Loading...
SMASH AYUB
Penulis: Ayub Yahya 15:21 WIB | Senin, 28 Mei 2018

Khotbah Jelek

Ilustrasi. (Foto: istimewa)

SATUHARAPAN.COM - Suka tidak suka, harus diakui……

Ada pendeta yang khotbahnya bagus; isinya oke, cara membawakannya juga oke. Seumpama makanan top markotop; enak disimak dan perlu. Ada pendeta yang khotbahnya biasa saja; tidak jelek, tidak juga bagus. Yah, paling tidak ada isinya yang bisa ditangkap. Tetapi ada juga pendeta yang khotbahnya… ini ngomong apa sih?! Sudah muter-muter tidak jelas, ujung-ujungnya blasss tidak "ada apa-apanya". Kecuali asyik menjadi pengantar tidur di siang hari bolong.

 

Ini sebuah joke. Seorang bapak ikut paduan suara di gereja. Tapi bapak itu ternyata tidak bisa nyanyi. Suaranya fals. Sudah diupayakan berbagai cara, tetap mengganggu. Pemimpin paduan suara bingung, gimana memberi tahunya?! Akhirnya Pendeta turun tangan, mengajak bapak itu bicara secara pribadi. “Bapak tidak cocok ikut paduan suara, ambillah pelayanan lain,” saran Pendeta. “Saya kan belajar dari Pak Pendeta,” sahut Bapak itu. “Pak Pendeta juga tidak bisa berkhotbah, tapi terus saja berkhotbah?!"

 

Lalu bagaimana bila pendeta kita khotbahnya jelek?

 

Begini….

Pertama, tidak usah sangkali kalau memang khotbah seorang pendeta itu jelek. Pun dengan alasan “seolah-olah mulia”. Misalnya, kita kan tidak boleh menghakimi, atau kita juga kalau disuruh khotbah tidak bisa. Penyangkalan demikian tidak membangun. Mengakui bahwa khotbah pendeta itu jelek bukan dosa. Dan tidak akan kualat juga. Benar, firman Tuhan itu sempurna, tapi pendeta yang menyampaikan tetap manusia biasa yang penuh kelemahan.

 

Kedua, sikapi itu dengan “positif”. Jangan malah jadi bahan gerundelan atau olok-olok di belakang. Misalnya, dengan meluangkan diri untuk memberi masukan; sampaikan dengan cara yang baik, dasari dengan niat yang tulus. Tapi bagaimana kalau pendetanya itu merespons negatif? Ya, itu urusan ia dengan Tuhan. Yang penting kita sudah tunjukkan itikad baik. Dan doakan juga ia. Tidak jarang pendeta adalah orang yang paling butuh didoakan.

 

Ketiga, jangan berpikir pendeta yang tidak bisa berkhotbah serta merta tidak bisa dipakai Tuhan. Rasul Paulus pun tidak pandai bicara. Sampai pernah suatu kali, karena kelamaan ia bicara, seorang muda ketiduran, lalu jatuh dari loteng dan mati. Seburuk-buruknya khotbah pendeta kita, setidaknya belum pernah bikin orang mati kan?!

 

Keempat, jangan lupa kebaktian bukan hanya khotbah. Kita bisa mendapat sapaan firman Tuhan lewat nyanyian yang diangkat, doa yang dipanjatkan, dan persekutuan yang dibangun. Yang repot kalau sudah khotbah pendetanya jelek, nyanyian jemaatnya loyo, pemusik dan pemandunya kurang persiapan, Majelis Jemaatnya tidak ada ramah-ramahnya pula. Bila demikian pilihannya cuma dua; terima dengan iklas atau pergilah dengan damai.

 

Kelima, dorong pendeta itu untuk improve dalam berkhotbah; mungkin dengan mengambil kelas public speaking atau training menulis (training menulis bisa menolong memperbaiki sistematika berpikir). Khotbah di satu sisi memang "karunia Roh Kudus", tetapi di sisi lain khotbah juga soal keterampilan. Yang namanya keterampilan selalu bisa dilatih. Kalau sudah diapa-apakan khotbahnya tetap begitu-begitu saja, ya mungkin memang talentanya bukan di situ. Karena selain tipe orator, pendeta itu ada yang tipe pastor, konseptor, dan organisator. Sejauh bukan tipe koruptor, harusnya ya tidak apa-apa.

 

Keenam, khotbah bukan satu-satunya area pelayanan seorang pendeta. Tumbuh kembangkan bidang pelayanan lain; entah sekolah minggu atau pemuda remaja, musik dan peribadahan, atau juga konseling dan pelawatan jemaat. Kekurangan di satu sisi, bisa ditutup dengan kelebihan di sisi yang lainnya. Tetapi bagaimana kalau sudah khotbahnya jelek, pastoral buruk, leadership minus, plus rapat-rapat males pula, sibuk “studi banding” diluar tanpa guna buat jemaat? Bila demikian perlu ditanyakan lagi: mau jadi pendeta atau jadi politisi?

 

 

 

Editor: Tjhia Yen  Nie

Rubrik ini didukung oleh PT Petrafon (www.petrafon.com )


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home