Loading...
BUDAYA
Penulis: Sotyati 21:27 WIB | Minggu, 08 Desember 2013

Kitsie Emerson, Duta Seni Wayang Kulit

Kitsie Emerson. (Foto: Sotyati)

JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Seni wayang kulit maju satu langkah ke depan. Warga asing penggemar seni, khususnya seni budaya Jawa termasuk wayang kulit, kini dapat lebih leluasa menikmati dan memahaminya, setelah Yayasan Lontar bekerja sama dengan Total E&P Indonesie meluncurkan ”Paket Pendidikan Wayang”, penggal akhir November lalu.

Penerbitan karya monumental itu, yang dibuat dalam tiga bahasa, Jawa, Inggris, dan Indonesia, melibatkan dua seniman, dalang Ki Purbo Asmoro dan seniman gamelan-karawitan Kitsie Emerson. 

Kitsie Emerson (51) mendapat kepercayaan menranskripsi lakon Makutharama dalam tiga gaya pementasan, yakni gaya klasik kraton, gaya garapan (modern), dan gaya padat, ke dalam bahasa Jawa dan bahasa Inggris (dalam judul Rama’s Crown). Ia juga menranskripsi tiga gaya pementasan Sesaji Raja Suya, gaya klasik kraton, gaya garapan (modern), dan gaya padat, ke dalam bahasa Jawa dan bahasa Inggris (dalam judul The Grand Offering of the Kings). Kedua lakon itu dimainkan dalang Ki Purbo Asmoro. 

Tentu bukan nama Kitsie Emerson yang tercantum di dalam karya yang ditujukan untuk membawa seni wayang kulit ke kancah global itu. Yang tertera adalah Kathryn Emerson, nama asli lulusan Cornell University dan Queens College yang jatuh cinta kepada kesenian Jawa itu.     

”Bukan soal mudah. Banyak orang bisa menerjemahkan dari satu bahasa ke bahasa lain. Namun, untuk bisa menangkap dan memahami bahasa wayang dan menerjemahkannya langsung perlu keahlian khusus,” kata Kitsie dalam acara temu wartawan sebelum peluncuran Paket Pendidikan Wayang. 

Wayang kulit menggunakan bahasa Jawa dalam berbagai tingkatan, mulai dari ngoko (bahasa sehari-hari, Red) hingga kromo inggil (bahasa halus). Di samping itu, seni wayang kulit menyimpan filosofi yang adiluhung. Kedua hal itu yang acap menjadikan seni wayang kulit sangat sulit diterjemahkan. 

Jatuh Cinta 

Memerlukan waktu lebih kurang enam tahun bagi Kitsie Emerson dan Ki Purbo Asmprop menyelesaikan kerja besar menerjemahkan dan menranskripkan lakon untuk Paket Pendidikan Wayang. Hanya ketekunan dan kecintaanlah yang membuat kerja besar membuahkan Paket Pendidikan ”Wayang untuk Dunia” menjadi kenyataan. 

Kisah berawal dari masa ketika Kathryn Emerson, gadis Kalamazoo, Michigan, Amerika Serikat, tiba-tiba jatuh cinta kepada seni gamelan dan bertekad mempelajarinya di tempat asalnya. Tujuannya, Tanah Jawa, entah Solo, atau Yogyakarta. Titik balik itu terjadi setelah ia melihat poster petunjukan gamelan di Central Park, Kota New York. 

Musik bukan dunia asing baginya. Dalam wawancara dengan Jakarta Post pada 2009, bisa dibaca ia bermain piano sejak usia 5 tahun dan menekuni permainan musik piano di Cornell University. Ia bahkan meraih gelar master.

Tinggal di Indonesia sejak 1992, Mbak Kitsie, demikian ia sering dipanggil, seperti bisa dibaca di siaran pers Yayasan Lontar, belajar gamelan secara intensif selama lebih kurang sepuluh tahun. Ia tercatat tampil dalam beberapa kali pergelaran wayang sebagai pesinden. Dari seni karawitan, ketertarikan Kitsie berkembang. Ia lalu memusatkan perhatian belajar wayang kulit purwa.  

Pada kenyataannya Kitsie bukan hanya jatuh cinta kepada seni karawitan dan seni wayang kulit. Ia jatuh cinta kepada ”tanah air” keduanya, dan dipersunting seniman karawitan, guru gamelan, Wakidi Dwidjomartono. 

Pada 2004, ia mulai mengembangkan teknik menerjemahkan pertunjukan wayang secara langsung. Ia terlibat dalam pergelaran wayang kulit yang dimainkan dalang Ki Purbo Asmoro. 

“Itu juga bukan proses yang mudah. Baru setelah empat tahun saya bisa benar-benar mengikuti (gaya mendalang) Ki Purbo Asmoro,” Kitsie, kandidat doktor di Leiden Institute of Area Studies, Belanda itu, menjelaskan.   

Menerjemahkan Simultan

Kitsie menerjemahkan secara simultan ke dalam bahasa Inggris pergelaran wayang kulit Wahyu Purbosejati pada peluncuran Paket Pendidikan Wayang penggal akhir November lalu. Melalui layar lebar yang dipasang di kiri-kanan para penabuh gamelan, tamu dari berbagai negara bisa mengikuti langsung melalui teks yang diketik Kitsie, kisah klasik yang dibawakan Ki Purbo Asmoro. 

Sebelum pergelaran wayang kulit, Kitsie sempat menunjukkan satu lagi bentuk kepeduliannya terhadap seni budaya Jawa. Ia mengajak anak-anak asuhnya yang tergabung dalam Jakarta International School (JIS) Gamelan Club untuk naik pentas mengiringi dalang cilik Pranowo Aryo Carito. Dua puluh pemusik dari JIS Gamelan Club yang berasal dari 14 negara, tampil mengenakan busana Jawa, beskap untuk murid laki-laki, dan kain serta kebaya modern untuk murid perempuan. 

Kesabaran, ketekunan, dan terlebih kecintaan yang mengantar Kitsie Emerson untuk terus menekuni seni budaya Jawa. Hanya dengan ketekunan dan kecintaan pula Kitsie mampu membuat seni wayang kulit yang tak mudah diterjemahkan mengingat filosofi dan pemakaian bahasa Jawa yang tidak digunakan sehari-hari, menjadi lebih mudah dipahami. 

Karya monumental itu kini diperkenalkan kepada dunia. Peluncurannya bertepatan dengan sepuluh tahun wayang dinyatakan Badan PBB untuk Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan (UNESCO) sebagai ”Intangible Cultural Heritage of Humanity”.  

Editor : Yan Chrisna Dwi Atmaja


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home