Loading...
RELIGI
Penulis: Yan Chrisna Dwi Atmaja 12:00 WIB | Senin, 22 September 2014

Kristen Irak Menuju Hidup Baru di Prancis setelah Lari dari ISIS

Banyak pengungsi trauma akibat pengalaman mereka tiga bulan terakhir, jelas tidak bisa membayangkan kembali ke Irak. (Foto: reuters.com)
PARIS, SATUHARAPAN.COM - Pada malam yang hangat di Bandara Internasional Arbil di Kurdistan Irak sekitar 150 pengungsi yang sebagian besar Kristen cemas menunggu melarikan diri dari tanah air mereka naik pesawat pemerintah Prancis. 
 
Para pengungsi, dari segala usia dan dari 25 keluarga yang berbeda, memiliki satu tujuan ketika mereka akan terbang ke Paris adalah menghindari ancaman militan Islamic State Iraq and Syria (ISIS): Kristen dan Muslim tidak bisa lagi hidup bersama di Irak.
 
Shakeep, seorang pengacara 46 tahun yang bekerja di pengadilan hukum utama kota Mosul, membawa istrinya, ibu, anak perempuan dan keponakan untuk pindah di barat Prancis, di mana pamannya tinggal. Masing-masing hanya membawa satu tas, mereka telah meninggalkan barang-barang mereka. 
 
"Tidak ada masa depan di Irak. Tidak akan ada masa depan antara Muslim dan Kristen di sini. Aku meninggalkan hidup saya. Aku diantara kesedihan dan kebahagiaan. Tapi dengan Daech, kita tidak bisa kembali, "katanya, menggunakan akronim bahasa Arab untuk ISIS. 
 
Keluarga itu meninggalkan Mosul enam minggu lalu setelah mendapat ultimatum supaya pindah agama atau dibunuh oleh militan ISIS, yang telah menguasai sebagian besar wilayah Irak dan Suriah. 
 
Prancis telah memimpin upaya Eropa dalam membawa bantuan kemanusiaan bagi pengungsi. Pesawat pemerintahan, Airbus A310, mengirimkan lebih dari 10 ton selimut, tenda, jerigen dan peralatan kesehatan sebelum mengangkut para pengungsi kembali ke Paris. 
 
"Ada orang-orang tidur di luar pada saat ini, tetapi fokus pengiriman ini adalah untuk mempersiapkan ribuan orang yang masih akan berada di sini di musim dingin," kata seorang diplomat Prancis. "Ini adalah pembersihan etnis yang sesungguhnya yang telah kita saksikan di sini." 
 
Jet tempur Prancis pada Jumat (19/9) meluncurkan serangan di Irak untuk pertama kalinya sebagai bagian dari koalisi internasional yang awalnya fokus mendorong ISIS dari Irak ke basis kekuatannya di Suriah. Selain itu senjata, sebagian besar senapan mesin dan amunisi, untuk pejuang Peshmerga Kurdi.
 
Tidak Ada Kepercayaan 
 
Prancis, di bawah tekanan opini publik mengizinkan masuk lebih banyak orang Kristen dari Timur Tengah, sudah sekitar 100 orang sejak ISIS melancarkan serangan militernya di Irak pada bulan Juni. 
 
Sekitar 40 orang Kristen tiba dari Irak utara pada akhir Agustus, berdasarkan kriteria yang ketat bahwa mereka memiliki ikatan keluarga di Prancis dan sumber daya yang cukup untuk bertahan hidup di sana. 60 orang yang lain juga datang dengan cara mereka sendiri. 
 
Untuk sebagian besar dari pengungsi, datang ke Prancis membawa ketakutan yang tidak diketahui. Beberapa bisa berbicara bahasa Prancis dan sebagian besar bahkan belum pernah naik pesawat, apalagi pergi ke negara Barat. 
 
Michel, 56, seorang insinyur listrik dari kota Kristen Qaraqosh, tidak ada harapan mendapatkan pekerjaan di Prancis mengingat usianya dan tanpa bisa bicara Prancis. Tapi dia ke kota Lyon dengan istri dan dua putrinya, di mana adik istrinya tinggal. 
 
"Situasi di sana (di Qaraqosh) tidak memungkinkn ketika Daech datang," katanya. "Mereka ingin Syariah. Mereka ingin memaksakan Islam mereka dan mereka ingin tak ada orang Kristen. 
 
"Kami melarikan diri ke Arbil dari Qaraqosh pada awal Agustus. Ada bom dan pertempuran antara Daech dan Peshmerga. Daech mengambil semuanya: makanan, televisi, kulkas, semuanya. Sulit untuk tinggal di sini sebagai orang Kristen."
 
Penduduk Kristen Irak kuno berjumlah lebih dari setengah selama dekade terakhir atau lebih, dari sekitar 1 juta sebelum jatuhnya Saddam Hussein pada tahun 2003 menjadi hampir 400.000 pada bulan Juli tahun ini. 
 
Sami, seorang teknisi IT berusia 28 tahun, adalah seorang Muslim Sunni, tetapi ia harus pergi dari negaranya karena istrinya Kristen dan kawin campuran tersebut tidak lagi ditoleransi di Irak. 
 
"Saya melihat ini sebagai kesempatan untuk memulai hidup baru. Kami berada di sebuah negara Muslim di sini dan mereka akan selalu mengatakan orang Kristen tidak bisa menikahi Muslim. Keluarga saya tidak menerima ini, "katanya. 
 
"Saya cukup beruntung bisa naik pesawat ini," Sami menambahkan, mengacu pada fakta bahwa dia tidak seperti yang lainnya yang harus menunggu untuk naik pesawat pemerintah karena tidak memiliki hubungan dengan Prancis. "Saya tidak berpikir saya akan kembali." 
 
PBB mengatakan sekarang ada sekitar 1,2 juta warga Irak mengungsi, termasuk 850.000 di wilayah otonomi Kurdi di Irak utara di mana banyak yang hidup dalam kondisi mengerikan. 
 
Diperkirakan 200.000 orang Kristen telah meninggalkan rumah mereka di wilayah Nineveh di Irak utara sejak ISIS menyerang desa mereka musim panas ini, meminta mereka memeluk Islam, membayar pajak karena menjadi Kristen atau menghadapi kematian. 
 
ISIS Memebersihkan Irak
 
Lebih dari 10.000 orang Kristen Irak telah mengajukan permohonan suaka, menurut AEMO, asosiasi Prancis yang membantu minoritas di Timur Tengah, sejak pemerintah Prancis pada Juli menyatakan siap untuk memberi izin tinggal ratusan bahkan ribuan pengungsi. 
 
Di antara para penumpang penerbangan ke Paris pada hari Sabtu (20/9) juga beberapa Yazidi. Pengikut dari sebuah agama kuno yang berasal dari Zoroastrianisme, mereka meninggalkan kampung halaman mereka di pegunungan Sinjar setelah militan ISIS, yang melihat mereka sebagai penyembah setan, merebut kota dan melakukan pembunuhan massal pada bulan Agustus. 
 
Menyambut pengungsi pribadi di bandara Charles de Gaulle pada Sabtu (20/9), Menteri Luar Negeri Prancis Laurent Fabius mengatakan bahwa menerima terlalu banyak pengungsi seperti menyerahkan kemenangan simbolis ke ISIS, yang memiliki tujuan akhir membersihkan negara dari semua orang yang menentang versi angker Islam. 
 
"Kami akan melakukan segalanya dalam kekuasaan kami untuk membersihkan Irak dari Daech sehingga suatu hari beberapa orang ini bisa pulang ketika situasi lebih baik," katanya kepada Reuters.
 
"Para militan telah melakukan pembantaian di Irak dan Suriah, ini adalah ancaman bagi seluruh wilayah tersebut dan bagi kita juga. Kami membela diri di sini. Ini bukan hanya sebuah tindakan kemurahan hati."
 
Banyak dari pengungsi, trauma akibat pengalaman mereka tiga bulan terakhir, jelas tidak bisa membayangkan pernah kembali ke negara yang memisahkan etnis dan sektarian. 
 
"Prancis menawarkan kita kehidupan yang lebih baik daripada Irak untuk kesehatan dan keselamatan. Kami berharap untuk tinggal di sini, "kata Jade 28 tahun. (reuters.com)

 


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home