Loading...
INDONESIA
Penulis: Francisca Christy Rosana 19:53 WIB | Rabu, 05 November 2014

Komnas Perempuan Kecam Qanun Jinayat di Aceh

Ketua Komisi Nasional (Komnas) Perempuan Yuniyanti Chuzaifah dalam Forum Nasional Kebangsaan bertajuk “Meneguhkan Bingkai Kebangsaan dan Integritas Hukum Nasional dalam Pelaksanaan Otonomi Khusus di Aceh” pada Rabu (5/11) di Hotel Acacia, Jakarta. (Foto: Francisca Christy Rosana)

JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Ketua Komisi Nasional (Komnas) Perempuan Yuniyanti Chuzaifah mengecam pemberlakuan Peraturan Daerah Syariah Aceh atau Qanun Jinayat, yakni Perda yang mengatur hukum pidana Islam.

Pemberlakuan Qanun Jinayat dipandang Yuniyanti Chuzaifah penuh diskriminasi dan telah meresahkan masyarakat yang juga menuai sejumlah kritik. Berbagai problematika muncul sejak peraturan ini disahkan pada akhir September lalu oleh Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA). 

“Pemberlakuan Qanun ini bermasalah karena bertentangan dengan spirit konstitusi termasuk soal penghukuman yang tidak manusiawi,” kata Yuniyanti saat ditemui satuharapan.com seusai acara Forum Nasional Kebangsaan bertajuk “Meneguhkan Bingkai Kebangsaan dan Integritas Hukum Nasional dalam Pelaksanaan Otonomi Khusus di Aceh” pada Rabu (5/11) di Hotel Acacia, Jakarta.

Secara khusus Yuniyanti menilai Qanun tidak melindungi perempuan, misalnya pada kasus pemerkosaan, korban harus membuktikan bahwa dia telah diperkosa. Sementara itu, pemerkosa diberi kesempatan untuk meminta maaf. Peluang permintaan maaf ini dinilai sebagai penyederhanaan kasus.

“Ada peluang untuk minta maaf. Pemaafan itu termasuk penyederhanaan kasus. Praktik ini akan menjadikan perempuan sebagai objek kejahatan dan menempatkan perempuan sebagai korban,” Yunita menjelaskan.

Tak hanya itu, Komnas Perempuan juga telah merumuskan beberapa problematika lain terkait masalah Qanun ini. Qanun Jinayat yang telah diberlakukan di Aceh dikhawatirkan akan direplikasi oleh daerah-daerah lain sehingga Indonesia di masa mendatang akan memiliki berbagai ragam sistem hukum pidana.

“Bisa dibayangkan jika hukum rajam tidak hanya di Aceh, tapi juga timbul di berbagai tempat lain akan memberlakukan itu,” ujar Yunita.

Untuk itu, Komnas Perempuan menekankan pentingnya negara memiliki satu sistem hukum yang integratif dengan konstitusi sebagai acuannya.

“Jadi, Komnas Perempuan berpikir Qanun Jinayat ini perlu dibatalkan terutama karena ini menyangkut aspek-aspek hukum pidana. Perempuan-perempuan di Aceh banyak yang merasa gelisah dengan pengesahan dan penetapan Qanun ini,” ia menambahkan.

Pemberlakuan Qanun Jinayat juga dikhawatirkan akan mengundang praktik agama yang dialogis, artinya pemahaman-pemahaman lain tidak diberi ruang.

Aceh dalam pandangan Ketua Komnas Perempuan ini harus kembali pada spirit awal sebagai wilayah di mana tradisi intelektualisme ditinggikan.

Pada 27 September 2014, DPRA mengesahkan peraturan daerah atau Qanun yang akan berlaku tidak hanya bagi umat Islam tetapi juga warga non-Muslim.

Situasi ini mengulang peristiwa serupa di penghujung periode DPR Aceh 2009. Qanun sempat disahkan pada tahun tersebut, namun gubernur menolak untuk menandatanganinya karena ada sejumlah persoalan serius di dalamnya, mulai dari soal rajam, perkosaan, dan beberapa substansi yang bertentangan dengan undang-undang yang lebih tinggi di atasnya. 

Ancaman hukuman pidana dalam Qanun Jinayat kepada pelaku pelanggaran syariat Islam di Aceh beragam mulai 10 hingga 200 kali cambuk. Ini dinilai Komnas Perempuan sebagai bentuk hukuman yang tidak manusiawi. Sementara itu, ada juga hukuman denda mulai 200 hingga 2.000 gram emas murni atau 20 bulan sampai 200 bulan penjara. Hukuman paling ringan diberlakukan untuk pelaku mesum, sedangkan ancaman hukuman terberat dijatuhkan kepada pelaku pemerkosa anak.

Editor : Yan Chrisna Dwi Atmaja


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home