Loading...
HAM
Penulis: Diah Anggraeni Retnaningrum 11:47 WIB | Kamis, 28 November 2013

KKPK: Jeritan Hati Korban Kekerasan Beragama dan Berkeyakinan yang Tidak Pernah Digubris

KKPK: Jeritan Hati Korban Kekerasan Beragama dan Berkeyakinan yang Tidak Pernah Digubris
Majelis Warga KKPK. (foto-foto: Diah Anggraeni Retnaningrum).
KKPK: Jeritan Hati Korban Kekerasan Beragama dan Berkeyakinan yang Tidak Pernah Digubris
Husein Safii, korban Peristiwa Tanjung Priok.
KKPK: Jeritan Hati Korban Kekerasan Beragama dan Berkeyakinan yang Tidak Pernah Digubris
Husein Safii saat memperlihatkan kakinya yang sakit selama empat tahun karena ada bekas peluru di dalamnya.
KKPK: Jeritan Hati Korban Kekerasan Beragama dan Berkeyakinan yang Tidak Pernah Digubris
Azwar, korban kekerasan dalam Peristiwa Talangsari, Lampung.
KKPK: Jeritan Hati Korban Kekerasan Beragama dan Berkeyakinan yang Tidak Pernah Digubris
Nasrudin Ahmadi, korban kekerasan terhadap Ahmadiyah di Lombok.

JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – “Sayangnya di pengadilan ini kelihatannya hanya sandiwara,” kata Husein Safii dalam kesaksiannya di acara Dengar Kesaksian: Kekerasan dalam Ideologi dan Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan, Rabu (27/11). Acara tersebut diselenggarakan oleh Koalisi Keadilan dan Pengungkapan Kebenaran (KKPK) di Ruang Teater, Gedung Perpustakaan Nasional yang terletak di jalan Salemba Raya.

Peristiwa Tanjung Priok

Sesi kedua pada acara Dengar Kesaksian: Kekerasan dalam Ideologi dan Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan itu dibuka dengan sebuah video klip yang menggambarkan tentang bagaimana ketidakadilan melanda negeri ini ketika beberapa golongan masyarakat Indonesia terhalangi haknya untuk beribadah. Setelah melihat klip, Husein Safii, korban Peristiwa Tanjung Priok membuka kembali kenangan pahitnya di depan Majelis Warga dan para hadirin.

Husein Safii bercerita betapa mengerikannya peristiwa di Tanjung Priok tersebut merebut ketenteraman hidupnya. Ia berpura-pura mati karena tertembak dan disitu ia mengalami dan menyaksikan bagaimana manusia diperlakukan tidak adil. Ia juga menyaksikan bagaimana hukum di Indonesia tidak berpihak kepadanya. Ia merasa hakim dan Jaksa Penuntut Umum (JPU) bekerja sama untuk bersikap tidak adil kepadanya. Persidangan selalu ditunda karena alasan tertentu dan itu selalu terjadi berkali-kali. Setiap kesaksian yang ia berikan mengenai orang yang bertanggung jawab pada peristiwa tersebut selalu dipotong.

Kompensasi yang dijanjikan oleh pemerintah pun tidak pernah diberikan.  Akhirnya selama 25 tahun tidak ada kejelasan apa-apa. Kerugian materil juga ia alami hingga sampai saat ini ia tidak bisa melanjutkan usahanya lagi.

Peristiwa Talangsari, Lampung

Dalam kesaksiannya, Azwar, korban Peristiwa Talangsari menceritakan bagaimana keluarganya mengalami trauma menghadapi perlakuan yang dilakukan oleh aparat. Bahkan, istri dan anak-anaknya ditangkap dan disiksa. Berkali-kali mereka mendapatkan perlakuan yang tidak menyenangkan seperti pukulan, hantaman, rumah yang dibakar hingga habis tak bersisa. Selain kerugian materi, keluarganya juga mengalami tekanan psikis yang sangat dalam. Bahkan, ia harus rela kehilangan anaknya yang sampai saat ini belum bisa ditemukan jasadnya. Ia harus masuk-keluar penjara dengan alasan yang tidak jelas.

Setelah peristiwa itu, ia harus berjuang demi keluarganya. Setelah reformasi, sang istri mulai membaik dan menjalani kembali kehidupan mereka. Bahkan, dalam kekurangannya, ia mengangkat dan menyekolahkan dua orang anak dari keluarga yang tidak mampu.

Ia juga menyatakan bahwa kasus Talangsari ini sudah masuk di pengadilan bahkan sampai Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Namun, sampai sekarang tidak ada tindakan nyata terhadap keluarga Azwar. Bahkan Presiden SBY pun berjanji dalam waktu lima hari, tim-nya akan meninjau kasusnya namun, hingga saat ini sudah empat tahun tidak ada seorang pun yang datang untuk meninjau kasusnya.

Serangan Terhadap Ahmadiyah di Lombok

Nasrudin Ahmadi dalam kesaksiannya menjelaskan bahwa semua jemaat Ahmadiyah hidup di Indonesia berdasarkan NKRI, Undang-undang Dasar dan Pancasila. Ia juga menyatakan bahwa dalam surat keputusan Menteri Agama tahun 1968 bahwa jemaah Ahmadiyah adalah legal.

Ia  memaparkan bahwa jemaah Ahmadiyah di daerah Jawa Barat mati disyahidkan karena mendapatkan tekanan dari Darul Islam agar mengikuti gerakan mereka. Namun, jemaah Ahmadiyah lebih memilih mati daripada harus mengingkari NKRI.

Genderang antipati terhadap jemaah Ahmadiyah oleh kelompok intoleran terjadi  pada puncaknya tahun 1998. Rumah mereka dijarah, dibakar, diusir dan menyegel masjid milik mereka sendiri oleh kelompok yang mengatasnamakan agama tertentu.

Keterlibatan aparat dan pemerintah tahun 2002 selama enam hari, penghancuran, pengrusakan dan pembakaran rumah-rumah Ahmadiyah berlangsung. profokasi dan adu domba pun turut dirasakan oleh para jemaah. Sampai saat ini, mereka masih mengungsi. Bahkan menkopolhukam yang berjanji untuk datang, tidak pernah datang sampai saat ini. Aparat kepolisian yang seharusnya melindungi masyarakat dalam peristiwa tersebut tidak bertindak apa-apa dan terkesan dibiarkan. Dalam pelayanan sistem pemerintahan pun, jemaah Ahmadiyah tidak mendapatkan apapun. Mulai dari e-ktp, bls, jaminan kesehatan, keamanan, politik dan balsem.

Dalam akhir kesaksiannya, Nasrudin Ahmadi berkata: “Fatwa MUI yang mengharamkan Ahmadiyah, jangan dihapus. Karena MUI dan Ahmadiyah merupakan simbiosis mutualisme, sama-sama menguntungkan. Karena MUI, nama Ahmadiyah pun menjadi booming, sama halnya dengan MUI, karena Ahmadiyah, nama MUI menjadi booming.”

“Bahkan seharusnya ditambahkan, bahwa haram hukumnya untuk merusak aset jemaah Ahmadiyah.”

Walaupun jemaah Ahmadiyah selalu dianiaya, namun mereka tidak pernah membalasnya dengan kejahatan juga. Mereka memilih untuk tetap berpegang pada motto yang selama ini mereka anut: “Love For All, Hatred For None.”

Editor : Bayu Probo


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home