Loading...
DUNIA
Penulis: Reporter Satuharapan 09:52 WIB | Kamis, 30 Juni 2016

Kristen, Muslim,Yahudi Bangun Rumah Ibadah Bersama di Israel

Ilustrasi. Dari kiri, Pendeta Jerman, Gregor Hohberg, Rabi Israel, Tovia Ben-Chorin dan Imam Turki-Jerman, Kadir Sanci, memegang tiga buah batu sebagai simbol pembangunan sebuah rumah doa lintas iman di Berlin pada 3 Juni 2014. Kini di Israel inisiatif serupa juga sedang dilakukan. (Foto AFP/JOHN MACDOUGALL)

YERUSALEM, SATUHARAPAN.COM - Secara teori, ini bukan perkara yang besar: laki-laki dan perempuan yang memiliki kepercayaan, yang meyakini satu Tuhan dan cinta kepada kota Yerusalem, berkumpul bersama untuk ibadah, belajar, juga menyanyi.

Dalam praktiknya, ini seperti peluang bola salju di tengah padang pasir.

Tapi ternyata tidak mustahil. Dalam sepekan di bulan September, tempat kecil dengan empat dinding dan sedikit balkon, Alpert Youth Music Center akan menjadi AMEN, rumah untuk sesuatu yang belum pernah dicoba di Kota Suci - tempat ibadah untuk tiga agama monoteistik “yang berbagi gairah untuk Yerusalem di mana mereka akan berdampingan untuk sementara waktu di bawah sayap Yang Maha Kuasa.”

Di bawah radar, jauh dari mata publik, sebuah kekuatan kecil dari berbagai pemimpin agama telah berkumpul selama bertahun-tahun untuk yakin, berharap dan menghubungkan kembali melalui bahasa atavistik iman.

Eksperimen ini, yang oleh publik akan dilihat hanya sebagai puncak dari gunung es  rumah ibadah bersama selama sepekan, tidak lebih dari jalan kembali ke bentuk persekutuan yang sudah dijalankan para leluhur, ketimbang suatu jalan keluar dari polarisasi dan kevulgaran ceramah politik kontemporer.

“Hal semacam ini sangat alami untuk seluruh sektor publik. Anda berdoa bersama. Itu akan kembali ke cara orang yang paling kuno di kota ini untuk berdoa, berdoa secara komunal sehingga dikomunikasikan. Hari ini kita hidup di kategori yang terus terang kita tidak bisa lakukan,” kata Tamar Elad-Appelbaum, rabba (bentuk feminin dari rabbi) dan juga pendiri komunitas sinagoga Sion di Yerusalem kepada The Media Line.

“Ketika Anda bergerak di luar batas yang jelas kosong tapi dibatasi, di mana menjadi hambatan kita pada saat ini, Anda menemukan sebuah kerinduan untuk berbagi pengalaman yang nenek moyang kita ciptakan, yang sama sekali tidak terpisah dari warisan yang berbeda yang masing-masing kita bawa. Tidak ada zaman baru tentang hal ini. Kita tidak menciptakan sesuatu yang baru. Hal ini sangat penting untuk menjadi jelas: Itu  tradisi nyata Yahudi di mana orang lain mengundang dan diundang; dan dalam pekerjaan kami bersama sangat ketat tentang menjadi yang dikunjungi dan pengunjung.”

Mereka telah membuat konsep yang mengundang publik untuk bergabung pada 5-11 September nanti sebagai bagian dari festival yang dikenal sebagai Mekudeshet, Berkat, bagian dari Musim Kebudayaan Yerusalem.

“Kenyataan ini didasarkan pada nubuat Yesaya, ‘Rumah-Ku akan disebut rumah doa bagi segala bangsa.” Penyelenggara festival mengatakan, ”realitas baru tetapi lama  ini terinspirasi dari tradisi pertemuan dan kerjasama kuno. Sebuah realitas yang tenyata apa yang kudus bagi Anda dan bagi saya yang berasal dari ruang yang terpisah menjadi satu kuil terbuka yang dipenuhi dengan inspirasi suci dan keyakinan bersama.”

“Saya pikir banyak dari kita yang dibesarkan dalam spektrum yang sangat luas dari dunia tradisional, tumbuh menjadi konsep Taurat yang menyenangkan, darchei noam. Dialog politik telah mengasingkan banyak publik yang sangat dipengaruhi oleh tradisi, banyak orang yang datang dari latar belakang pendidikan Yahudi, banyak dari mereka secara intuitif menemukan diri mereka di tempat ini di mana bahasa doa adalah bahasa komunikasi antara orang-orang, karena masyarakat dan politik sekarang berbicara hanya dalam cara yang sangat terpolarisasi. Tidak ada lagi ekspresi yang diberikan”.

“Saya cukup terkejut,” kata Elad-Appelbaum, “untuk menemukan betapa alaminya, beragam orang dibawa kembali ke persekutuan yang sederhana dan alami dengan cara yang menyenangkan. Seperti tahun-tahun telah berlalu, saya melihat ada ratusan orang yang dengan kepemimpinan yang tepat dapat membuat sesuatu yang sama sekali baru.”

Sheikh Ihab Balha dari komunitas Muslim Sufi di Jaffa, yang juga mengajar dan belajar di College Islam di Baqa al-Gharbiyye, di Galilea, mengatakan kepada The Media Line bahwa pemimpin gerakan ini, “tidak memiliki kesulitan menghubungkan dan menciptakan ide ini, sebagian besar dari kita memiliki aspek spiritual yang besar dan kesadaran bahwa ketika Anda melekat pada banyak hal seperti tanah (memisahkan kita) sebaliknya, kita melekat ke kasih Allah. Jadi itu sama sekali tidak sulit untuk membawa kita bersama-sama. “

“Dari segi ide, realitas kita adalah bahwa di Negara Israel dan Palestina kita hidup dalam realitas perang dan dengan media yang merugikan kedua belah pihak dan memaksimalkan perpecahan dan kerenggangan, kami memiliki pemimpin yang menjaga sikap ini. Jadi kita berniat menciptakan sesuatu hal yang religius dan menentang kebohongan yang mengatakan semuanya cuma perang. Kami orang-orang beriman percaya bahwa perlu adajarak antara orang politik dan pemimpin agama, dan kami telah tiba pada kesadaran agama  bisa membawa perdamaian, bukan negosiasi yang diperdebatkan.”

Yair Harel seorang penyanyi, komposer, dan pemimpin liturgi di masyarakat Sion, yang juga bekerja dengan Elad-Appelbaum mengatakan kepada The Media Line “Peran saya adalah untuk menemukan bagaimana hubungan agama juga memiliki dimensi seni dan musik, bagaimana perjumpaan itu bisa kita hidupi secara terbuka juga, kepada publik yang tidak mengalaminya di kehidupan sehari-hari dengan intensitas yang kami lakukan, tapi dengan cara yang tetap organik dan memegang ruang milik siapapun (seluruh umat beragama), bukan hanya orang yang miliki keyakinan.” (jpost.com/kaviel alawy)

Editor : Eben E. Siadari


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home