Loading...
SAINS
Penulis: Prasasta Widiadi 21:30 WIB | Kamis, 27 November 2014

Konservasi Tidak Hanya Recycle, Tapi Berpikir Ulang

Konservasi Tidak Hanya Recycle, Tapi Berpikir Ulang
Relawan Yayasan Buddha Tzu Chi, Suriadi. (Foto-foto: Prasasta Widiadi).
Konservasi Tidak Hanya Recycle, Tapi Berpikir Ulang
Direktur Komunikasi dan Hubungan Eksternal Dompet Dhuafa, Nana Mintarti.

JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Pelestarian lingkungan hendaknya tidak hanya mengikuti tren yang ada saat ini yakni mendaur ulang (recycle) sampah menjadi barang yang dapat digunakan lagi, akan tetapi setiap manusia harus berpikir ulang sebelum melakukan kegiatan konsumsi yang berpotensi menimbulkan sampah.  

“Konsep yang diajarkan pendiri Tzu Chi adalah bagaimana manusia modern hendaknya berpikir ulang untuk memperpanjang usia suatu benda sehingga bisa digunakan berkali kali, sederhana saja bapak ibu, kalau di kantor kita bisa lihat bagaimana memanfaatkan kertas yang menumpuk, mungkin hanya terpakai satu sisi, kita harus bisa memanfaatkan itu untuk bolak balik,” kata Suriadi, salah satu relawan Yayasan Buddha Tzu Chi Indonesia, di hadapan para pemerhati lingkungan dan media, Kamis (27/11), di kantor The Nature Conservancy (TNC) di Jl. Iskandarsyah, Jakarta.

Suriadi merupakan salah satu pemateri pada acara yang digelar TNC berjudul “Aliansi Strategis Antara Organisasi Keagamaan dan Lembaga Konservasi dalam Menghargai Keanekaragaman Hayati untuk Kekayaan Alam yang Berkelanjutan di Indonesia”

Suriadi menjelaskan bahwa ajaran tersebut berasal dari pendiri Tzu Chi Foundation yang bermarkas di Taiwan, yakni Biksuni Master Cheng Yen.

Suriadi menjelaskan bahwa kegiatan pelestarian lingkungan merupakan salah satu kegiatan mendasar yang dilakukan Cheng Yen saat dia memberi seminar tentang lingkungan dan para perempuan yang menyimak ceramah yang dia kemukakan terpukau dan bertepuk tangan.

“Master Cheng Yen mengatakan jangan bertepuk tangan, tetapi kedua tangan kita mulai naik ke atas dan turun ke bawah punguti sampah karena kalau satu orang ambil satu sampah, maka ratusan orang mengambil sampah maka tidak akan ada sampah di sekitar mereka,” kata Suriadi.

Lebih lanjut Suriadi menjelaskan bahwa Master Cheng Yen dalam mensosialisasikan gaya hidup melestarikan lingkungan salah satu konsep terpentingnya adalah “re-think” atau berpikir ulang sebelum melakukan kegiatan ekonomi apalagi yang berhubungan dengan konsumsi.

“Misalnya saat kita ke pusat perbelanjaan kita melihat baju bagus dan harga murah, dan kita ingin baju itu tetapi pada kenyataanya kita membeli dan baju itu mungkin hanya dipakai satu kali setelah itu hanya menganggur di lemari,” Suriadi memberi contoh.

Suriadi menambahkan bahwa apabila banyak barang yang tidak terpakai, maka ibu atau asisten rumah tangga hendaknya memilah barang tersebut sehingga dapat diketahui barang yang benar-benar tidak bisa digunakan lagi dan terkategorikan sampah, dan barang yang masih dapat dipakai ulang.

“Pemilahan sampah daur ulang bisa kita lakukan untuk membiayai banyak kegiatan sosial yang kami lakukan, contohnya DAAI TV di Medan bisa mengudara hampir 24 jam dan dari pembiayaan pengolahan sampah, prinsip utama yang harus kita pegang adalah merubah sampah menjadi emas, dan emas menjadi cinta kasih, dan kita bersih dari sumber sampah,” Suriadi mengakhiri penjelasannya.

Dompet Dhuafa

Dalam kesempatan yang sama, Direktur Komunikasi dan Hubungan Eksternal Dompet Dhuafa, Nana Mintarti  menjelaskan bahwa Dompet Dhuafa sebagai sebuah lembaga filantropi Islam yang bergerak dalam pengentasan kemiskinan, dan aksi sosial menceritakan salah satu contoh kendala pelayanan yang mereka hadapi dalam 20 tahun berkiprah di bidang kemanusiaan.

“Dalam 20 tahun kami berada di lapangan kami pernah menemui sebuah kendala bahwa para petani, nelayan, dan masyarakat yang tinggal di pinggir hutan mengalami kemiskinan. Mereka mengalami kemiskinan karena lingkungannya rusak, contohnya kami pernah membantu beberapa keluarga nelayan di Teluk Naga (Tangerang) yang kesulitan melaut, tetapi mereka tetap tidak bisa melaut, karena lingkungannya tidak memungkinkan,” kata Nana.

Nana menjelaskan, seperti kata salah satu nelayan yang dibantu Dompet Dhuafa, tersebut tidak dapat melaut karena ekosistem pantai utara Jakarta rusak. Berangkat dari kenyataan tersebut Dompet Dhuafa tidak lagi berpikir tentang pengentasan kemiskinan, tetapi mengalihkan haluan ke pelestarian lingkungan.

“Ketika lingkungan rusak maka sistem ekologis menjadi rusak juga, dan ini berimbas kepada faktor ekonomi keluarga nelayan tersebut,” Nana menambahkan.

Nana dan Suriadi hanyalah dua dari lima pemateri pada Thought Leadership Forum yang digagas The Nature Conservancy Indonesia, pemateri lainnya antara lain Sapto Handoyo Sakti Direktur Bidang Eksternal TNC, Wahjudi Wardojo Penasihat Senior Untuk Kebijakan Terestrial TNC, dan Abdul Halim Penasihat Senior Untuk Kebijakan Kelautan TNC, Dr. Harbrinderjit Singh Dillon Ketua Dewan Penasihat TNC Indonesia.

“Dompet Dhuafa sejak beberapa tahun yang lalu concern dengan berbagai isu lingkungan, ketahanan pangan dan pelestarian energi. Kita berharap dengan sinergi atau aliansi, karena tanpa sinergi tidak menjadi efisien dan efektif,” Nana memberi contoh.

Dompet Dhuafa mengapresiasi forum tersebut karena, menurut Nana, jarang sekali forum lintas agama membicarakan lingkungan. Biasanya yang dibicarakan adalah pemberantasan korupsi atau pengentasan kemiskinan.

Editor : Bayu Probo


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home