Loading...
RELIGI
Penulis: Bayu Probo 15:09 WIB | Jumat, 06 Maret 2015

Kisah Bunda Teresa dari Vietnam

“... Sesungguhnya Aku berkata kepadamu, segala sesuatu yang tidak kamu lakukan untuk salah seorang dari yang paling hina ini, kamu tidak melakukannya juga untuk Aku.” (Mat. 25:45)
Sr. Mary Nguyen Thi Hong Hoa (tengah) bersama penderita kusta (kanan) dan ibunya. Saat ditemukan Sr Hoa, si penderita kusta sedang mengemis dengan berjalan bertumpu lutut di pasar. (Foto: huffingtonpost.com/Joachim Pham)

SATUHARAPAN.COM – Jika Bunda Teresa melayani di antara para penderita kusta di kawasan termiskin di Kalkuta (kini Kolkata), India, di Vietnam ada Sr Mary Nguyen Thi Hong Hoa yang melakukan karya sama bagi Yesus Kristus.

Pada zaman Alkitab, penyakit kusta bisa didefinisikan sebagai kutukan dari Allah. Namun seiring waktu, diagnosis dan pengobatan dari penderitaan akibat mengidap penyakit yang dikenal dengan nama Hansen itu makin mudah. Dan, penderita kusta atau lepra menurun di sebagian besar belahan dunia.

Namun, jumlah kasus baru terdeteksi setiap tahun di Vietnam masih tinggi. Walau demikian, prevalensi penyakit telah turun menjadi kurang dari satu kasus per 10.000 orang sejak 1995, ketika orang kusta mulai mendapatkan akses terhadap pengobatan gratis dengan terapi multiobat di pusat penyembuhan atau di rumah.

Sayang, stigma penyakit kusta umumnya masih sama seperti di zaman kuno. Terutama, mereka yang belum sembuh dari penyakit kusta akan terpinggirkan.

Kusta adalah infeksi tahan lama disebabkan oleh bakteri yang dapat tersingkir oleh antibiotik. Penyakit ini dapat melukai kulit, menyebabkan kerusakan saraf, dan kelemahan otot. Hanya sekitar lima persen orang dewasa yang rentan terhadap bakteri ini, tapi dekat dan kontak yang terlalu lama dengan orang-orang yang tidak diobati, dapat meningkatkan kemungkinan infeksi.

Sebagian besar dari 420 penderita kusta yang tinggal di Provinsi Ben Tre dan Tra Vinh di Vietnam selatan kehilangan jari kaki atau tangan mereka akibat dari penyakit ini. Dan, mereka hidup dalam kemiskinan yang ekstrem. Kebanyakan orang tua dan tinggal di rumah-rumah bobrok terpencil tanpa listrik dan air. Mereka sering harus berjalan melalui halaman rumah tetangga untuk sampai ke jalan. Ditambah lagi, pemerintah tidak memberi mereka tunjangan jaminan sosial yang biasa diterima orang lain.

Mereka tinggal sendiri dalam kelemahan akibat penyakit dan cacat fisik mereka. Beberapa di antaranya masih bujangan dan beberapa yang lain telah ditinggalkan oleh anak-anak mereka.

Tapi Ada Cahaya

Selama dekade terakhir, 140 pasien telah memperoleh manfaat dari dukungan emosional dan material dari Sr Mary Nguyen Thi Hong Hoa dan anggota lain dari Pencinta Salib Suci, yang berpusat di Cai Mon di Provinsi Ben Tre.

Hoa menyediakan mereka tunjangan bulanan, sembako, obat-obatan, dan kursi roda. Dalam banyak kasus, ia meminta relawan lokal untuk mengunjungi mereka secara teratur, juga untuk merawat dan memberikan makanan kepada orang-orang di daerah terpencil.

Dia membawa mereka ke rumah sakit bila diperlukan. Dan, ia memberi dukungan mencakup biaya pengobatan dan pemakaman. Dukungan meluas ke anak-anak para penderita. Mereka menerima bantuan keuangan untuk belajar di sekolah-sekolah negeri setempat.

Setiap tahun Hoa bekerja untuk membangun 10 rumah baru bagi mereka, lengkap dengan air sumur baru dan kontainer semen untuk menampung air hujan. Setiap rumah memerlukan biaya antara US$ 1.500 dan US$ 2.500 (Rp 19,5-Rp 32,5 juta) dan didanai dermawan asing yang murah hati.

Melayani Kusta adalah Melayani Yesus Kristus

Hoa mengatakan dia dari keluarga petani miskin dan sewaktu masih kanak-kanak harus berjalan kaki sejauh 10 km ke sekolah. “Jadi, simpati sepenuh hati saya dengan mudah keluar untuk para korban,” katanya.

“Saya melihat wajah sedih Yesus Kristus di antara orang-orang di tempat saya melayani. Ayat Alkitab favorit saya adalah, ‘... Sesungguhnya Aku berkata kepadamu, segala sesuatu yang tidak kamu lakukan untuk salah seorang dari yang paling hina ini, kamu tidak melakukannya juga untuk Aku.’” (Mat. 25:45)

Hoa menghabiskan empat hari di bulan Desember mengunjungi beberapa orang yang telah ditolong para suster itu, memberi mereka beras, mi instan, daging, roti, dan uang, sehingga mereka bisa merayakan Natal. Dia bisa mengunjungi lima orang per hari.

Untuk menjangkau mereka, dia naik sepeda motornya, melintasi jalan berkelok-kelok yang diselimuti tanaman liar, dan melalui sawah tergenang air dan bau jerami. Di jalan kering, sebuah van yang lewat mungkin menimbulkan awan debu, sementara di tempat lain jalan tertutup lumpur.

“Saya pernah jatuh di jalan atau ke selokan,” ia mengenang. “Skuter rusak, dan saya mendorong sepanjang jalan untuk mencari bengkel.”

Kebanyakan pasien gembira melihatnya dan akan mengatakan padanya, “Aku merindukanmu. Kamu sudah lama tidak datang ke sini.”

Bagi banyak orang, dia seperti kerabat satu-satunya. Dia mendengarkan cerita dan kebutuhan mereka dan menyarankan mereka untuk menjaga kebersihan pribadi.

Hoa mengatakan, “Saya tidak peduli tentang risiko kontak yang terlalu lama dengan bakteri penyakit Hansen. Saya percaya Tuhan melindungi saya dari kusta sehingga saya bisa bekerja untuk pasien.”

Nguyen Thi Sinh, 76, yang telah kehilangan jari tangan dan kaki, sedang mandi saat Hoa datang. Anak Sinh, yang menderita gangguan mental, membantu ibunya berpakaian dan menyisir rambutnya.

Anak laki-laki itu meneteskan air mata saat menerima daging dan pangsit dari Hoa, yang juga menempatkan hadiah memorial buah di altar almarhum ayahnya sebagai cara untuk menghormati orang mati.

Thach Gia Ruong, yang etnis Kamboja, tinggal sendirian di sebuah gubuk yang terbuat dari daun dan dikelilingi sawah. Pria itu, tua sebelum waktunya, tidak pernah mampu mencuci rambutnya yang panjang dan kusut.

Ruong tersenyum dan menyambut tamunya dengan hangat. Dia menawari Hoa mengambil anjingnya untuk menunjukkan rasa terima kasih padanya.

Hoa mengatakan, dulu tenaga kesehatan lokal tidak bisa mendekati Ruong yang mengancam mereka dengan pisau dan mengusir mereka. Mereka meminta Hoa untuk merawat Ruong.

“Saya mengunjungi dia secara teratur dan menawarinya tunjangan bulanan sebesar 300.000 dong (Rp 200.000) selama dua tahun terakhir, dan menggali sumur untuk dia,” katanya.

Ho Van Thoi, yang wajah, kaki, dan tangannya cacat akibat kusta, tinggal sendirian dan telah masuk Katolik. “Saya akan mati tahun lalu jika tanpa kasih sayang Sr Hoa. Saya sangat berterima kasih atas semua bantuan beliau,” katanya.

Tahun ini, dermawan telah menawarkan sumbangan untuk mendukung korban kusta untuk enam bulan mendatang dan membangun tiga rumah baru, termasuk satu untuk Ruong. Konstruksi dimulai bulan ini. (huffingtonpost.com)

Baca juga:


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home