiksaan seksual, perbudakan/perhambahan seksual, intimidasi/serangan bernuansa seksual, termasuk ancaman bernada pelecehan seksual, pemaksaan perkawinan, termasuk kawin paksa dan cerai gantung, kontrol seksual, termasuk pemaksaan busana dan kriminalisasi perempuan lewat aturan diskrimatif beralasan moralitas dan agama, pemaksaan aborsi, penghukuman tidak manusiawi dan bernuansa seksual, prostitusi paksa, pemaksaan kehamilan, praktik tradisi bernuansa seksual yang membahayakan atau diskriminasi perempuan, dan sterilisasi paksa.”

Dalam perspektif iman Kristen diyakini, walau Alkitab kental dengan nuansa patriakal, namun tetap mencatat kesetaraan perempuan dan laki-laki dalam kisah Penciptaan. Beberapa kali penulis kitab Kejadian menuliskan kesetaraan itu, pertama, Kej 1:27 "...maka Allah menciptakan manusia itu (ha adam) menurut gambar-Nya, menurut gambar Allah diciptakan-Nya dia; laki-laki dan perempuan diciptakan-Nya mereka." (TB LAI). Baik laki-laki maupun perempuan adalah gambar Allah (imago Dei). Bukan hanya laki-laki yang menyandang gelar "gambar Allah", perempuan juga. 

Kedua, Kej 2:18 "...Aku akan menjadikan penolong baginya, yang sepadan dengan dia." Istilah "penolong" yang diterjemahkan LAI dalam nilai rasa budaya Indonesia secara umum memang seperti second class, namun nilai rasa itu tidak ada dalam bahasa Ibrani, bahasa asli Alkitab Perjanjian Lama. Oleh karena itu penerjemahan dengan menggunakan kata "pendamping" (dalam nilai rasa pasif) atau "mitra" ( dalam nilai rasa aktif ) akan lebih menunjukkan kesejajaran, mendukung frasa selanjutnya yang berkata "yang sepadan dengan dia". Baik dalam pemahaman "gambar Allah" maupun dalam "kesepadanan sebagai pendamping atau mitra", laki-laki dan perempuan sama-sama memiliki tanggung jawab untuk menguasai atau mengelola dunia beserta isinya. 

Ketiga, bahwa dosalah yang mengakibatkan perempuan berada subordinat laki-laki dalam sistem patriarki. Choan Seng Song, dalam bukunya "Sebutkanlah Nama-nama Kami" mengatakan bahwa tindakan memberi nama adalah tindakan yang menyatakan pemberi nama lebih berkuasa dari pada yang diberi nama. Sebelum kisah kejatuhan dalam dosa, tidak satu kali pun nama "Hawa" muncul. Nama ini muncul dalam Kej 3:20 "Manusia itu memberi nama Hawa..." (TB LAI). Ayat yang singkat ini hendak mengatakan bahwa dalam keberdosaan manusia, laki-laki membangun nilai, struktur, dan sistem yang meletakkan dirinya sendiri di atas perempuan. Nilai, struktur, dan sistem yang sekarang dikenal dengan nama "patriakal", yang dibangun di atas dasar rasa superioritas laki-laki di atas perempuan, yang mewujud nyata sebagai dampak dosa. Tentu saja, ini bukan nilai, struktur, dan sistem yang perlu dilestarikan di Gereja, bahkan di dunia ini.

Dalam Forum Perempuan sebagai Pra Sidang Raya DGA yang dilaksanakan di Wisma Shalom, Lembang pada Senin, 18 Mei 2015, dengan mengambil tema "Partnership between Women and Men: Towards Gender Justice", Pdt. Meri Kolimon menekankan bahwa perempuan juga adalah anggota dari rumah tangga di mana Allah adalah Sang Kepala Rumah Tangga. Memang tema SR ke-14 DGA yang bertemakan "Living Together in the Household of God" ini menantang peran serta perempuan dalam turut mengelola dunia ini. Panggilan untuk memiliki keberpihakan kepada mereka yang miskin dan tertindas bukan hanya ditujukan kepada kaum laki-laki, namun juga perempuan. Panggilan untuk mewujudkan bumi baru dan langit yang baru dalam rumah tangga Allah juga adalah panggilan bagi perempuan.

Oleh karena itu, pertama, perempuan tidak perlu merasa sebagai warga kelas dua atau warga kelas ke sekian, baik dalam institusi agama, dalam hal ini Gereja, maupun dalam ruang-ruang publik. Dalam perspektif Alkitabiah, kaum perempuan memiliki panggilan, bahkan mandat, yang sama dengan kaum laki-laki untuk menguasai dan mengelola bumi untuk kesejahteraan bersama. 

Oleh karena itu pula, kedua, perempuan perlu memperjuangkan kesepadanan ini di berbagai-bagai lini. Perjuangan melawan diskriminasi terhadap perempuan perlu untuk terus digaungkan, baik dalam ruang-ruang publik, terlebih dalam kehidupan bergereja. Ketiga, pemahaman akan kesepadanan ini perlu mentransformasi pola hidup dan budaya yang dikembangkan di tengah masyarakat. Gereja, baik sebagai pribadi lepas pribadi maupun sebagai institusi keagamaan, perlu mengambil langkah-langkah nyata di tengah kehidupan masyarakat untuk menggaungkan pandangan demikian, termasuk di dalamnya mengawal institusi pemerintah untuk melengkapi produk-produk hukum yang berpihak kepada perempuan dan yang memiliki perspektif korban (victims).

 

Penulis adalah Pendeta GKI Taman Majapahit, Semarang

 

BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home