Loading...
INDONESIA
Penulis: Febriana Dyah Hardiyanti 18:23 WIB | Jumat, 29 April 2016

Koalisi Masyarakat Sipil: RUU Terorisme Sangat Dipaksakan

Koalisi masyarakat sipil saat mengadakan diskusi publik di Kantor KontraS, Jakarta, hari Jumat (29/4) (Foto: Febriana DH)

JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Usulan pemerintah untuk melakukan pembahasan RUU tentang perubahan atas UU Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme yang disambut sikap reaksioner DPR RI dengan pembentukan panitia khusus (Pansus) terkesan sangat dipaksakan. Hal ini dikatakan oleh Erasmus Napitupulu, peneliti di Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), hari Jumat (29/4), di Kantor Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), Jakarta.

Koalisi masyarakat sipil yang terdiri dari ICJR, KontraS, Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK), dan Lembaga Bantuan Hukum (LBH), menilai bahwa pembahasan tersebut sangat dipaksakan mengingat rancangan yang ada saat ini masih belum menjawab permasalahanpemberantasan terorisme di Indonesia.

Sebelumnya, pemerintah menyerahkan draf RUU tesebut pada bulan Februari 2016 sebagai reaksi atas serangan terorisme di kawasan Sarinah Jakarta beberapa waktu sebelumnya.

“Ketentuan yang ada dalam rancangan saat ini melanggar prinsip-prinsip hak asasi manusia (HAM) yang dianut dalam berbagai instrumen, seperti deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM), Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik (ICCPR), serta Konvensi Internasional tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial (ICEAFRD),” kata Erasmus.

Menurut mereka, sejumlah masalah muncul dalam RUU tentang Tindak Pidana Terorisme yang tengah dalam pembahasan saat ini. Di antaranya, pertama, mengenai kewenangan penangkapan yang bertentangan dengan KUHP. RUU ini memberikan kewenangan bagi penyidik untuk melakukan penangkapan kepada orang yang diduga keras melakukan tindak pidana terorisme dalam waktu 30 hari. Padahal, nomenklatur hukum yang berlaku di Indonesia tidak mengenal status hukum terduga sebagaimana diatur dalam RUU ini.

“KUHP mengatur bahwa penangkapan dapat dilakukan dalam waktu satu hari dan penahanan hanya dapat dilakukan terhadap tersangka atau terdakwa berdasarkan bukti yang cukup,” ujar Erasmus.

Selain itu, dikatakan olehnya, ICCPR juga secara tegas  mengatur bahwa penahanan hanya dapat dilakukan pada orang dengan status hukum yang jelas dengan jangka waktu yang rasional untuk sesegera mungkin dibawa ke persidangan.

Kedua, mengenai kewenangan pencabutan status kewarganegaraan. Potensi pelanggaran HAM juga terdapat dalam RUU ini yang memberikan kewenangan bagi negara untuk memberikan sanksi pencabutan kewarganegaraan bagi setiap WNI yang mengikuti segala jenis pelatihan untuk tindak pidana terorisme.

“Pencabutan kewarganegaraan memiliki konsekuensi status keadaan tanpa negara (statelessness) yang tidak lagi mendapatkan jaminan perlindungan dari negara sehingga patut untuk dihindari,” katanya.

Ketiga, mengenai konsep deradikalisasi terorisme. “Deradikalisasi sebagai pendekatan baru yang digadang-gadang menjadi solusi dalam pemberantasan terorisme justru juga berpotensi melanggar HAM. Adanya ketentuan yang memberikan kewenangan kepada penegak hukum untuk menempatkan oranng tertentu di satu tempat tertentu selama enam bulan dalam rangka deradikalisasi patut dipertanyakan,” ujar Erasmus.

Deradikalisasi semacam ini dianggap berpeluang menciptakan model pusat-pusat penahanan yang rentan disalahgunakan untuk penyiksaan dan tindakan tidak manusiawi lainnya.

Keempat, mengenai akuntabilitas kinerja aparat penegak hukum dalam pemberantasan terorisme. “RUU ini belum membahas secara spesifik bentuk pertanggungjawaban dan akuntabilitas aparat penegak hukum dalam melakukan operasi pemberantasan terorisme. Tidak adanya mekanisme akuntabilitas tercermin pada saat dilakukan pencegahan, penangkapan, dan penahanan terhadap terduga teroris,” katanya.

Disebutkan pula, kasus salah tangkap yang dilakukan aparat penegak hukum yang kerap kali terjadi, penyiksaan selama proses pemeriksaan---bahkan yang berakibat pada kematian seperti kasus Siyono---kepada yang diduga melakukan tindak pidana terorisme.

Dari data Komnas HAM, disebutkan sebanyak 121 orang yang diduga melakukan terorisme, tewas, tanpa menjalani proses peradilan terlebih dahulu. Dalam kerangka HAM, tindakan tersebut menurut mereka, termasuk dalam extrajudicial killing atau pembunuhan yang dilakukan di luar sistem hukum---tanpa putusan pengadilan.

Kelima, mengenai tuntutan ganti kerugian jika terjadi kesalahan dalam operasi pemberantasan terorisme. “Operasi pemberantasan terorisme selama ini telah mengesampingkan kerugian yang dialami, baik pihak yang diduga maupun pihak lain yang terdampak. Kerugian yang dialami keduanya bukan hanya sebatas pada kerugian materil, tapi juga imateril, seperti, trauma psikis, stigma teroris terhadap korban salah tangkap, dan sebagainya. Rancangan yang ada saat ini belum membahas penggantian kerugian yang dialami oleh korban atau pun pihak terdampak lain,” ujar Erasmus.

Keenam, mengenai penguatan hak-hak korban terorisme. Dikatakan oleh Erasmus bahwa penanganan korban terorisme selama ini tidak mendapatkan perhatian khusus, meskipun dalam berbagai undang-undang hak korban terorisme telah tercantum.

Salah satu persoalan mendasar adalah prosedur yang memberatkan korban secara menyeluruh, seperti bantuan medis psikologis dan kompensasi.

“Untuk kompensasi, dari banyaknya pengadilan atas tindak pidana terorisme yang terjadi di Indonesia, hanya dalam kasus JW Marriot, hakim mengamanatkan pemberian kompensasi bagi korban, sisanya kompensasi kepada korban di kasus terorisme lain, sama sekali tidak ada,” ujar Erasmus.

Menurut mereka, seharusnya pemberian kompensasi bagi korban haruslah bersifat segera, tanpa harus menunggu putusan pengadilan, sebab kompensasi jelas merupakan tanggung jawab negara lewat pemerintah. “Namun, aturan yang ada saat ini, baik di UU LPSK maupun UU Terorisme tidak efektif. Kedua aturan itu menyamakan prosedur kompensasi sama dengan restitusi yang bergantung dengan putusan pengadilan yang jelas merugikan korban,” kata Erasmus.

Dengan banyaknya permasalahan terkait pemberantasan terorisme yang masih belum mampu dijawab oleh pemerintah melalui RUU tentang Perubahan atas UU Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, mereka mendesak DPR RI untuk tidak terburu-buru melakukan pembahasan. Mereka mengharapkan adanya  ruang seluas-luasnya bagi masyarakat sipil untuk memberikan masukan terkait pasal-pasal yang masih bermasalah dalam RUU tersebut.

Editor : Eben E. Siadari


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home