Loading...
HAM
Penulis: Francisca Christy Rosana 21:05 WIB | Selasa, 25 November 2014

LBH Apik Gelar Kampanye 16 Hari Anti Kekerasan

Siti Mazuma koordinator bidang pelayanan hukum, Ratna Batara Munit Direktur LBH Jakarta, dan moderator Veni Siregar saat konferensi pers Hari Internasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan di Bakoel Koffie Cikini, Jalan Cikini Raya, Jakarta Pusat pada Selasa (25/11). (Foto: Francisca Christy Rosana)

JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Apik akan menggelar Kampanye 16 Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan (16 Days of Activism Against Gender Violence) untuk mendorong upaya penghapusan kekerasan terhadap perempuan.

Ratna Batara Munit, Direktur LBH Jakarta saat konferensi pers Hari Internasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan di Bakoel Koffie Cikini, Jalan Cikini Raya, Jakarta Pusat pada Selasa (25/11) menjelaskan kegiatan ini berlangsung mulai 25 November, bertepatang dengan Hari Internasional Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan hingga 10 Desember bertepatan dengan Hari Hak Asasi Manusia Internasional.

“Dipilihnya rentang waktu tersebut untuk menghubungkan secara simbolis antara kekerasan terhadap perempuan dan HAM, serta menekankan kekerasan terhadap perempuan merupakan salah satu bentuk pelanggaran HAM,” kata dia.

Kegiatan kampanye ini dilakukan dengan berbagai rangkaian, di antaranya melakukan konferensi pers  dengan media dan diskusi dengan mahasiswa serta pelajar terkait kekerasan perempuan. LBH menitik fokuskan diskusi pada kekerasan seksual karena angka kekerasan seksual hingga saat ini di Indonesia dinilai masih tinggi.

   Baca juga:

LBH APIK dalam kampanye anti kekerasan seksual terhadap perempuan juga akan  akan mendesak pejabat negara untuk tidak mengeluarkan pernyataan yang menyerang seksualitas dan tubuh perempuan serta merendahkan integritas tubuh perempuan.

Selain itu, mereka juga akan mendesak Gubernur Nanggroe Aceh Darussalam dan Pemerintah RI untuk segera mencabut Qanun Khalawat dan menghentikan pelaksanaan Perda tersebut karena pelaksanaannya dinilai tidak memberikan keadilan bagi perempuan korban, melanggar hak asasi manusia dan berdampak menyengsarakan perempuan korban kekerasan.

DPR dan Pemerintah juga akan didesak untuk memasukkan RUU Perkosaan, RUU Kekerasan Seksual, RUU Kesetaraan dan Keadilan Gender, RUU Peradilan Keluarga dan Amandemen UU Perkawinan dalam Program Legislasi Nasional 2015 – 2019.

“Bukan berarti kita tidak mendukung pemerintah, tapi mereka harus mengutamakan kepentingan rakyat,” ujar Ratna. 

Editor : Bayu Probo


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home