Loading...
HAM
Penulis: Endang Saputra 16:46 WIB | Kamis, 27 November 2014

Komnas Perempuan: Istri ‘Teroris’ Sering Jadi Korban

Ketua Komisi Nasional (Komnas) Perempuan Yuniati Chuzaifah,ketiga dari kiri. ( Foto: Endang Saputra)

JAKARTA,SATUHARAPAN.COM – Ketua Komisi Nasional (Komnas) Perempuan, Yuniati Chuzaifah mengatakan dalam kasus terorisme, istri seorang tersangka teroris sering menjadi “korban” pemerintah, karena dia diduga sering disiksa atau disudutkan.

Menurutnya di mana dan kapan saja, istri seorang teroris kerap ditawan demi mendapatkan informasi keberadaan suaminya.

"Biasanya ada titik suaminya yang pasrah, takut istrinya diapa-apain dan ada juga si istri dibiarkan saja jadi target, kemudian perempuan jadi alat kebijakan," kata Yuniati dalam sebuah diskusi bertema “ Perempuan-Perempuan Fundamentalis” di Utan Kayu 68 H Jakarta Timur, Rabu (26/11) malam

Karena itu, kata Yuniati, mencontohkan masyarakat Amerika Latin pernah menentang kata terorisme. Sebab, banyak perempuan yang menjadi korban, seperti diperkosa dan tidak boleh keluar rumah.

"Publik internasional menganggap, itu kejahatan. Lalu kemudian, turunlah serangan-serangan atas nama anti-terorisme. Nah, ini juga bermasalah," kata dia,

Dampak fundamentalisme lainnya terhadap hak asasi manusia (HAM) perempuan, kata dia, juga berpengaruh dalam realitas sosial lainnya. Misalnya, pembatasan terhadap kebebasan berekspresi dan berpolitik yang dialami para perempuan yang mendemonstrasi GKI Yasmin.

"Tapi yang menarik perempuan-perempuan para pendemo GKI Yasmin itu, kita tanya, ‘bagaimana pendapat perempuan Muslim di sana?’ Kita pikir orang-orang akan anti-semua, anti-gereja. Ternyata tidak. Perempuan di sana justru berharap, moga-moga bapak RT/RW-nya bukan orang itu lagi, karena kalau orang itu lagi, kami akan dimobilisasi (berdemonstrasi, red) terus dan terus lagi," kata dia.

Yuniati mengungkapkan, fundamentalisme itu berpengaruh terhadap menyempitnya ruang gerak dan dikhawatirkan berlangsung masif di Aceh, karena banyak warganya kehilangan kedaulatan. Pasalnya, ruang privat menjadi salah satu objek regulasi atau Qanun.

"Kebijakan diskrimatif itu (penyempitan ruang gerak, red), sudah 365 kasus. Dalam kurun waktu tiga tahun, naik dua kali lipat. Ini penting untuk kita pikirkan, jangan-jangan kita sibuk di level nasional, tapi absen dalam politik daerah," katanya.

Namun, ungkap Yuniati, hal tersebut tak berpengaruh terhadap pembatasan ruang gerak atau mobilitas di wilayah lain. Dia mencontohkan dengan kebijakan salah satu universitas Islam negeri (UIN) yang melarang segela aktivitas di kampus berlangsung di atas jam 10 malam, menyusul adanya kasus pemerkosaan terhadap civitasnya. Namun, kebijakan tersebut tak efektif, lantaran tak diindahkan para stakeholder. "Jadi, fundamentalisme membatasi mobiltas itu tidak tepat."

Editor : Bayu Probo


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home