Loading...
RELIGI
Penulis: Bayu Probo 11:22 WIB | Kamis, 07 Mei 2015

Ketua STT Jakarta: Penginjilan Bukan Proyek Kristenisasi

Kisah Penghakiman Terakhir yang tercatat di Matius 25: 31-46 terdapat dalam mozaik abad ke-6 di Basilika Appollianare Nuovo, Ravenna, Italia. (Sumber: wikipedia.org)

JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Joas Adiprasetya, Ketua Sekolah Tinggi Teologi Jakarta menegaskan bahwa memberitakan Injil adalah gaya hidup pengikut Kristus. Namun, pekabaran Injil yang dimaksud bukan kristenisasi. “Bukan proyek pelipatgandaan orang Kristen,” kata lulusan School of Theology Boston University ini, Rabu (6/5).

Pdt Joas Adiprasetya mengemukakan pandangannya sebagai seorang Calvinis  yang hidup pada abad ke-21 mengenai ikonografi. Ia mengemukakan pandangannya dalam Seminar Ikonografi yang dilaksanakan Lembaga Alkitab Indonesia (LAI) pada Kamis (24/4/14) di Gedung Pusat Alkitab-LAI, Jakarta Pusat. (Foto: Dok satuharapan.com/Equivalent Pangasi)

Kepada satuharapan.com, pendeta GKI Pondok Indah, Jakarta Selatan ini mengomentari tentang penginjilan saat menerangkan Christian Self-Understanding (CSU), dokumen dari Dewan Gereja Dunia (The World Council of Churches/WCC). CSU merupakan tanggapan baru atas perjumpaan umat Kristen—gereja—dengan umat beragama lain. Konsep ini menjelaskan pada kita bahwa perjumpaan aktual dengan umat yang berbeda iman membuat kita harus menjawab berbagai pertanyaan mengenai identitas diri kita (deep self-reflection).

Dokumen yang segera diluncurkan kepada seluruh gereja anggota WCC ini menegaskan bahwa berelasi antar-iman adalah bagian integral kita sebagai seorang Kristen. Ini adalah aspek vital dalam pertumbuhan kita sebagai seorang Kristen.

Dan, yang tak kalah penting adalah identitas utama kita sebagai seorang Kristen, yaitu kita adalah “manusia yang telah dibangkitkan dari kematian”—people of resurrection. Walaupun berbeda-beda denominasi atau dogma, identitas inilah yang harus menjadi watak atau karakter yang mengikat kita sebagai orang Kristen di seluruh dunia. Sejak awal tumbuhnya kekristenan, seorang pengikut Kristus dipandang sebagai “saksi atas Kebangkitan Kristus” (Kis. 1:22) Hanya, dengan terang kebangkitan-Nya semua kisah kekristenan dapat dimengerti: “...Yesus berpesan kepada mereka, supaya mereka tidak menceritakan kepada siapa pun apa yang telah mereka lihat itu, sebelum Anak Manusia bangkit dari antara orang mati” (Mrk. 9:9).

Rekomendasi CSU

Dokumen CSU berjudul Who Do We Say That We Are: Christian identity in a multireligious world ini merekomendasikan kita untuk terus belajar mengenali jati diri kita sebagai seorang Kristen terutama dalam konteks dan tradisi di tempat kita. Eksplorasi tersebut juga termasuk refleksi terhadap berbagai peristiwa masa silam atau kini, terkait dengan identitas kekristenan kita. Eksplorasi juga termasuk mempelajari bagaimana identitas kita membentuk tindakan dan sikap kita—positif atau negatif—terhadap umat beragama lain.

CSU juga merekomendasikan kita untuk menciptakan cara kreatif untuk memperkenalkan dokumen ini pada sebanyak mungkin sesama kita orang Kristen. Juga mendorong mereka untuk memperdalam pengetahuan dan pemahaman kita akan umat beragama lain. Bertemu, mempelajari teks-teks suci, mengunjungi tempat ibadah mereka, juga tentu saja menawarkan keramahan tulus kita pada mereka. Ini akan meningkatkan sensitivitas kita pada beragamnya iman dalam umat beragama lain. Juga, mengurangi sikap menghakimi umat beragama lain, sekadar memandang ajaran diri sendiri lebih baik daripada ajaran umat lain.

Tentu saja, dokumen ini mendorong kita untuk mengeksplorasi cara untuk bekerja sama dengan umat lain. Membangun jaringan kerja dengan umat beragama lain. Kerja sama yang dilakukan terutama untuk memperkuat keadilan dan kebaikan. CSU mengingatkan kita akan firman, “Usahakanlah kesejahteraan kota ke mana kamu Aku buang, dan berdoalah untuk kota itu kepada TUHAN, sebab kesejahteraannya adalah kesejahteraanmu” (Yer. 29:7).

Tentu saja dalam kerja sama ini dianjurkan untuk menciptakan iklim dialog. Yang terutama, tiap orang Kristen yang berdialog dan bekerja sama dengan umat lain untuk terus berdoa bagi sesama mereka—terutama yang mereka ajak kerja sama. Doa adalah bagian tak terpisahkan dari identitas orang Kristen.

Penginjilan

Seperti dijelaskan di atas, Joas menegaskan bahwa penginjilan itu harus, itu identitas orang Kristen. “Tetapi, sharing Good News. Tidak punya pretensi untuk mengkristenkan.” kata dia. Mengapa? “Kita harus memberi ruang kepada Roh Kudus untuk bekerja,” ia menegaskan. Dalam membagikan Injil kita harus menempatkan diri secara tepat posisi kita. Posisi kita adalah saksi—saksi Kebangkitan Kristus. Allahlah dalam Roh Kudus yang mengubah hati seseorang.

   Baca juga:

Seperti pernyataan dalam Dokumen CSU, jika kita mengasumsikan identitas kita sebagai orang Kristen dengan mencari apa yang diperjuangkan Yesus Kristus sendiri berdiri, ini memiliki implikasi yang mendalam untuk hubungan kita dengan Tuhan, dunia, dan dengan seluruh umat manusia. Ini menjadi intrinsik dalam pemahaman kita tentang siapa kita dalam solidaritas “dalam Kristus” terhadap yang terpinggirkan dan orang asing.

Pertanyaan reflektif diri “Siapa kita menurut kita sendiri?” Tidak bisa dipisahkan dari pertanyaan eksistensial “Apa yang harus kita lakukan?”. Dalam perumpamaan tentang penghakiman besar yang tercatat dalam Matius 25,31-46, Yesus mengungkapkan bahwa ia telah mengidentifikasi dirinya dengan mereka yang lapar, sakit, narapidana, yang telanjang, dan orang asing. Dan kebangkitan-Nya telah meratifikasi bahwa inilah sikap kita yang harus kita perjuangkan. Berdasar perumpamaan ini jelaslah jika kita ingin berbagi Kabar Baik, kita harus menerima untuk diidentifikasi tidak hanya oleh doktrin atau terminologi, tetapi oleh tempat kita berada. Walaupun itu daerah berisiko dan tidak dapat dibatasi.

Bagaimana sikap Yesus ini memengaruhi hubungan Kristen dengan orang dari agama lain? Pada 1989 (Konferensi Misi dan Penginjilan Dunia/Conference on World and Evangelism di Texas, Amerika Serikat), pernyataan San Antonio mengatakan, “Kami tidak bisa menunjukkan cara lain keselamatan selain daripada dalam Yesus Kristus; pada saat yang sama kita juga tidak bisa menetapkan batas kuasa Allah dalam menyelamatkan.” Dengan ‘pikiran’ ini, kita menarik bersama-sama kepercayaan diri yang setia dan keterbukaan visi. Bahwa memperdalam pemahaman diri sebagai orang Kristen dalam dunia multi-agama ini perlu dieksplorasi.

Bahkan, pemahaman diri tersebut mungkin membutuhkan pertobatan kita atau mungkin berarti bahwa kita harus siap menerima tawaran tantangan berisiko atau kenabian. Karena ketika kita membuka diri kepada orang-orang dari agama-agama lain, kita kadang mendengar gema apa yang telah kita percayai berdasar pengalaman hidup, salib, dan kebangkitan Kristus. Dan, itu memberi wawasan segar ke dalam iman kita sendiri. Tantangan bagi orang Kristen di dunia ini yang plural ini bisa jadi kita “kembali diinjili melalui pertemuan ramah dengan orang lain ... [sehingga] orang Kristen telah diinjili oleh orang-orang dari agama lain—tidak dengan evangelium lain, tetapi dengan Injil Yesus Kristus”.


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home