Loading...
INDONESIA
Penulis: Eben E. Siadari 13:47 WIB | Minggu, 16 Oktober 2016

LIPI: Konsolidasi Gerakan untuk Papua Merdeka Kian Efektif

Seminar peluncuran Ringkasan Papua Road Map jilid II yang berjudul Proses Perdamaian, Politik Kaum Muda, dan Diaspora: Updating Papua Road Map pada Jumat 13 Oktober 2016 di Gedung LIPI, Jakarta. Dari kiri: Latifah Hanum SIregar dari Aliansi Demokrasi Untuk Papua sebagai moderator, Yan Christian Warinussy, direktur eksekutif LP3BH, Manokwari, Mayjen TNI Yoedhi Swastono, Deputi I/Koordinasi Bidang Politik Dalam Negeri Kemenpolhukam, Irjen Pol Drs. Paulus Waterpauw, Kapolda Papua, Adriana Elisabeth, ketua Pusat Penelitian Politik LIPI, Pater Neles Tebay, Koordinator Jaringan Damai Papua. (Foto: Eben Ezer Siadari)

JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Gerakan perlawanan rakyat Papua yang menuntut diadakannya referendum untuk merdeka semakin kuat dan efektif. Interaksi kelompok diaspora di luar negeri dengan gerakan-gerakan yang ada di Tanah Papua membuat gerakan perlawanan semakin terkoordinasi, tidak lagi bergerak sendiri-sendiri seperti sebelumnya.

Di lain pihak, pemerintahan Presiden Joko Widodo dinilai belum memiliki grand strategy untuk menyelesaikan masalah Papua. Pembentukan tim terpadu penyelesaian kasus HAM tidak dipercaya oleh Papua karena tidak pernah mengadvokasi kekerasan-kekerasan yang terjadi di Papua.

Oleh karena itu, Presiden Jokowi didesak untuk melakukan dialog nasional yang inklusif tentang Papua. Presiden diminta menunjuk person in charge (PIC) untuk mengurus Papua yang mempersiapkan  dan menjamin terlaksananya dialog nasional yang mendapatkan legitimasi yang kuat dari pemerintah dan masyarakt Papua.

Hal ini dikatakan oleh Kepala Pusat Penelitian Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Adriana Elisabeth, ketika mengantarkan peluncuran ringkasan eksekutif Papua Road Map Jilid II yang berjudul Proses Perdamaian, Politik Kaum Muda, dan Diaspora Papua: Updating Papua Road Map, di Gedung LIPI, Jakarta, (14/10). Hadir sebagai pembicara pada acara peluncuran PRM jilid II ini adalah Irjen Pol. Drs. Paulus Waterpauw, Kapolda Papua mewakili Kapolri, Mayjen TNI Yoedhi Swastono, deputi I/Koordinasi Bidang Politik DAlam Negeri Kemenpolhukam, Pater Neles Tebay, Koordinator Jaringan Damai Papua dan Yan Christian Warinussy, direktur eksekutif LP3BH Manokwari dan moderator Latifah Hanum Siregar dari Aliansi Demokrasi untuk Papua. Seminar tersebut dibuka oleh Deputi Ilmu Pengetahuan Sosial dan Kemanusiaan LIPI, Tri Nuke Pudjiastuti.

"Kami melihat terjadi dinamika Papua yang cukup maju dari sekitar tiga tahun yang lalu," kata Adriana, menjelaskan salah satu alasan mengapa Papua Road Map (PRM) yang sudah pernah dirumuskan LIPI pada tahun 2008, harus direvisi dan diperbarui dengan PRM jilid II ini.

Hal yang ia sebut maju dan terjadi dinamika itu, adalah terciptanya konsolidasi politik kaum muda Papua baik di dalam maupun di luar negeri. "Kalau melihat kasus Jogja, solidaritas jaringan Papua cepat bersatu terhadap adanya kekerasan yang sangat disesali," kata dia menunjuk contoh.

Kehadiran United Liberation Movement for West Papua (ULMWP) sebagai payung perjuangan menuntut referendum rakyat Papua, menurut dia, juga cermin dari adanya konsolidasi dengan jaringan diaspora di luar negeri atau di beberapa negara.

Di pihak lain, Adriana mengeritik pemerintah karena kurang memperhatikan peringatan yang sudah lama diberikan oleh LIPI ini. Rekomendasi hasil penelitian LIPI tujuh tahun lalu tidak diindahkan sehingga kompleksitas persoalan di Papua semakin tinggi. Padahal rekomendasi itu ibarat early warning system bagi pemerintah.

Peta Kekuatan Gerakan Menuntut Papua Merdeka

Salah satu kekuatan yang terus menguat dalam menyuarakan tuntutan referendum, menurut kajian LIPI terbaru yang diluncurkan kemarin (14/10), adalah United Liberation Movement for West Papua (ULMWP). Organisasi ini tidak hanya menguat secara internal di Papua, tetapi juga semakin kuat secara internasional.

Dukungan pemerintah negara-negara Pasifik terhadap ULMWP dimotori oleh dukungan cukup kuat elemen-elemen masyarakat sipil di kawasan tersebut. Dua kekuatan yang yang cukup signifikan adalah Pacific Islands Association of Non-Governmental Organizations (PIANGO) dan Gereja Pasifik Selatan.

PIANGO dibentuk berdasarkan 22 wilayah dan negara-negara Pasifik Selatan pada 1991. Sedangkan gereja-gereja Pasifik Selatan melalui serangkaian pertemuan yang diselenggarakan oleh Pacific Conference of Churches (PCC) dan the Anglican Church of Melanesia (ACoM), membentuk gerakan  the Solomon Islands Solidarity for West Papua Freedom.

Pada 12 Maret tahun lalu, sebanyak 50 pimpinan Gereja Metodis di Fiji menandatangani petisi gerakan solidaritas untuk mendukung Papua Barat masuk Melanesian Spearhead Group (MSG). Petisi dipimpin oleh the Ecumenical Centre for Research, Education and Advocacy (ECREA), dan diserahkan kepada Perdana Menteri Fiiji, Voreqe Bainimarama pada April 2015.

"Meskipun ketiga kekuatan ULMWP memiliki pusat gerakan diaspora yang berbeda-beda, yakni NRFPB di Australia, WPNCL di Vanuatu dan NPWP di Inggris, ketiganya bersifat saling melengkapi satu sama lain," tulis kajian LIPI terbaru tentang gerakan perlawanan rakyat Papua menuntut merdeka.

"Hal ini berbeda dengan kondisi gerakan diaspora Papua khususnya sebelum tahun 2000, dimana mereka cenderung bergerak secara sendiri-sendiri...."

Walau tidak disebut di kajian LIPI, patut juga dicatat perkembangan paling mutakhir, yakni diangkatnya isu HAM dan penentuan nasib sendiri untuk rakyat Papua oleh tujuh negara Pasifik di Sidang Majelis Umum PBB belum lama ini.

Juga adanya seruan enam uskup yang tergabung dalam Komite Eksekutif Federasi Konferensi Uskup Katolik se-Oseania menyerukan agar pemerintah mana pun tidak menghambat keinginan rakyat Papua untuk bergabung dengan MSG pada Agustus lalu.

Menghambat keinginan itu, menurut mereka, akan melukai hati semua rakyat Melanesia. MSG, demikian pernyataan itu, adalah tempat alami kolaborasi dan potensi saling memahami yang lebih dalam di antara sesama rakyat Melanesia.

Keenam uskup tersebut bertemu di Port Moresby, Papua Nugini, dan mengeluarkan pernyataan tersebut pada 22 Agustus, sebagaimana dilansir dari catholicoutlook.org. Keenam uksup itu adalah Uskup Agung Port Moresby, John Ribat MSC,  Uskup Parramatta, Vincent Long OFM Conv, Uskup Toowoomba, Robert McGuckin, Uskup Palmerston North, Charles Drennan, Uskup Noumea, Michel Calvet SM,  dan Uskup Port Billa, John Bosco Baremes SM. Keenamnya datang  dari negara-negara Australia, Selandia Baru, Papua Nugini,Kepulauan Solomon dan CEPAC.

Menurut Adriana, generasi baru dalam gerakan menuntut kemerdekaan Papua kini adalalah orang-orang yang bergerak berdasarkan ideologi, memiliki dampak internasional  dan menggunakan teknologi informasi. "Mereka menggunakannya untuk konsolidasi dan saat ini agendanya menegerucut menuntut referendum merdeka. Di dalam dan luar negeri dengan agenda mereka sama," kata Adriana.

Lebih jauh, gerakan ini semakin solid dan dalam berbagai protes tidak lagi dilakukan secara anarkis. "Gerakan ini memakai agenda demokrasi dengan damai, yang kita tidak bisa melakukan kekerasan karena gerakan ini mengerti demokrasi dan kebebasan berpendapat," lanjut Adriana.

Dia juga mengemukakan fenomena tumbuhnya nasionalisme baru di kalangan anak-anak muda Papua yakni nasionalisme Melanesia, bersama dengan kesadaran akan prinsip humanisme. "Ini cukup memberikan amunisi bagi konsolidasi gerakan Papua," kata Adriana.

Masih Ada Harapan

Di tengah menguatnya gerakan perlawanan rakyat Papua yang menuntut merdeka, Adriana Elisabeth melihat masih ada harapan untuk menyelesaikan masalah Papua melalui dialog nasional yang inklusif. Ia melihat Presiden Joko Widodo sudah memulai berbagai inisiatif yang memunculkan harapan itu.

"Kebijakan Presiden Jokowi, yang menunjukkan harapan baru, datang ke Papua, membebaskan Tapol, membuka akses bagi jurnalis internasional, pembangunan infrasturktur dan ekonomi di Papua, ini adalah tanda harapan baru bahwa Papua akan lebih baik. Kedatangannya ke Papua menunjukkan bukti kesungguhan presiden," kata Adriana.

Kendati demikian, ia menilai Presiden Jokowi belum memiliki grand design dalam menyelesaikan masalah Papua.
Pembentukan tim terpadu penyelesaian kasus HAM di Papua, kata dia, tidak dipercaya oleh Papua karena tidak pernah mengadvokasi kekerasan-kekerasan di Papua.

Oleh karena itu, LIPI menilai perlu dialog nasional antara pemerintah dan wakil-wakil masyarakat Papua. Agenda dialog itu, menurut LIPI, adalah membahas masalah-masalah yang menghambat perdamaian melalui kesepakatan bersama pihak-pihak yang terlibat di dalam proses dialog. Termasuk di dalamnya persoalan pengakuan atas harga diri dan identitas orang Papua, masalah pelanggaran HAM, kekerasan dan pemberdayaan masyarakat Papua.

Selain itu dialog nasional merumuskan dan menyepakati kebijakan yang menjamin tercapainya pemenuhan HAM dalam berbagai aspek, termasuk hak sipil, politik, keamanan dan ekonomi.

Dalam upaya mewujudkan dialog, LIPI mendesak presiden menunjuk person in charge (PIC) untuk mengurus Papua, yang ditugaskan untuk mempersiapkan dan menjamin terlaksananya dialog nasional yang mendapatkan legitimasi dari pemerintah dan masayrakat Papua.

LIPI mengatakan PIC untuk Papua haruslah orang yang dipercaya oleh presiden, memiliki pemahaman  yang akurat mengenai akar persoalan di Tanah Papua, objektif dan tidak diskriminatif, dan tidak pernah terlibat dalam pembentukan miliisi-milisi sipil pro Indonesia.

"Di Jakarta banyak sekali pintu yang membicarakan Papua, tetapi sedikit-sedikit dan tidak lengkap. Kalau begini, tidak akan bisa menghadapi gerakan Papua yang sudah semakin fokus," kata Adriana.

Editor : Eben E. Siadari


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home