Loading...
ANALISIS
Penulis: Hananto Kusumo 08:31 WIB | Selasa, 13 Oktober 2015

Lompatan Logika dalam Draf Revisi UU KPK

Aksi penolakan terhadap revisi UU KPK No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (Foto: Tunggul Tauladan)

SATUHARAPAN.COM – Draf Revisi UU KPK No. 30 tahun 2002 telah menimbulkan kontroversi. Jika revisi itu sungguh memperbaiki, tentu umumnya siapa pun menerimanya. Namun sungguhkah ada hal-hal yang begitu urgen untuk diperbaiki dalam UU KPK itu, apalagi sesuai draf revisi?

Kalau mencermati draf Revisi UU KPK yang beredar, terdapat beberapa “lompatan logika”. Maksud “lompatan logika” di sini: alasannya seolah-olah logis, namun sebenarnya mensyaratkan premis tertentu yang sebenarnya belum ada atau tidak terbukti. Apa saja lompatan logika itu? Di antaranya sebagai berikut:

Pertama, KPK tak lagi memiliki penuntut umum dan tak berhak menuntut. Logika yang dipakai agaknya supaya tidak mengintervensi tugas kejaksaan. Namun bukankah KPK dibentuk justru karena kinerja kejaksaan dinilai kurang efektif? Makin sulit lagi bila yang dituntut kejaksaan juga seorang jaksa. Jika fungsi menuntut ini hendak dihilangkan, logikanya harus dibuktikan dahulu bahwa kinerja kejaksaan sudah efektif.

Kedua, usia KPK dibatasi hanya 12 tahun. Alasannya sebagai komisi maka bersifat ad hoc, jadi masa kerjanya hanya selama dibutuhkan. Namun apakah memang KPK hanya dibutuhkan selama 12 tahun? Apa parameternya? Siapa yang dapat menjamin bahwa korupsi di Indonesia hanya berlangsung selama 12 tahun lagi? Padahal siapa pun sulit membantah bahwa Kejaksaan serta Kepolisian yang menjalankan fungsi penyidikan dan penuntutan saat ini masih belum bebas praktik korupsi. Kepercayaan “rakyat” (baca: “pemilik demokrasi”) negeri ini masih jauh lebih besar terhadap KPK daripada terhadap kedua lembaga ini. Hampir tidak ada kasus yang diajukan KPK yang tersangkanya tidak terbukti bersalah - bandingkanlah dengan pelbagai kasus yang ditangani kepolisian atau kejaksaan akhirnya menguap entah ke mana.

Ketiga, adanya pembatasan kewenangan penyadapan, yakni harus mendapat izin pengadilan setempat. Agaknya logika yang dipakai adalah pengadilan membutuhkan alat bukti untuk memutuskan perkara. Padahal penyidik juga membutuhkan alat bukti untuk dibawa ke pengadilan. Lagipula, bagaimana kalau yang dicurigai korupsi adalah oknum pengadilan negeri? Bukankah kasus korupsi yang dapat ditangani KPK meliputi pula yang dilakukan penegak hukum? Sangat tidak logis bila izin penyadapan harus didapatkan dari ketua pengadilan negeri yang mungkin malah sedang diusutnya! Apalagi dengan kewenangan KPK melakukan penyadapan terhadap terduga kuat koruptor, terbukti begitu banyaknya kasus korupsi dapat diungkap dan tersangkanya terbukti bersalah karena disertai bukti yang cukup kuat.

Keempat, pembatasan jumlah korupsi yang dapat ditangani KPK hanya yang di atas Rp 50 miliar. Untuk itu mari kita cermati UU KPK No 30 Tahun 2002. Disebutkan, dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf c, KPK berwenang melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi yang:

1. Melibatkan aparat penegak hukum, penyelenggara negara, dan orang lain yang ada kaitannya dengan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh aparat penegak hukum atau penyelenggara negara,

2. Mendapat perhatian yang meresahkan masyarakat; dan/atau

3. Menyangkut kerugian negara paling sedikit Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah),

Sedangkan dalam draf revisi yang diajukan anggota DPR, angka satu miliar diganti menjadi 50 miliar. Selain itu kata “dan/atau”nya dihilangkan, artinya korupsi di bawah Rp 50 miliar tidak mungkin dapat diusut KPK. Lalu apa tujuannya? Mengikuti inflasi? Apakah inflasi sudah mencapai 50 kali lipat?

Ataukah tujuannya supaya KPK produktif mengembalikan uang negara yang hilang? Ingat, masalah kebobrokan mental jauh lebih penting daripada nilai rupiah! Atau supaya orang jera korupsi banyak-banyak? Justru ini dapat memancing korupsi berjemaah!

Kelima, muncullah wacana perlunya Dewan Kehormatan KPK yang kuat agar KPK tidak menjadi super body. Dalam hal ini masuk akallah draf revisi yang diajukan KPK sendiri, bahwa Dewan Kehormatan atau Pengawas KPK adalah dari tokoh-tokoh “independen” (misalnya yang dipilih dari perguruan tinggi atau dari pers). Jika pengawasnya justru dari penegak hukum atau penyelenggara negara, tentu ini tidak logis, karena berdasarkan undang-undang KPK merekalah yang terutama diawasi oleh KPK.

Akhirnya, KPK dikatakan harus konsentrasi pada pencegahan korupsi. Logika yang terbangun selama ini: KPK selama ini sudah fokus pada pemberantasan, sekarang perlu fokus pada pencegahan. Logika ini menggunakan logika keseimbangan atau logika paket program, yang tidak nyambung dengan identitas KPK sebagai Komisi Pemberantasan Korupsi. Jika suatu penyakit masih menghinggapi seseorang dan membahayakan jiwanya, selain harus menguatkan tubuh pasien supaya dapat mencegah perkembangan lebih jauh, dokter justru harus fokus pada pemberantasan penyakitnya. Malahan dalam kasus korupsi, penindakan tegas terhadap pelaku korupsi merupakan terapi jera yang mencegah orang lain korupsi, setidaknya orang kini tidak semudah dulu melakukan tindak korupsi karena berpikir “toh nanti dapat menyuap (polisi atau jaksa)”. Bahkan di sejumlah pemerintah daerah, makin sulit mencari orang yang mau mengurusi bidang pengadaan barang, karena takut tersangkut korupsi. Penindakan tegas terhadap pelaku korupsi juga sekaligus mencegah korupsi, jadi tidak relevan mendikotomikan pencegahan dengan pemberantasan korupsi.

Memang ada kesan dengan adanya KPK maka sekarang banyak orang korupsi, terbukti banyak pejabat legislatif dan eksekutif yang dihukum karena tindak korupsi. Ini pun lompatan logika, karena sebelum ada KPK pun tak kalah banyak orang yang korupsi dan mau terus korupsi, namun tidak ketahuan/tertangkap.

Mungkin, dalam hal ini kita perlu serius menyimak sindiran pelawak Cak Lontong, “Kalau Anda menganggap koruptor adalah orang yang korupsi itu salah. Tidak semua orang yang korupsi itu koruptor. Karena koruptor itu hanya orang yang ketangkap korupsi. Selama belum ketangkap, mungkin mereka masih pejabat.”

Hananto Kusumo adalah dosen Teologi dan Filsafat, alumnus FISIPOL UGM dan Magister Teologi UKDW, aktivis Masyarakat Kristiani Indonesia (MKI). Kini tinggal di Salatiga. 


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home