Loading...
INDONESIA
Penulis: Endang Saputra 17:52 WIB | Selasa, 27 September 2016

Komisi III Nilai SP3 Kahutla Janggal

Suasana Rapat Dengar Pendapat Komisi III dengan Kapolda Riau di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta Pusat, hari Selasa (27/9). (Foto: Endang Saputra)

JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Anggota Panitia Kerja (Panja) Kebakaran Hutan dan Lahan (Kahutla) Masinton Pasaribu menilai penetapan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) sangat janggal terkait kasus pembakaran hutan dan lahan.

Maka, Polda Riau harus membuka dokumen penyidikan hingga proses penetapan SP3. Bila terbukti janggal, maka SP3 pun diminta dianulir, meski proses praperadilan dapat berjalan.

“Saya minta buka dokumen penyidikan, kalau penegakan hukum tidak dilakukan secara profesional, saya minta pejabat-pejabat ini diganti dan diberikan sanksi, tidak cukup hanya copot jabatan, tapi UU bisa menyeretnya dalam tindakan hukum berikutnya. Agar penegakan hukum kita tidak ecek-ecek,” kata Masinton dalam Rapat Dengan Pendapat Komisi III dengan Polda Riau, di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta Pusat, hari Selasa (27/9).

Politisi Partai PDI Perjuangan menilai penghentian penyidikan perkara terhadap 15 perusahaan dilakukan tidak sesuai prosedur. Misalnya ketiadaan Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP) menjadi celah hukum dalam mempersoalkan penghentian penyidikan tersebut.

Setidaknya terdapat tiga Perundangan yang mesti menjadi perhatian penyidik Polda Riau ketika menangani kasus kebakaran hutan. Yakni, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan dan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan. Ketiga beleid itu mengatur pidana terhadap pelanggarnya.

“Masa kita tidak bisa menjerat permasalah ini,” kata dia.

Sementara itu Brigadir Jenderal (Brigjen) Supriyanto merupakan Kapolda Riau yang baru saja ditarik ke Mabes Polri menjadi Irwil II Itwasum Polri berdasarkan Surat Telegram Kapolri pertanggal 23 September 2016. Supriyanto tidak mengetahui banyak penanganan kasus tersebut.

Namun sepanjang yang diketahui Supriyanto memang hanya terdapat tiga SPDP. Sementara 12 perusahaan lainnya tidak terdapat SPDP.

“Kenapa belum ada SPDP, karena penyidik belum menetapkan tersangkanya siapa, kita hanya berdasarkan hotspot (titik panas) Pak, hanya hotspotnya saja tersangkanya belum ada. Kalau secara detil penyidik kami bisa menjelaskan,” kata dia.

Wakil Direktur Reserse Kriiminal Khusus Polda Riau, AKBP Arif Rahman menambahkan kala itu ia menerima informasi tentang adanya hotspot titik api dari  Satgas BPBD dan Kehutanan. Lantaran hanya mengantongi informasi titik koordinat api dan tempat kejadian perkara perusahaan, maka diterjunkanlah anggota kepolisian untuk memeriksa. Kemudian ditemukanlah api. Setidaknya lahan yang bekas terbakar. Ia pun memerintahkan untuk dibuatkan laporan polisi.

“Kemudian setelah dibuat laporan polisi, untuk mendalami pelakunya siapa, saksi siapa, kami perlu keluarkan satu surat perintah penyelidikan, bahwa memang ada kejahatan kebakaran, pelanggaran kebakaran,” kata dia.

Menurut Arif, dalam proses penyelidikan dan penyidikan pihaknya belum mengetahui pelaku pembakar hutan.

Namun penyidik sudah mengetahui areal milik perusahaan tertentu. Penyidik pun mesti menemui pemilik perusahaan untuk mengetahui siapa pihak yang dapat dimintakan pertangungjawaban.

“Atas dasar itulah penyidik mengundang berbagaai ahli kebakaran, kehutanan, ahli perusahaan terbatas,” kata dia.

 “Sehingga kami tahu siapa yang harus bertanggung jawab atas areal perusahaan itu. Sehingga kami belum menentukan siapa tersangka, tapi proses penyidikan membuat terang suatu perkara pidana, telah berjalan".

Editor : Diah Anggraeni Retnaningrum


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home