Loading...
SAINS
Penulis: Dewasasri M Wardani 09:51 WIB | Senin, 13 Agustus 2018

Korban Gempa Lombok Hindari Donasi Susu Formula untuk Bayi dan Anak

Ilustrasi. Sutopo Purwo Nugroho Kepala pusat Data Informasi dan Humas BNPB, mengimbau menghindari bantuan bagi korban gempa Lombok berupa susu formula untuk bayi dan anak, kecuali ada pengawasan khusus. (Foto: rri.co.id)

JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Dampak gempa bumi 7 SR yang diikuti ratusan gempa susulan telah meluluhlantakkan Lombok. Data korban akibat gempa terus bertambah. Terdapat 387.067 jiwa pengungsi yang tersebar di ribuan titik. Pengungsi terus memerlukan bantuan karena belum semua kebutuhan dasar pengungsi terpenuhi.  

Hingga Sabtu (11/8), masih terdapat pengungsi yang belum mendapat bantuan, karena sulitnya akses untuk menjangkau lokasi pengungsi. Sutopo Purwo Nugroho, Kepala Pusat Data Informasi dan Humas BNPB, menuliskan laporan yang dirilis pada Minggu (12/8), seperti dilansir situs resmi bnpb.go.id.

Menurut Sutopo, pengungsi tersebar di ribuan titik yang terdapat di Kabupaten Lombok Utara 198.846 orang, Kota Mataram 20.343 orang, Lombok Barat 91.372 orang, dan Lombok Timur 76.506 orang. Dari 387.067 jiwa pengungsi tersebut terdapat bayi dan anak-anak yang perlu mendapat perlakuan khusus selama mengungsi.

“Bayi dan anak termasuk kelompok rentan bersama dengan ibu hamil, lansia dan disabilitas. Mereka perlu mendapat perlakuan khusus karena rentan selama di pengungsian,” kata Sutopo.

Hingga saat ini belum ada data berapa jumlah bayi dan anak-anak dari 387.067 jiwa pengungsi. Tetapi, diperkirakan terdapat puluhan ribu jiwa. Data sementara di Kabupaten Lombok Utara terdapat 1.991 jiwa balita berusia nol sampai lima tahun dan 2.641 jiwa anak-anak berusia enam sampai sebelas tahun.

Sutopo menambahkan, pemberian bantuan berupa makanan untuk bayi dan balita tidak dapat dilakukan sembarangan di pengungsian. Ibu dan bayi yang masih menyusui harus mendapat perhatian.

“Air susu ibu merupakan makanan yang paling sempurna bagi bayi. Menyusui dalam kondisi darurat harus terus dilakukan oleh ibu kepada bayi hingga usia 2 tahun atau lebih. Air susu ibu tidak bisa digantikan dengan susu formula,“ kata Sutopo.

Ia mengatakan, sarana untuk penyiapan susu formula, seperti air bersih, alat memasak, botol steril dan lainnya, sangat terbatas di pengungsian. Akibatnya, kasus-kasus penyakit diare di kalangan bayi usia di bawah enam bulan yang menerima bantuan susu formula dua kali lebih banyak dibandingkan mereka yang tidak menerima bantuan itu. Bahkan pemberian susu formula akan meningkatkan risiko terjadinya kekurangan gizi dan kematian bayi.

Sutopo mengatakan, dalam beberapa pengalaman saat terjadi bencana, apalagi skala bencananya besar yang menyebabkan banyak pengungsi pada saat tanggap darurat bencana, susu formula dan susu bubuk adalah bantuan umum diberikan dalam keadaan darurat.

“Sayangnya, produk-produk tersebut sering kali dibagikan tanpa kajian dan pemantauan yang baik sehingga dikonsumsi oleh bayi dan anak-anak yang seharusnya masih perlu disusui,” katanya.

Ia mengatakan, UNICEF dan WHO sebagai Badan Perserikatan Bangsa-Bangsa telah mengingatkan bahaya pemberian susu formula di pengungsian. Banyak kasus saat bencana di dunia, pemberian susu formula kepada balita dan anak-anak justru meningkatkan penderita sakit dan kematian.

Di Indonesia, kasus pascabencana gempa di Bantul Yogyakarta, hendaklah dijadikan pelajaran. Pemberian susu formula kala itu justru meningkatkan terjadinya diare pada anak di bawah usia dua tahun. Ternyata, 25 persen dari penderita itu meminum susu formula.

Oleh karena itu, kata Sutopo, masyarakat/lembaga/relawan tanggap gempa diimbau tidak menyalurkan donasi susu formula dan produk bayi lain seperti botol, dot, empeng tanpa persetujuan dari dinas kesehatan provinsi/kabupaten/kota setempat. Ibu yang menyusui anaknya harus diberikan dukungan dan bantuan praktis untuk meneruskan menyusui. Mereka tidak boleh sembarang diberikan bantuan susu formula dan susu bubuk.

“Meski demikian, ada pengecualian, jika ada bayi yang tidak bisa disusui, bayi tersebut harus diberikan susu formula dan perlengkapan untuk menyiapkan susu tersebut, di bawah pengawasan yang ketat oleh tim dokter dan kondisi kesehatan bayi harus tetap dimonitor,” katanya.

Sutopo mengatakan, bagi pengungsi yang memiliki anak usia nol sampai enam bulan terus berikan ASI eksklusif. Bayi usia 6-9 bulan lanjutkan menyusui dan dapat diselingi dengan makanan sehat yang dibuat dengan disaring. Tekstur makanan lumat dan kental. Bayi usia 9-12 bulan lanjutkan menyusui dan ditambahkan makan dengan bahan makanan sama dengan untuk orang dewasa. Tekstur makanan dicincang/dicacah, dipotong kecil, dan selanjutnya makanan yang diiris-iris. Harus ada perhatian respons anak saat makan. Selanjutnya bayi usia 12-24 bulan dilanjutkan menyusui hingga 2 tahun atau lebih dan ditambahkan dengan makanan keluarga

Ia menambahkan, kebutuhan mendesak saat ini adalah tenda, selimut, makanan siap saji, beras, MCK portable, air minum, air bersih, tendon air, pakaian, terpal/alas tidur, alat penerang/listrik, layanan kesehatan dan trauma healing.

Sutopo mengimbau, agar  masyarakat dan semua pihak untuk memerhatikan jenis bantuan yang diperlukan. Niat baik untuk membantu sesama agar justru tidak menimbulkan masalah baru khususnya bagi bayi dan balita di pengungsian.

 

 

 

Editor : Sotyati


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home