Loading...
ANALISIS
Penulis: Stanley R. Rambitan 10:54 WIB | Jumat, 12 September 2014

Korupsi Punya Akar dalam Agama dan Budaya

Foto tokoh-tokoh anti korupsi pada Peringatan Hari Anti Korupsi sedunia pada pameran Pekan Anti Korupsi 2013 di Istora Senayan, Jakarta, Senin (9/12/13). (Foto: Elvis Sendouw)

SATUHARAPAN.COM – Lagi-lagi kasus korupsi yang melibatkan petinggi negara terungkap. Menteri ESDM, Jero Wacik, dijadikan tersangka korupsi oleh KPK. Saat ini ia telah mengundurkan diri sebagai menteri. Kasus korupsi lain yang sekarang menghebohkan juga adalah bisnis ilegal bakar minyak dengan tersangka utama seorang pegawai negeri sipil di Batam-Riau.

Korupsi sesungguhnya tidak hanya menyangkut uang tetapi juga kekuasaan dan waktu. Seseorang karena jabatannya menetapkan kebijakan yang menguntungkan diri sendiri atau kelompoknya telah melakukan korupsi-kekuasaan. Pegawai negeri menggunakan pakaian dinas pada jam kerja berkeliaran di mall untuk kepentingan sendiri telah korupsi-waktu. Korupsi dapat dilakukan oleh siapa pun, di mana pun dan dalam hal apa pun.

Usaha pemberantasan korupsi oleh KPK, kepolisian dan kejaksaan tampak makin gencar dan intensif. Namun itu ternyata belum mampu menghentikan para koruptor.  Korupsi masih tampak merajalela. Bahkan bidang hidup atau pekerjaan yang tidak disangka umum untuk terjadi korupsi karena bidangnya mengurusi hal-hal sakral-kudus-suci atau berurusan dengan Tuhan ternyata ada korupsi. Ini misalnya terjadi di Kementerian Agama dengan kasus korupsi urusan Haji dan pengadaan Al-Quran.    

Korupsi sudah menyebar ke segala lini kehidupan dan telah membudaya, menjadi adat atau kebiasaan. Dalam istilah medis, korupsi di Indonesia sudah bagaikan penyakit kronis, kritis dan mewabah. Korupsi ada pada pribadi orang per orang karena itu ia menyangkut kepribadian, pada mentalitas dan integritas seseorang.

Akar-Akar Korupsi dalam Agama dan Budaya

Dengan mudah kita dapat menunjuk penyebab mentalitas korup itu pada adanya keinginan untuk mendapatkan dan memiliki sesuatu lebih dari yang sepantasnya dan secara legal dia dapatkan. Keinginan itu muncul sebagai akibat pola hidup  manusia di berbagai aspek yaitu sosial, politik, ekonomi dan bahkan agama, yang menonjolkan peranan dan pentingnya materi dan uang. Materialisme dan atau kapitalisme sudah menjadi ideologi dan mamon yang merajai kehidupan manusia zaman ini. Itu menjadi penggoda utama untuk orang korupsi.    

Di samping itu, pola pikir dan pergaulan sebagai kebiasaan atau adat istiadat dan pemahaman dan praktik agama juga menjadi benih-benih pembentukan mental korup dan kecenderungan korupsi masyarakat.

Dalam budaya, misalnya, kita sering menemukan orangtua yang memberi uang atau mainan kepada anak yang menangis sebagai usaha untuk membujuknya agar diam;  kebiasaan orang yang meminta oleh-oleh kepada seseorang yang bepergian; dan kebiasaan memberikan hadiah, bingkisan  atau parcel kepada kenalan atau atasan. Contoh-contoh itu menunjukkan tindakan suap, gratifikasi dan permintaan atau pemaksaan untuk memberi atau mendapatkan sesuatu-materi yang bukan hak dari status dan pekerjaan atau jabatannya yang oleh undang-undang Indonesia saat ini disebut sebagai tindakan korupsi.   

Konsep Keselamatan Kristen

Dalam agama, misalnya pengutamaan pada konsep keselamatan manusia yang didapat karena gracia, anugerah atau pemberian dari Allah memiliki makna koruptif. Konsep penebusan atau pembayaran lunas terhadap dosa manusia yang bukan dilakukan sendiri olehnya juga menunjuk pada korupsi. Bahwa manusia mendapatkan penebusan dosa dan keselamatan dengan cuma-cuma; sola gracia. Memang dalam ajaran Kristen misalnya konsep sola gracia diikuti oleh sola fide (karena iman) dan sola scriptura (karena melakukan firman), tetapi penekanan pada konsep anugerah ini langsung atau tidak langsung mengajarkan orang bahwa mendapatkan sesuatu yang menyenangkan, atau menerima gratifikasi adalah hal yang wajar.

Demikian juga, berdoa, meminta berkat atau rezeki dari Tuhan tanpa melakukan usaha yang semestinya, atau ritus-ritus yang dilakukan seperti pemberian persembahan korban yang bertujuan membuat Sang Ilahi berbaik hati atau memberi berkat atau rezeki, atau agar Ia menjauhkan seseorang dari bencana adalah perbuatan-perbuatan koruptif yaitu meminta dan  menyogok Tuhan. Juga, pemberian persembahan-korban kepada Tuhan sebagai usaha untuk membayar utang kesalahan atau dosa dan penghukuman. Ini adalah usaha suap dan pencucian kotoran dosa sekaligus pencucian uang demi kesejahteraan atau keselamatan diri.      

Kebiasaan atau adat dalam pergaulan hidup serta pemahaman dan praktik dalam agama seperti di atas membentuk kebiasaan serta pemahaman dan praktik hidup masyarakat yang adaptif atau toleran dan kompromis terhadap perbuatan-perbuatan koruptif seperti gratifikasi dan suap serta pencucian uang. Ini yang membuat agama dan budaya sebagai tempat bertumbuhnya akar atau menjadi benih bagi mentalitas dan kebiasaan korup pada manusia.

Dekonstruksi-Rekonstruksi Budaya dan Agama

Apa yang perlu dilakukan untuk membabat hubungan antara agama dan budaya dengan korupsi? Atau, bagaimana menjauhkan pengaruh agama dan budaya terhadap pembentukan mentalitas korup? Dan, bagaimana membuat agama dan budaya memiliki pengaruh dalam pembentukan mentalitas anti-korup pada masyarakat?

Pemahaman dan praktik agama dan budaya yang anti-korup perlu dibentuk oleh rasionalisme kritis atau logika, profesionalisme dan etika. Dalam hal ini agama dan budaya perlu men-dekonstruksi lalu me-rekonstruksi pola pikir, ajaran atau pemahaman dan praktik hidup dalam agama dan budaya, lalu menonjolkan yang baik bagi pembentukan kepribadian dan mentalitas anti korupsi.

Selama ini agama umumnya menonjolkan doktrin dan ritual, misalnya anugerah keselamatan, mengharap atau meminta kepada Sang Sumber kesejahteraan hidup, atau menyembah-Nya dengan persembahan korban agar Ia berbuat baik, member berkat atau rezeki, menebus dosa dan menyelamatkan. Kini, baiklah agama lebih menonjolkan ajaran-ajaran etis-nya; berbuat baik untuk mendapatkan yang baik. Yang perlu ditonjolkan adalah perbuatan baik atau ber-etika. 

Dalam budaya, selama ini masyarakat lebih mengutamakan terjalinnya hubungan baik antarmanusia dengan menonjolkan etiket atau sopan santun. Dalam etiket, paham dan praktik koruptif terjadi. Untuk dapat saling menyenangkan, ada suap dan gratifikasi. Kini, layaklah untuk membarui kebiasaan dan gaya hidup masyarakat yang mengutamakan etiket ke pengutamaan etika.

Dengan hidup ber-etika maka tidak akan ada lagi orang-orang bermental korup dan kita terbebas dari kasus-kasus korupsi. 

Artikel terkait agama dan korupsi dapat Anda baca di:

Stanley R. Rambitan/Teolog-Pemerhati Agama dan Masyarakat


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home