Loading...
HAM
Penulis: Endang Saputra 14:44 WIB | Senin, 18 Juli 2016

KontraS Kecam Pengepungan Asrama Mahasiswa Papua

Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) Haris Azhar. (Foto: Dok.satuharapan.com/Dedy Istanto)

JAARTA, SATUHARAPAN.COM – Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), mengecam tindakan represif dan pengepungan asrama mahasiswa Papua oleh aparat kepolisian Polda Yogyakarta pada tanggal 15 Juli 2016.

“Pengepungan dan pemblokadean asrama mahasiswa Papua ini juga dilakukan oleh aktor-aktor intoleransi,” kata Koordinator KontraS Haris Azhar dalam siaran pers yang diterima satuharapan.com, di Jakarta, hari Senin (18/7). 

Peristiwa tersebut terjadi selang beberapa hari setelah dilakukannya pelantikan Jendral Pol Tito Karnavian sebagai Kapolri. 

Padahal, dalam 100 hari kerja Kapolri Jendral Pol Tito Karnavian telah menetapkan 10 program prioritas di antaranya pemantapan reformasi internal Polri; peningkatan profesional Polri menuju keunggulan; dan penegakan hukum yang lebih profesional dan berkeadilan. 

Namun kata Haris terjadinya peristiwa represif dengan disertai pengepungan dan pemblokadean asrama mahasiswa Papua oleh aparat kepolisian bersama-sama aktor-aktor intoleran menujukan kegagalan dan terlihat hanya sebagai omong kosong belaka.

“Berdasarkan informasi yang kami dapati, peristiwa ini bermula ketika pada tanggal 15 Juli 2016, aparat kepolisian melarang aksi long march yang akan dilakukan oleh Persatuan Rakyat untuk Pembebasan Papua Barat (PRPPB) yang akan dilaksanakan dari asrama mahasiswa Papua di Jalan Kusumanegara Yogyakarta menuju Titik Nol KM,” kata dia.

Menurut Haris selain melakukan pelarangan aksi aparat kepolisian dari Polda Yogyakarta dan beberapa kelompok-kelompok intoleran juga melakukan pengepungan dan pemblokadean asrama mahasiswa Papua di Jalan Kusumanegara karena aksi tersebut dianggap sebagai aksi makar dan berbahaya.

“Aksi pengepungan dan pemblokadean yang dilakukan oleh aparat keamanan dan kelompok-kelompok intoleran itu menyebabkan beberapa warga sipil yang berada di dalam asrama terjebak di dalam dan tidak dapat bebas beraktifitas,” kata dia.

“Beberapa warga sipil yang datang ke asrama pun sempat dihadang dan ditangkap serta mendapatkan tindakan-tindakan kekerasan dengan disertai kata-kata bernada diskriminatif baik dari aparat kepolisian maupun kelompok- kelompok intoleran yang melakukan pengepungan dan pemblokadean pintu masuk asrama,” dia menambahkan.

Selain itu, kata Haris aparat kepolisian juga sempat melakukan penembakan gas air mata ke arah dalam asrama mahasiswa Papua, padahal berdasarkan informasi yang KontraS terima tidak ada tindakan-tindakan yang membahayakan yang dilakukan oleh warga sipil yang berada di dalam asrama.

“Beberapa kelompok masyarakat sipil yang bersolidaritas guna mengantarkan logistik untuk warga sipil yang berada di dalam asrama pun tidak diperkenakan memberikan bantuan oleh aparat kepolisian tanpa alasan yang jelas, mengingat pengepungan dan pemblokadean asrama mahasiswa Papua yang dilakukan oleh aparat kepolisian berlangsung hingga keesokan harinya,” kata dia.

Menurut Haris, tindakan brutalitas dengan disertai penangkapan sewenang-wenang oleh aparat kepolisian dan kelompok-kelompok intoleran sebagaimana yang dipertontonkan pada saat pengepungan asrama Papua di Yogyakarta ini tidak hanya mencederai komitmen Indonesia dalam Undang-undang Dasar 1945 Pasal 28 E ayat 3, Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik, Undang-Undang HAM Nomor 39 Tahun 1999, Undang – Undang Nomor 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis, jaminan mengemukakan opini di depan umum sesuai dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1998 dan termasuk komitmen Polri untuk tunduk pada standar HAM melalui Perkap Nomor 8 Tahun 2009 serta mekanisme penggunaan kekuatan sebagaimana yang diatur dalam Perkap Nomor 1 Tahun 2009 di mana prinsip-prinsip penggunaan kekuatan harus masuk akal (reasonable) yang berarti bahwa tindakan penggunaan kekuatan harus dipertimbangkan secara logis .

“Namun lebih jauh dari itu, tindakan-tindakan represif dengan penggunaan kekuatan yang berlebihan dan disertai dengan penangkapan ini menunjukkan sikap berlebihan, reaksioner, sekaligus diskriminatif serta tidak adanya itikad baik dari pemerintah pusat dan aktor-aktor kemanan untuk melihat konteks Papua dalam situasi setara, non diskriminasi, dan subyek hukum yang memiliki hak yang sama seperti laiknya warga negara Indonesia. Sehingga penyelesaian dan pendekatan yang dilakukan oleh aktor-aktor kemanan cenderung represif dan berlebihan dalam mengatasi persoalan Papua khususnya terkait dengan hak atas kebebasan berpendapat, berkumpul dan berserikat,” kata dia.

Selain itu, lanjut Haris informasi diatas menujukan bahwa masih adanya sikap - sikap diskriminatif dengan disertai tindakan-tindakan represif terhadap rakyat Papua oleh aktor-aktor kemanan.

Program Tito Omong Kosong

Dengan adanya peristiwa tersebut diawal-awal masa kepemimpinan Tito Karnavian sebagai Kapolri menujukan bahwa 10 program prioritas Kapolri diawal kepemimpinan Tito Karnavian hanya omong kosong belaka, situasi di Papua serta paradigma aktor-aktor kemanan terhadap rakyat  Papua tidak akan jauh berbeda dengan situasi-situasi sebelumnya tindakan-tindakan represif, diskriminatif akan terus berlangsung dan berulang.

“Kami yakin akan terus meningkat mengingat pada saat Jendral Pol Tito Karnavian menjabat sebagai Kapolda Papua dan Kapolda Metro Jaya pembatasan hak-hak berekspresi rakayat Papua cukup tinggi dan penanganannya yang cenderung represif,” kata dia.

Terkait dengan peristiwa tersebut serta guna membuktikan 10 program prioritas kinerja Polri khususnya terkait dengan Pemantapan Reformasi Internal Polri; Penigkatan Profesional Polri menuju keunggulan; dan Penegakan hukum yang lebih profesional dan berkeadilan, Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) mendesak:

Pertama, Kapolri melakukan evaluasi terhadap kinerja Polda Yogyakarta terkait dengan tindakan-tindakan represif dan pemblokadean asrama mahasiswa Papua oleh anggota Polda Yogyakarta, serta memberikan tindakan tegas terhadap anggota-anggota Polda Yogyakarta yang melakukan tindakan-tindakan kekerasan dan perilaku-perilaku diskriminatif.

“Kedua, kami mengingatkan bahwa Undang-undang Nomor 40 tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis Pasal 16 menyebutkan setiap orang yang dengan sengaja menunjukkan kebencian atau rasa benci kepada orang lain berdasarkan diskriminasi ras dan etnis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf b angka 1, angka 2, atau angka 3, dipidana dengan pidana penjara paling lama lima tahun dan/atau denda paling banyak Rp 500 juta ,” kata dia.

“Oleh karenanya kami mendesak Polda Yogyakarta untuk melakukan pengusutan terkait dengan broadcast dan ancaman-ancaman bernada rasis terhadap masyarakat sipil yang berada di dalam asrama Papua yang dilakukan baik oleh kelompok-kelompok intoleran maupun aparat kepolisian pada saat melakukan pemblokadean asrama Papua untuk ditindak dengan tegas sebagai bentuk efek jera dan proses penegakan hukum yang lebih profesional dan berkeadilan,” kata dia menambahkan.

Editor : Diah Anggraeni Retnaningrum


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home