Loading...
MEDIA
Penulis: Diah Anggraeni Retnaningrum 00:15 WIB | Senin, 05 Oktober 2015

Kisah Wartawan Australia Jadi Saksi Mata Tragedi ‘65

Seorang mahasiswa tionghua (tengah) dipukul pemuda yang menyerbu asrama dari universitas komunis China di Jakarta pada tahun 1965. (Foto: smh.com.auFairfax)

PERTH, SATUHARAPAN.COM – Wartawan asal Australia Frank Palmos mungkin merupakan satu-satunya orang asing pertama di dunia yang menyaksikan tragedi pembersihan komunis yang dimulai pada bulan Oktober di Indonesia 50 tahun yang lalu.

Kepada surat kabar terbesar di Melbourne, The Sun News-Pictorial, Palmos menyebutkan jumlah yang meninggal dalam tragedi tersebut lebih dari satu juta orang.

“Ketika mereka mulai membunuh, semua menjadi tidak terkendali. Pemenggalan adalah bentuk paling umum dari tindakan pembersihan kala itu. Tetapi untuk pembersihan dalam jumlah banyak, biasanya mereka melakukan penembakan. Itu normal,” kata dia pada hari Kamis (1/10).

Palmos jarang berkumpul dengan para wartawan asing lainnya. Namun, dia sangat fasih berbahasa Indonesia dan memahami orang Jawa juga Sunda, ini adalah salah satu alasan mengapa dia sangat mudah mendapatkan akses dari pribumi saat mengunjungi pedesaan yang diimpikan rekan-rekan jurnalisnya.

“Don North (wartawan asal Kanada) dan saya adalah wartawan pertama yang pergi ke Jawa Barat dan Tengah dan melihat langsung apa yang terjadi di sana,” kenang Palmos yang kini berusia 75 tahun di rumahnya di Perth.

Awalnya, Palmos memperkirakan yang tewas saat itu adalah 500.000 orang. Tapi setelah dihitung dengan cermat, angka tersebut bertambah hingga mendekati satu juta orang usai dia mengetahui bahwa ada tragedi serupa yang terjadi di Bali.

“Mereka mengamuk dan melemparkan ribuan orang dari tebing Singaraja. Setiap kali saya kembali, saya selalu menemukan lagi dan lagi korban tewas.”

Laporan Palmos yang berjudul “So Indonesia Counts Its Dead” adalah salah satu dari beberapa kali laporan pembunuhan masal terhadap komunis yang disebutkan di media massa Australia satu tahun setelah kudeta 1965, menurut Profesor Kehormatan Universitas Melbourne, Richard Tanter.

“Meskipun laporan Palmos sangat kuat dan serius, tidak ada tindak lanjut, komentar bahkan editorial,” kata Tanter dalam bukunya yang berjudul “1965: Indonesia and the World”.

Frank Palmos, 1 Oktober 2015 di Perth. (Foto: Philip Gostelow)

Sejauh mana surat kabar dan pemerintah asing yang terlibat dalam mengecilkan laporan pembantaian karena mereka mendukung penggulingan komunisme akhirnya diungkap dalam film dokumenter berjudul Shadow Play yang dibuat pada tahun 2001.

“Saya melaporkan banyak wawancara dari kejadian tersebut tapi banyak dari mereka tidak melihat informasi itu di koran,” kata Palmos dalam film dokumenter.

Richard Woolcott, pihak humas untuk Departemen Luar Negeri Australia menulis dalam sebuah memo pada tahun 1965: Kami sekarang dalam posisi untuk mempengaruhi isi tajuk utama di hampir semua surat kabar utama metropolitan.

Woolcott kemudian mengirimkan sebuah telegram yang meminta duta besar Australia pada saat itu Keith Mick Shann menganjurkan kepada Radio Australia meneruskan semua berita kepadanya dan tentara Indonesia, termasuk dengan pemberitaan yang tidak terlalu fokus pada kegiatan tentara Indonesia.

Namun, Palmos mengatakan duta besar tidak pernah berusaha mempengaruhi laporannya.

“Mick tidak akan pernah mencobanya pada saya. Tidak ada seorang pun di Kedutaan Besar Australia yang tahu sebanyak yang saya tahu. Mick butuh saya sama seperti saya butuh Mick,” kata dia.

Palmos percaya yang dilakukan oleh Kedutaan Besar saat itu merupakan hal yang sangat penting.

Dia mengatakan Jakarta pada tahun 1965 merupakan masa-masa ‘mengandung bahaya’. “Sangat sulit untuk menjelaskannya kepada orang Eropa seberapa besar bahayanya,” kata dia. Partai Komunis Indonesia bahkan membuat papan yang menggambarkan pembantaian terhadap orang asing.

Tiongkok dan PKI mendesak Presiden RI Soekarno untuk mengizinkan buruh dan petani dipersenjatai menjadi angkatan kelima.

“Peristiwa itu sangat menegangkan.. sangat kejam. Saya yakin akan terjadi perang saudara,” kata dia.

Palmos percaya bahwa saat itu Australia memang lebih mendukung Soeharto.

“Kami semua sangat lega, bukan karena Soeharto. Tapi karena ada perubahan. Jika tidak, Indonesia akan menjadi neraka dan akan menjadi tempat yang sangat mengerikan,” kata dia.

Namun, ketika Palmos mulai menjelajahi Indonesia –pertama ke Jawa Timur lalu ke Jawa Tengah pada Oktober dan November 1965 dan Surabaya di awal tahun 1966– dia menyadari sudah sejauh mana pembantaian itu terjadi.

“Banyak orang menghidupkan PKI dan menjadi pengikutnya. Tapi pengikut PKI ini tidak pantas mati,” kata dia.

Dalam tesis master Asisten peneliti Universitas Monash, Marlene Millot menulis peran terbesar Australia dalam kekejaman 1965-1966 adalah melalui penyiaran dan mendukung aksi propaganda tentara Indonesia.

“Tindakan Australia sebagai kaki tangan dalam pembantaian tersebut tidak harus dibesar-besarkan,” tulisnya. “Pembantaian PKI dilatarbelakangi oleh tahun ketegangan antara Angkatan Darat dan PKI serta lingkungan politik internal yang kompleks di mana tanpa disadari kemungkinan Australia juga berperan dalam pembantaian tersebut.” (smh.com.au)

Editor : Yan Chrisna Dwi Atmaja


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home