Loading...
OPINI
Penulis: Victor Silaen 13:00 WIB | Rabu, 16 Oktober 2013

Lurah Susan dan Critical Society

SATUHARAPAN.COM - Keberatan atas penempatan Susan Jasmine Zulkifli sebagai Lurah Lenteng Agung, Jakarta Selatan, masih terus bergulir sebagai salah satu wacana publik hingga kini. Boleh jadi karena awalnya Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi meminta agar Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo mempertimbangkan untuk mengevaluasi kebijakannya dalam menempatkan Susan. Menurut Menteri Gamawan, Jokowi harus mempertimbangkan kemungkinan penurunan kinerja Susan karena tidak didukung warga. Pasalnya, kata Gamawan, tujuan pemberian jabatan tertentu kepada seseorang adalah kesuksesan program karena kinerja yang baik.

Menanggapi hal itu Wakil Gubernur DKI Basuki Tjahaya Purnama (Ahok) pun berkomentar ketus agar Menteri Gamawan belajar konstitusi lagi. Sebab, menurut Ahok, konstitusi RI tidak mensyaratkan agama tertentu bagi seorang pemimpin di institusi-institusi negara termasuk pemerintahan.

Menteri Gamawan pun tersinggung. Ia menilai tanggapan berbagai pihak mengenai unsur menyinggung suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA) terhadap Lurah Lenteng Agung berlebihan karena tidak mencermati pernyataannya dengan saksama. “Saya bilang kalau Pemprov DKI Jakarta bisa evaluasi kebijakannya, bukan mengevaluasi lurahnya. Karena bagi Pemda perlu pencapaian hasil yang baik,” katanya (30/9/2013). Dia menyayangkan berbagai komentar miring yang muncul karena salah tafsir, terutama tanggapan ketus Wakil Gubernur Basuki Tjahaja Purnama. “Saya kecewa atas kepongahan Ahok, yang dengan membaca berita keliru menyuruh saya belajar UUD. Saya sepuluh tahun jadi Bupati (Solok), lima tahun jadi Gubernur (Sumbar), dan empat tahun jadi Mendagri. Sementara dia (Ahok) hanya lebih sedikit satu tahun jadi Bupati di Belitung,” keluhnya.

Apa pun yang disampaikan Menteri Gamawan sebagai respons balik atas komentar pedas Ahok itu, faktanya publik sudah telanjur menilai Menteri Gamawan cenderung kurang menghargai pluralisme. Tak heran kalau banyak media (baik cetak, elektronik maupun maya) yang kemudian terdorong untuk kembali menyoroti isu ini secara khusus.

Sementara itu Gubernur DKI Jokowi bersikukuh tidak akan memindahkan Lurah Susan dari Lenteng Agung. Sebaliknya, ia akan melakukan evaluasi secara kolektif terhadap para lurah di ibukota negara yang dipimpinnya ini dalam waktu enam bulan ke depan.

Selesaikah sampai di situ? Ternyata tidak. Yang terbaru beredar lagi kabar bahwa

Forum Umat Islam (FUI) memberikan dukungan kepada warga Lenteng Agung untuk membantu melengserkan Lurah Lenteng Agung. FUI bahkan mengancam akan menurunkan massa untuk melakukan aksi demonstrasi di kantor Pemerintah Provinsi DKI Jakarta di Balai Kota. Sekretaris Jenderal FUI, Muhammad Al Khaththath, saat menggelar konferensi pers di Bandar Al Jazeera Jalan Warung Buncit Raya (3/10) mengatakan, pihaknya memberikan dukungan kepada warga Lenteng Agung untuk menolak Lurah Susan Jasmine Zulkifli karena lurah tersebut tidak proporsional memimpin di Lenteng Agung.

“Kami menolak bukan karena agama, melainkan keberadaannya tidak cocok dan tidak proporsional dengan masyarakat Lenteng Agung,” ujar Al Khaththath. Tidak cocok dan tidak proporsional dengan masyarakat Lenteng Agung karena sudah berpuluh-puluh tahun Lenteng Agung dipimpin muslim. “Namun, kenapa sekarang ini gubernur memberikan pemimpin Lenteng Agung nonmuslim terlebih lagi dia cewek,” katanya.

Bagaimana kita harus menyikapi hal ini? Logikanya, karena Jakarta adalah ibukota Indonesia, yang sekaligus merupakan metropolitan, seharusnya warga di daerah khusus ini (termasuk di Lenteng Agung) memiliki cara berpikir yang modernis. Jadi, tidak sepatutnyalah mereka menolak seorang pemimpin semata karena agamanya, tak hirau kelurahan Lenteng Agung sudah berpuluh tahun dipimpin lurah yang muslim. Cobalah berpikir kritis: bukankah Susan ditempatkan di sana untuk menjadi pelayan publik? Lantas, mengapa kepemimpinannya harus dikait-kaitkan dengan agama? Tidakkah yang (akan) menjadi urusan Susan sebagai lurah adalah hal-hal yang berada di ranah publik?

Jadi, sekali lagi, apa urgensinya menolak Susan sebagai lurah? Kalau betul-betul warga Lenteng Agung yang keberatan, berapa banyakkah mereka, dalam arti bisakah mereka dipandang sebagai representasi seluruh warga Lenteng Agung? Anggaplah mereka representatif, tetapi apakah dengan serta-merta keberatan mereka harus diterima? Tidakkah hukum harus dijunjung tinggi di negara hukum (rechsstaat) ini? Bahwa Susan sudah sah sebagai lurah, dan Gubernur Jokowi memiliki kewenangan untuk menempatkannya di  Lenteng Agung, bukankah itu harus diterima sebagai kebenaran hukum?

Di sebuah masyarakat yang sudah modernis secara politik, keberatan terhadap sesuatu yang sudah sah dan benar secara hukum sebenarnya tak perlu ditanggapi. Justru sebaliknya, para warga yang keberatan itulah yang mestinya diminta untuk belajar banyak lagi demi menjadi bagian yang inheren di tengah masyarakat yang kritis (critical society). Sebab, sudah merupakan keniscayaan bahwa setiap anggota masyarakat yang modernis itu mampu berpikir rasional, universal, berorientasi achievement, dan impar­sial (Lerner, 1950). Di dalam masyarakat sedemikian, nilai-nilai yang berkembang niscaya mencakup kebebasan, kesetaraan, individualistik, indepen­densi, dan toleransi (Lipset, 1963).

Jadi, daripada menghabiskan energi nir-manfaat untuk mempersoalkan Susan sebagai lurah di Lenteng Agung, lebih baiklah berupaya terpadu (minimal dari perspektif hukum, agama dan politik) untuk mengedukasi sebagian warga yang belum mencapai kematangan nalar dan mentalnya itu. Agar mereka kelak dapat memandang Susan betul-betul hanya sebagai pelayan publik, dan bukan sebagai umat dari suatu agama.

 

Penulis adalah dosen FISIP Universitas Pelita Harapan.


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home