Loading...
DUNIA
Penulis: Ignatius Dwiana 23:12 WIB | Selasa, 01 Juli 2014

Lonceng Gereja Tidak Lagi Berdentang di Mosul Irak

Anak-anak Kristen Irak berkumpul untuk berdoa di Gereja Perawan Maria bartala, timur laut Mosul. (Foto: AFP/Karim Sahib)

MOSUL IRAK, SATUHARAPAN.COM – Minggu lalu, untuk pertama kalinya dalam 1600 tahun, tidak ada perayaan misa di Mosul. Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS atau yang disebut juga ISIL) merebut kota terbesar kedua Irak itu pada 10 Juni lalu sehingga menyebabkan sebagian besar orang Kristen di wilayah itu mengungsi ketakutan. Ketakutan mereka seperti menyatu dengan luka Kristus yang disalibkan.

Komunitas Kristen kuno Mosul merupakan keturunan para penduduk tempat nabi Yunus dikuburkan. Mereka kini menghadapi pemusnahan di belakang garis ISIS. Mereka yang mengambil resiko beribadah harus melakukannya dengan membisu, berdoa di bawah peraturan Syariah baru yang menghentikan setiap lonceng gereja di kota itu. Seperti diberitakan pada Minggu (29/6).

Media telah mengabaikan cerita-cerita mengerikan yang muncul dari Mosul. Pada 23 Juni, Kantor Berita Asiria Internasional melaporkan teroris ISIS memasuki rumah keluarga Kristen di Mosul dan menuntut mereka membayar jizyah, pajak atas non Muslim. Kantor Berita Asiria Internasional melaporkan, "Ketika keluarga Asiria mengatakan mereka tidak punya uang, tiga anggota ISIS itu memperkosa ibu dan puterinya di depan suami dan ayahnya. Para suami dan ayahnya begitu trauma sehingga dia bunuh diri." 

Laporan pendudukan ISIS Irak dikuatkan dengan catatan kelompok dari ruang penyiksaan, eksekusi publik, dan penyaliban sehingga menambahkan keyakinan akan mimpi buruk yang datang dari negeri itu. Sejak jatuhnya Mosul, litani kejahatan telah menggantikan liturgi orang Kristen di sana. Seorang anak muda terbelah perutnya dari pelukan orang tuanya saat mereka berlari dari muka ISIS dan ditembak di depan mata orang tua mereka, anak perempuan dibunuh karena tidak mengenakan jilbab.

Tak heran sejak jatuhnya Mosul, puluhan ribu warga sipil tidak berdayamengungsi dari serangan ISIS, termasuk wilayah Kristen, yang kehadirannya di dataran Nineweh kembali ke abad awal kekristenan. Sebagian besar telah meninggalkan rumah mereka tanpa apa-apa selain pakaian di balik punggungnya.

Steven dan istrinya Babyl, dua pengungsi Kristen yang sekarang tinggal di Erbil, meninggalkan rumah mereka di Hamdaniya, daerah Mosul. Tempat ISIS mengganggu daerah itu selama bertahun-tahun sebelum penaklukan baru-baru ini. Pada akhir 2013, ISIS mengirimi Steven surat yang mengancam dia dengan pemenggalan kecuali dia meninggalkan kota itu. Pada awalnya, dia tidak mau membiarkan ekstremis mencabut nyawanya, dia mengabaikan peringatan itu. Tetapi laki-laki ISIS yang bersenjata menembaknya beberapa kali. Peluru mereka berhasil membuahkan hasil daripada surat ancaman, mampu membujuk Steven dan istrinya yang baru hamil mengungsi ke Yordania.

Meskipun beresiko besar, pasangan muda itu kembali ke Hamdaniya pada awal Juni. Babyl telah jatuh sakit, dan Steven, tidak dapat menemukan pekerjaan di Yordania, sangat membutuhkan uang untuk perawatan rumah sakit.

Beberapa hari kemudian ISIS menaklukkan Mosul. Untuk kedua kalinya, Steven dan Babyl yang sekarang hamil delapan bulan meninggalkan rumah mereka. Mereka mengungsi dari tempat mengerikan itu ke Erbil. Mereka mencemaskan anak mereka yang belum lahir, seorang bayi perempuan yang akan lahir dalam sebuah keluarga tanpa barang-barang, tanpa uang, dan sedikit makanan. Steven menyimpulkan situasi di akhir emailnya,"Saya hanya ingin keluar dari neraka ini."

Tragedi kemanusiaan ini terjadi di atas ketidakstabilan politik. Gagasan atas Irak dirancang kebijakan elit luar negeri di London dan terakhir kebijakan elit luar negeri di Washington. Sementara pemerintahan Obama dan Departemen Luar Negeri berebut menyelamatkan Irak, kenyataannya Irak telah hancur berkeping-keping. Kurdistan yang terletak di utara, sebuah bangsa yang tidak dapat ditemukan pada setiap peta barat, menjadi tumpuan harapan terbesar bagi mereka yang mencari kebebasan paling mendasar. Sejak tahun 2003, orang-orang Kristen telah melarikan diri ke dataran Nineweh Kurdistan. Sunni Kurdi yang cenderung sekuler dalam politik mereka telah menawarkan bantuan kepada mereka dalam beberapa tahun terakhir.

Kengerian terus berlangsung di Irak. Di ruang pidato presiden di Washington yang penuh harapan, seorang uskup Irak membuat permohonan bantuan secara susah payah melalui telepon sebagai delegasi Kristen Irak . "Kami tidak punya makanan, tidak ada bensin, (berarti) tidak ada daya melindungi diri kami sendiri. Mana nilai-nilai Amerika? Di mana martabat kami?" Banyak di Washington yang tertarik untuk melihat otonomi Kurdi yang lebih besar, melihat mereka sebagai jalan ketiga yang bijaksana di antara negara-negara Sunni yang telah mendukung militan Islam (Turki, Saudi, Qatar) dan Syiah Iran dan bonekanya. Kurdi tidak hanya mewakili harapan terbaik untuk sekutu Amerika di wilayah yang semakin didominasi Islam, tetapi juga harapan terbaik untuk kelangsungan hidup orang Kristen dan minoritas agama lainnya di Timur Tengah.

Tidak seorang pun membayangkan militan emirat Islam yang membentang di wilayah Bulan Sabit beberapa tahun lalu. Kini militan emirat Islam menjadi ancaman karena memperluas wilayah ke negara-negara tetangga seperti Lebanon dan Yordania. Saat ini, sulit untuk membayangkan ISIS akan dikalahkan. Perbatasan pasca kolonial Irak runtuh dalam dua minggu terakhir. ISIS telah mengkonsolidasikan dan memperluas emirat Islam dari Efrat sampai mendekati Baghdad. Sekarang wilayah komandonya hampir sama besar seperti yang dimiliki pemerintah Irak atau Suriah. Barbarisme dan strategi tidak eksklusif secara timbal balik. ISIS kemungkinan akan berkonsolidasi untuk mencapai Baghdad, menunggu baik pemerintah an Maliki runtuh atau milisi Syiah untuk meninggalkan ibukota.

Krisis Kristen Irak dipicu perkembangan ISIS di wilayah yang sangat penting seperti Mosul. Tempat itu menjadi wilayah penurunan dramatis terbaru dalam Kristen di Timur Tengah. Homogenitas di wilayah ini akan menjadi bencana budaya dengan konsekuensi global dan berdampak bagi keamanan nasional Amerika. Kurangnya perhatian pers Barat adalah sebuah tuntutan jurnalistik dan perkembangan politik yang sebagian besar acuh tak acuh terhadap salah satu krisis hak asasi manusia besar di zaman kita.

Kisah Kekristenan di Irak panjang dan memasuki babak paling sulit sampai saat ini. Tetapi ISIS tidak akan memiliki kata terakhir. Meskipun masa depan tampak suram, Steven dan Babyl berharap untuk suatu hari mereka dapat kembali pulang, hari ketika lonceng gereja Mosul dapat berdentang lagi kembali. (thedailybeast.com)

Editor : Yan Chrisna Dwi Atmaja


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home