Loading...
ANALISIS
Penulis: Sabar Subekti 23:05 WIB | Rabu, 12 Agustus 2020

Krisis Lebanon: Ledakan di Beirut, Politik Sektarian dan Korupsi

Gudang Penyimpanan dan pengolahan gandum di Beirut, Lebanon, yang hancur akibat ledakan pada hari Selasa (4/8). (Foto: dok. AP)

SATUHARAPAN.COM-Lebanon memasuki krisis politik dan ekonomi yang makin dalam, sebagai akibat dari korupsi yang begitu parah di negara yang pernah disebut sebagai Paris di Medietrania. Sejak 2016 tiga pemerintahan dibentuk, dan terakhir di bawah Perdana Menteri Hassan Diab, mundur karena gagal menjalankan pemerintahan.

Lebanon mengalami krisis ekonomi parah, dan Oktober tahun lalu rakyat bangkit memprotes elite politik yang dinilai korupsi, tetapi sampai hari ini tidak ada tindakan yang membawa ke aras solusi bagi negara itu. Sebaliknya situasinya makin parah. Negara telah gagal membayar utang luar negerinya, menghadapi inflasi yang tinggi, dan ekonomi merosot tajam.

Situasinya itu tergambar dari kehidupan di sana, seperti prajurit yang menjaga pertahanan negara harus menyaksikan bahwa daging hilang dari daftar menu mereka, karena terlalu mahal, dan negara tidak bisa membayarnya. Listrik sering padam, karena perusahaan harus membatai pemakaian bahan bakar yang makin langka, dan bergantung padan pasokan luar negeri.

Korupsi Lebih Besar daripada Negara

Korupsi itu digambarkan oleh Hassan Diab dalam pidatonya setelah menyatakan mengundurkan diri pada hari Senin (10/8) bahwa korupsi di Lebanon lebih besar daripada negara. “Bencana yang melanda Lebanon pada intinya terjadi sebagai akibat korupsi kronis di bidang politik, pemerintahan, dan negara,” katanya.

Dia mengatakan bahwa sistem korupsi mengakar kuat di semua fungsi negara. “Namun saya menemukan bahwa sistem yang korup lebih besar daripada negara.” Pemerintahannya gagal melakukan perubahan dan reformasi untukmengatasi krisis, karena dihalangi oleh sistem korupsi, dan dia mundur, karena, seperti pengakuannya, tidak dapat menghadapinya atau menyingkirkannya.

Contoh korupsi paling memilukan adalam ledakan di pelabuhan Beirut, dan kasus korupsi tersebar luas di lanskap politik dan administrasi negara. Korupsi ini dia sebutkan dilindungi oleh kelas yang mengontrol nasib negara. Mereka mengancam kehidupan orang, memalsukan fakta, bertahan dengan hasutan dan “memperdagangkan darah orang,” kata Diab.

Krisis Kepercayaan

Korupsi di elite politik dan pemerintahan ini yang menyulut rakyat Lebanon bangkit berdmonstrasi sejak Oktober tahun lalu. Dan masalah korupsi yang telah merajalela itu yang membuat rakyat terus menolak ketika pemerintahan baru dibentuk, sejak Perdana Menteri Saad Hariri mengundurkan diri pada 29 Oktober. Bahkan Hassan Diab yang ditunjuk menggatikan pada Januari lalu, mengalami banyak hambatan dalam membentuk pemerintahan.

Penolakan rakyat Lebanon makin menjelaskan bahwa elite politik sudah tidak memiliki dukungan kepercayaan dari rakyat, dan pemerintah baru hanya berganti orang, tetapi mereka pada dasarnya adalah kelompok yang sama. Bahkan internasionalpun meragukan pemerintah baru itu, dan hal itu makin nyata ketika pembicaraan dengan Dana Moneter Internasional (IMF), gagal dilanjutkan, karena miskin komitmen dan agenda reformasi.

Pandemi COVID-19 yang melanda dunia, dan membuat situasi ekonomi Lebanon yang terseok-seok juga kurang mendapatkan perhatian. Ironisnya, justru bencana yang mengerikan yang terjadi dalam ledakan di pelabuhan Beirut, yang membuat dunia internasional menengok kembali ke Beirut.

Namun demikian masalah kepercayaan merupakan tantangan terbesar. Bantuan berbagai negara dan lembaga internasional selalu menuntut adanya transparansi dan agenda reformasi yang jelas untuk perubahan di Lebanon. Bahkan rakyat Lebanon daalam aksi protes mereka menyerukan agar banyuan kemanusian untuk bencana ledakan tidak diberikan ke pemerintah, tetapi ke rakyat.

Politik Sektarian dan Negara dalam Negara

Masalah kepercayaan pada elite politik di Lebanon bersumber dari sistem politik sektarian, di mana kekuasaan dibagi berdasarkan pada kelompok-kelompok sekte, terutama kelompok Islam Syiah, Islam Sunni dan Kristen. Dan dari kelompok itu yang menduduki posisi sebagai presiden, perdana menteri dan ketua parlemen.

Masalahnya, pembagian kekuasaan seperti itu membentuk politik di Lebanon dalam sekat-sekat kepentingan kelompok, termasuk dilakukan dengan korupsi. Gerakan Hizbullah, misalnya, telah lama dituduh sebagai berperilaku “negara dalam negara”, karena mengabdi pada agenda negara lain, yaitu negara yang didominasi Islam Syiah, Iran dan Suriah yang mendukungnya. Kelompok ini bahkan tak tersentuh, karena memiliki milisi bersenjata.

Selain itu, negara-negara Barat, telah memasukkan Hizbullah, baik sayap militer maupun politik di larang di banyak negara, bahkan sejumlah negara memasukkannya dalam daftar organisasi teroris.

Sanksi oleh negara-negara Barat, terutama Amerika Serikat, terhadap Hizbullah, memperparah ekonomi negara itu, karena Hizbullah bagian dari pemerintahan, bahkan pada pemerintah pimpinan Diab. Selama ada Hizbullah dalam pemerintahan Lebanon, tampaknya Barat tidak tertarik untuk membantu pemulihan Lebanon.

Di sisi lain, negara-negara Arab, dan negara-negara mayoritas berpenduduk Muslim juga enggan membantu Lebanon, karena masalah sektarian antara Syiah dan Sunni. Arab Saudi dan negara-negara Teluk lainya juga sangat kritis terhadap Hizbullah dan Iran, termasuk dalam konflik di Yaman.

Masa Depan Lebanon

Lebanon pernah memiliki media berbahasa Inggris yang pertama di tanah Arab, “The Daily Star,” tetapi media ini menghentikan edisi cetaknya Februari lalu, karena krisis ekonomi dan tekanan persaingan dengan media digital. Lebanon juga memiliki pergurian tinggi yang bergengsi di dunia Arab, American University of Beirut, yang lulusannya menjadi orang-orang penting di berbagai negara Arab. Tapi Juni lalu harus memberhentikan 25 persen stafnya karena krisis keuangan, dampak dari krisis keuangan negara itu.

Setelah bencana ledakan di Beirut, dan masih menghadapi pandemi COVID-19, serta krisis ekonomi yang makindalam, dan sekarang krisis politik dengan bubarnya pemerintahan Diab, apa yang akan terjadi di Lebanon? Presiden Michel Aoun harus menunjuk perdana menteri baru: siapa dan apakah mampu meraih kepercayaan rakyat dan internasional, masih menjadi pertanyaan. Atau harus mengadakan pemilihan umum dalam sistem politik baru, tetapi seperti apa?

Pemerintah baru akan dituntut untuk membuat agenda dan menjalankan reformasi, dan tampaknya itu berarti sistem baru yang menyingkirkan politik identitas dan sistem pembagian kekuasaan secara sektarian. Apakah ini akan diterima oleh kekuatan politik lama, terutama kelompok Hizbullah?

Keluhan Diab mencatat tentang orang-orang yang melawan rencana reformasi yang diajukan pemerinatahan adalah orang-orang menghancurkan kehadiran negara. Dan itu adalah yang dinikmati elite politik Lebanon selama ini, yang dia sebutkan tidak memahami seruan rakyat, dan terus menjalankan pesta.

Perubahan ini tampaknya akan menjadi guncangan bagi Lebanon, dan negara kecil ini sangat rentan menjadi ajang konflik dan bahkan mungkin perang proksi, karena telah lama membiarkan kepentingan luar bermain di dalam negara itu, bahkan sampai sistem pemerintahannya. Diab sudah mengatakannya dalam pidatonya: “kita sedang menghadapi gempa yang melanda negara ini, dengan segala dampak kemanusiaan, sosial, ekonomi dan nasionalnya.”

Editor : Sabar Subekti


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home