Loading...
INSPIRASI
Penulis: Wisnu Tri Handayani 09:23 WIB | Selasa, 05 Juni 2018

Lapar Perut atau Lapar Mata?

Kapan kita berkata, "Saya sudah cukup!"
Foto: Istimewa

SATUHARAPAN.COM – Bangsa Israel bersungut-sungut karena kelaparan (Kel. 16:2-3) Namun, bukan hanya perut yang bisa lapar. Hati bisa juga merasa lapar atau haus. Lalu muncullah ungkapan: ”haus kasih sayang”,”haus pengakuan”, dan masih banyak ”haus” lainnya.

Jiwa juga bisa merasa haus dan lapar. Demikian pemazmur berkisah: ” … mereka lapar dan haus. Jiwa mereka lemah lesu di dalam diri mereka” (Mzm. 107: 5). Lalu Allah memuaskan mereka: ”sebab dipuaskan-Nya jiwa yang dahaga, dan jiwa yang lapar dikenyangkan-Nya dengan kebaikan” (Mzm. 107: 9).

Lapar perut hilang dengan makan. Lapar hati atau lapar jiwa menjadi lebih rumit urusannya. Yesus berkata, ”Manusia hidup bukan dari roti saja, tetapi dari setiap firman yang keluar dari mulut Allah” (Mat. 4: 4).

Ada juga ungkapan ”lapar mata”. Lapar mata adalah lapar emosional. Susan Albers membedakan lapar perut dengan lapar mata. Lapar perut (fisik) terjadi secara bertahap, dari tidak terlalu lapar menjadi sangat lapar; berasa di perut; ingin makan apa pun yang tersedia; dan mudah dipuaskan atau merasa kenyang.

Sedangkan lapar emosional datangnya tiba-tiba setelah melihat makanan yang menarik (barang yang menarik atau apa pun yang membuat hatinya tertarik); berasa di hati bukan di perut (bukan butuh, melainkan keinginan); hanya jenis makanan (benda atau hal lainnya) tertentu yang diinginkan; sulit dipuaskan. Ada lapar yang memang didorong oleh kebutuhan dan ada lapar semu (hasrat atau keinginan sesaat).

Saat bangsa Israel kelaparan, Tuhan memberi mereka makan daging burung puyuh dan manna. Setiap hari, orang Israel memungut manna sebanyak yang diperlukan hari itu. Ajaibnya, orang yang mengumpulkan banyak tidak kelebihan, yang mengumpulkan sedikit tidak kekurangan (Kel. 16:18). Masalah timbul ketika orang menimbun lebih dari yang dibutuhkannya hari itu. Sewaktu disimpan sampai keesokan harinya manna itu berulat dan berbau busuk. Tidak bisa dimakan. Tidak berguna lagi.

Khusus hari keenam, bangsa Israel memungut untuk dua hari. Pada hari Sabat, Tuhan tidak menurunkan manna. Hari itu untuk beristirahat. Bangsa Israel tidak bekerja mencari makan. Namun, masih ada juga orang Israel yang keluar mencari manna pada hari Sabat. Dan ia tidak menemukannya (ay. 27).

Tampaknya Tuhan memberi ketentuan ini supaya manusia hidup seimbang. Bukan hanya perut yang perlu diberi makan. Tetapi, hati dan jiwanya juga dengan beristirahat dan menikmati kebersamaan dengan Tuhan di hari itu.

Manna disimpan sebagai pengingat. Setiap kali melihat manna, orang Israel mengingat apa yang dilakukan Tuhan. Sekaligus mengingat apa yang dilakukan orang Israel: Menimbun dan terus memungut; tidak tahu membedakan antara lapar karena kebutuhan dan lapar karena keinginan; tidak tahu kapan berkata, ”Saya sudah cukup.”         

 

Email: inspirasi@satuharapan.com

Editor: Yoel M. Indrasmoro

Rubrik ini didukung oleh PT Petrafon (www.petrafon.com)

 


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home