Loading...
SAINS
Penulis: Dewasasri M Wardani 09:13 WIB | Selasa, 02 Oktober 2018

Likuifaksi: Ketika Tanah di Kota Palu dan Sekitarnya Tiba-tiba Melarut

Ilustrasi. Tanah di Perumahan Balaroa anjlok setelah gempa-tsunami melanda Kota Palu dan sekitarnya, pada Jumat (28/9). (Foto: bbc.com)

JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Sewaktu gempa dan tsunami melanda Kota Palu dan sekitarnya, pada 28 September 2018, beberapa daerah seperti Kelurahan Petobo mengalami fenomena alam yang disebut likuifaksi.

Proses yang terjadi karena gempa ini menyebabkan berbagai rumah roboh, cuit Sutopo Purwo Nugroho, Kepala Pusat Data Informasi dan Humas di Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB).

“Likuifaksi itu lebih kepada larutnya suatu benda padat ke benda cair. Terkait sama gempa bumi ini, di daratan itu di bawahnya ada air tanah, begitu ada getaran, barang-barang padat di atas itu akan melarut, teraduk akibatnya getaran. Jadi melarut dengan air tanah di bawahnya," kata Dr Agustan, ahli geologi di Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), di Jakarta pada Selasa (2/10) yang dilansir bbc.com.

Likuifaksi diumpamakan Agustan sama seperti saat kita mengaduk air dan pasir di dalam botol. Barang padat seperti pasir akan berubah menjadi cair.

Pada ahli memandang daerah yang terkena gempa pada hari Jumat (28/9) memang rawan terjadinya likuifaksi, karena susunan tanah yang berpasir.

"Pada umumnya itu terjadi pada tanah yang berpasir. Dia harus jenuh air, mudah terendam air. Ketika dia mengalami guncangan maka air itu akan memiliki tekanan yang berlebih karena dia mendorong ke sana kemari dan mendorong partikel pasir atau tanah yang tidak lengket," kata Taufiq Wira Buana, peneliti Badan Geologi, Kementerian Energi Sumber Daya Mineral (ESDM).

Tanah semacam itu biasanya yang mudah bersentuhan dengan air.

"Air biasa, air yang ada di dalam tanah itu, mungkin masyarakat umum mengonsumsinya sebagai air tanah. Memang syaratnya, air itu biasanya dangkal, dekat dengan permukaan tanah, kisaran lebih kurang 10 meter,” Taufiq.

Proses Likuifaksi

Enam tahun lalu, ESDM sudah melakukan penelitian terkait gejala alam ini di beberapa tempat, termasuk di Sulawesi Tengah.

"Di Palu itu memang potensi likuifaksi memang ada. Tahun 2012 kita sudah mengidentifikasi kota Palu sendiri, di bagian tengah rata-rata endapan berumur masih muda, banyak pasir, lumpur yang masih belum terikat, masih gembur," kata Taufiq.

Likuifaksi, kata Taufiq, tinggal menunggu waktu.

"Pemicunya, salah satunya adalah sesar Palu Koro lewat di situ,” katanya.

Likuifaksi ini sebenarnya sering kali terjadi saat gempa kuat terjadi di berbagai tempat, tetapi keadaan permukaan bumilah yang menentukan terjadinya longsor, menurut Agustan.

"Contoh waktu gempa Tasikmalaya tahun 2009, itu ada likuifaksi muncul. Tetapi mungkin karena di daerah itu topografinya datar, kemungkinan lumpur saja, tidak menyebabkan longsor. Nah kalau kejadian di Palu kemarin, kejadian ada longsor karena mungkin topografinya lebih curam," katanya.

Belajar dari Jepang

Mengingat sebagian wilayah Indonesia berada di daerah Cincin Api Pasifik, maka kemungkinan terjadinya likuifaksi selalu ada.

Tetapi, sebenarnya terdapat sejumlah tindakan yang bisa dilakukan untuk mengantisipasinya, seperti melakukan pemetaan bencana yang lebih menyeluruh misalnya.

"Pemetaan, inventarisasi wilayah-wilayah yang rawan bencana, termasuk survei likuifaksinya. Dan hal seperti ini yang belum terstruktur di Indonesia, datanya masih spot-spot saja pada daerah yang sudah dipetakan. Seharusnya kota-kota itu sudah dipetakan tingkat kerawanan bencananya, apakah bencana likuifaksi, gempa, dan sebagai macam," kata Agustan.

Sementara itu, Indonesia juga dapat belajar dari negara lain seperti Jepang, untuk menghadapi kemungkinan terjadinya likuifaksi dan penggunaan pemetaan bagi rencana tata ruang kota.

"Kita melakukan penelitian itu awalnya adalah untuk peruntukan tata ruang. Jadi memberikan rekomendasi ke pemerintah daerah untuk mengatur tata ruangnya beraspek bencana, bencana geologi, salah satunya likuifaksi," kata Taufiq Wira Buana dari ESDM.

"Masih boleh didirikan bangunan asal memenuhi kaidah-kaidah tahan gempa. Tidak baik untuk hunian yang tingkat tinggi, tingkat tiga, atau empat. Saya perhatikan yang berbiaya murah di Jepang, itu salah satunya dengan rumah kayu,” kata Taufiq.

 

Editor : Sotyati


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home