Loading...
RELIGI
Penulis: Sabar Subekti 05:58 WIB | Sabtu, 06 Juni 2020

Komunitas Kristen Assyria di Turki Khawatir Masa Depan Mereka

Foto yang diambil pada 23 Februari 2020 memperlihatkan anggota komunitas Kristen Assyiria menghadiri ibadah Minggu di Gereja More Benham Kirklar di Mardin, Turki tenggara. (Foto: AFP)

SATUHARAPAN.COM-Di dalam bangunan gereja abad keenam di Turki tenggara, lusinan Kristen Assyria, perempuan, pria dan anak-anak menghadiri ibadah di hari Minggu. Mereka adalah salah satu jemaat dari sedikit yang bertahan di tanah air kuno mereka.

Mereka adalah bagian dari hampir 4.000 orang Assyria yang tersisa di wilayah tersebut setelah kekerasan dan kemiskinan memaksa komunitas itu meninggalkan Turki pada abad ke-20. Mereka sekarang tersebar di seluruh Eropa, dengan lebih dari 100.000 orang tinggal di Jerman, hampir 100.000 di Swedia, dan puluhan ribu di Belgia, Prancis dan Belanda.

Orang-orang Kristen Asyur, juga dikenal sebagai Syria, adalah bagian dari tradisi Kristen timur dan mereka berdoa dalam bahasa Aram, bahasa yang diyakini juga digunakan oleh Yesus.

Yuhanun Akay, 40 tahun, tinggal di wilayah bersejarah di Tur Abdin (yang berarti "Gunung para hamba Tuhan" dalam bahas Syriarc), di desa Gulgoze yang rusianya berabad-abad di Mardin, Turki. Desa itu, yang dikenal sebagai Ain Wardo, yang berarti "mata mawar" dalam bahasa Syiriac, dan pernah menjadi rumah bagi ratusan keluarga Asyur, tempat mereka bertani, berdoa dan mendidik anak-anak mereka. Sekarang hanya tiga keluarga yang tersisa termasuk Akay, seorang petani dan ayah dari delapan anak.

"Di masa lalu ada 200 keluarga Kristen Assyria, dan tujuh imam di desa. Kami memiliki tiga gereja, sehingga setiap lingkungan memiliki gereja," katanya kepada AFP. "Setiap hari Minggu akan ada kebaktian di ketiga gereja dan mereka akan penuh."

Ada 2.500 gereja dan 300 biara di Tur Abdin, menurut Evgil Turker, kepala Federasi Asosiasi Assyria. Tokoh masyarakat, termasuk Turker, khawatir akan masa depan komunitas mereka di Turki, meskipun ada sedikit peningkatan jumlah populasi baru-baru ini. Ada sekitar 20.000 orang Assyria di Istanbul.

Seperti komunitas lain, Turker mengatakan orang Assyria dipengaruhi oleh masalah ekonomi dan "tekanan politik" yang sama di bawah pemerintahan Presiden Turki, Recep Tayyip Erdogan.

Rumah Kosong, Tidak Ada Sekolah

Selama masa kepemimpinan Erdogan sebagai perdana menteri antara tahun 2003 dan 2014, ada tawaran untuk orang Assyria untuk kembali ke Turki, sementara harta yang disita dikembalikan kepada pemiliknya.

Meskipun ada harapan akan melihat desa-desa tua dikembalikan ke kejayaannya, banyak warga Assyria diaspora hanya datang di musim panas, tetapi kembali ke rumah mereka di Eropa sesudahnya, kata Akay. Rumah mereka yang baru dibangun di desa masih kosong.

Meskipun ketiga gereja itu bertahan selama berabad-abad, belum ada pastor yang melayani komunitas itu sejak tahun 2001, menurut Akay. Namun kekhawatirannya bukan hanya soal agama. Akay menggambarkan bagaimana ia akan pergi ke sekolah khusus untuk belajar bahasa Assyria, tapi sekolah tidak ada lagi.

"Ini sulit sekarang. Tidak ada yang mengajar atau mendidik (anak-anak)," keluhnya. Bersama istrinya, Sonia, mereka berusaha melakukan sebanyak mungkin untuk mengajar anak-anak mereka tentang asal-usul dan bahasa mereka, dan ketika mereka membutuhkan seorang imam, mereka menghubungi seorang di kota terdekat Midyat.

Pasangan Yang Hilang

Bangsa Assyria menyebut pembunuhan komunitas mereka pada tahun 1915 sebagai genosida ("sayfo", yang berarti pedang), yang terjadi sekitar waktu yang sama dengan pembantaian orang-orang Armenia. Sebagian melarikan diri ke Gulgoze, kata Akay, ketika ia menggambarkan orang-orang berlindung di salah satu gereja tempat keluarganya berdoa hari ini.

Kemudian ada penurunan jumlah orang Assyria di Turki selama abad ke-20, khususnya pada dekade1980-an dan 1990-an ketika banyak orang dipaksa pindah ke luar negeri atau ke Istanbul, karena kekerasan antara pemberontak Kurdi dan negara bagian di tenggara. Sebagian lagi pergi mencari kehidupan yang lebih baik.

Ada kekhawatiran awal tahun ini bahwa orang-orang Assyria menjadi sasaran setelah sepasang suami istri minoritas Katolik Kaldea hilang pada bulan Januari di Sirnak, dekat perbatasan Irak. Sementara Hurmuz Diril, 71 tahun, masih hilang, istrinya, Simoni, 65 tahun, ditemukan tewas pada bulan Maret.

Penangkapan pendeta Assyria Ortodoks, Sefer Bilecen, atas tuduhan terorisme juga menimbulkan kekhawatiran, tetapi Turker mengatakan dia tidak percaya ada penargetan yang dipimpin oleh negara terhadap Assyria.

Akan Bertahan Sampai Akhir

Kembali ke dalam gereja abad keenam di pinggir jalan di kota tua Mardin, keluarga dengan sungguh-sungguh mendengarkan kotbah pendeta itu, dikelilingi oleh gambar-gambar Kristus dan Perawan Maria. Orang-orang yang hadir, termasuk pensiunan guru, Deniz Kirilmaz, menggambarkan bagaimana kehidupan telah membaik sejak 1990-an, dengan kebebasan berdoa yang lebih besar.

"Tinggal di sini sangat penting bagi gereja-gereja kami, untuk biara-biara kami, karena nenek moyang kami tinggal di sini. Untuk melanjutkan ini sangat penting bagi kami," tambahnya. Turker adalah salah satu dari mereka yang kembali ke Turki, menggambarkan bagaimana dia merasakan tanggung jawab untuk melayani komunitasnya. "Ini negaraku," katanya.

Tetapi orang Assyiria tetap khawatir dengan warisan mereka di Turki. "Seolah-olah bahasa itu perlahan mulai mencair, dan itu mengecewakan. Untuk agama seperti ini, ras seperti ini, orang-orang seperti ini, memudar benar-benar buruk, itu menyedihkan," kata Akay.

"Tuhan menghendaki ini akan bertahan sampai akhir." (AFP)

Editor : Sabar Subekti


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home