Loading...
INDONESIA
Penulis: Melki Pangaribuan 23:24 WIB | Senin, 13 Juli 2020

Komnas Perempuan: Tidak Ada Alasan Bagi DPR Menunda RUU PKS

Tangkapan layar diskusi “Sulitnya DPR Membahas Penghapusan Kekerasan Seksual secara Serius”, hari Senin (13/7/2020). (Foto: Dok. satuharapan.com)

JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Ketua Komnas Perempuan, Andy Yentriyani mengatakan dengan belum adanya kepastian hukum bagi pencegahan dan perlindungan perempuan dari kekerasan seksual serta pemulihan dan pemenuhan keadilan hak-hak korban, tidak ada alasan bagi DPR menunda pengesahan RUU PKS.

“Payung hukum (RUU PKS) ini terobosan yang secepat-cepatnya dan sebaik-baiknya,” Andy kepada peserta diskusi “Sulitnya DPR Membahas Penghapusan Kekerasan Seksual secara Serius”, hari Senin (13/7).

Andy mengajak semua pihak agar tidak terpancing dengan dikotomi, pro dan kontra, pembahasan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS) sehingga mengalihkan dari substansinya.

Andy juga meminta RUU PKS jangan ditarik dalam bingkai moralitas, karena akan semakin merugikan perempuan korban kekerasan seksual mendapatkan perlindungan.

“Jangan terpancing pada dikotomi RUU PKS yang berakibat sangat merugikan perempuan korban kekerasan seksual,” tegas Andy dalam diskusi yang dimoderatori Yuni Pulungan yang mewakili Serikat Jurnalis untuk Keberagaman (SEJUK) sebagai penyelenggara webinar berkerja sama dengan Internews.

Berkaca pada upaya pengesahan UU Pornografi yang juga terbelah dan mengedepankan moralitas, sambung Andy, penerapannya justru kerap mengkriminalisasi perempuan korban kekerasan seksual.

Untuk itu, dengan dikeluarkannya RUU PKS dari prolegnas prioritas DPR tahun 2020, Andy menegaskan Komnas Perempuan akan terus membuka diskusi, terutama secara virtual yang bisa menjangkau publik hingga ke daerah-daerah.

“Hal ini untuk memastikan semua pihak fokus pada kepentingan korban kekerasan seksual yang dari tahun ke tahun jumlah kasusnya terus meningkat, menurut data Komnas Perempuan,” katanya.

Keputusan DPR yang sangat mengecewakan ini direspons Komnas Perempuan dengan menggelar diskusi bersama Kantor Staf Presiden (KSP) untuk memastikan pemerintah proaktif mengawal agar DPR lebih serius segera mengesahkan RUU PKS.

“Karena itu, pemerintah bersama jaringan masyarakat sipil bisa mengajak kaukus perempuan di DPR yang terdiri dari wakil rakyat perempuan yang tersebar di seluruh fraksi dan komisi agar dalam perumusan dan pembahasan RUU PKS berperspektif keadilan gender,” katanya.

Ahli Utama KSP, Siti Ruhaini Dzuhayatin tidak menampik kemendesakan RUU PKS. Namun begitu, pemerintah ingin agar pembahasan RUU PKS ditempuh proses harmonisasi dan sinkronisasi dengan aturan lainnya, seperti RKUHP yang sedang digodok DPR.

Delik kesusilaan yang sumir dan sanksi ringan bagi pelaku dalam aturan-aturan yang sudah ada, menurut Siti Ruhaini, harus didorong agar semangatnya sama dengan RUU PKS yang melindungi perempuan dan korban kekerasan seksual.

“Pemerintah dan masyarakat sipil ada dalam satu kata yang sama, terus mengawal RUU ini,” ujar mantan Komisioner HAM Organisasi Kerja Sama Islam (OKI).

Sementara itu Riska Carolina mewakili masyarakat sipil yang ikut merumuskan RUU PKS melecut semangat jaringan masyarakat sipil dan publik agar tidak mengendurkan perjuangan mengawal DPR untuk mengesahkannya. Aksi setiap Selasa akan dilakukan sampai tiga bulan ke depan ketika Oktober nanti DPR berjanji memasukkan kembali RUU PKS dalam prolegnas prioritas 2021.

“Aksi Selasa-an yang tergabung dalam GERAK Perempuan, sambunng Spesialis Advokasi & Kebijakan Publik Perkumpulan Keluarga Berencana (PKBI), difokuskan agar arah substansi RUU PKS tetap diorientasikan pada kepentingan korban,” kata Riska.

Dewan Pengarah Nasional Forum Pengada Layanan, Ira Imelda yang selama ini mendampingi para korban kekerasan seksual mendorong pemerintah agar proaktif berkomunikasi dengan DPR agar RUU PKS benar-benar dibahas dan disahkan. Sebagai perumus substansi RUU PKS, Ira Imelda menegaskan bahwa tujuan RUU PKS untuk melindungi semua korban kekerasan seksual dan pemulihannya, baik perempuan maupun laki-laki, yang banyak mengalami kendala karena undang-undang yang ada sangat tidak memadai.

“Tidak ada larangan pihak-pihak yang mempublikasikan perkara kekerasan seksual dengan berita yang justru mengeksploitasi korban,” ungkap Ira Imellda memberikan salah satu persoalan keterbatasan aturan-aturan yang ada dan belum melindungi korban.

Menanggapi hal tersebut, editor Titro.id Fahri Salam mengajak jaringan masyarakat sipil agar tidak berkecil hati terhadap pemberitaan media yang masih memojokkan perempuan korban kekerasan seksual. Perkembangan era digital di mana media sosial semakin banyak memperbincangkan isu kekerasan seksual membuat publik, pembaca media, makin kritis.

Fahri melihat saat ini banyak pembaca media yang protes terhadap pemberitaan yang keliru terkait isu perempuan dan keadilan gender.

“Kalau newsroom tidak berubah, publik sudah berubah dan semakin kritis,” kata Fahri. (PR)

 


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home