Loading...
RELIGI
Penulis: Ignatius Dwiana 08:00 WIB | Rabu, 18 September 2013

Maarif Intistute: Gagasan Islam Transformatif Relevan dengan Indonesia

Direktur Riset Maarif Intistute Ahmad Fuad Fanani. (Foto Ignatius Dwiana)

JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Islam transformatif berbeda dengan Islam salafi atau Islam modernis. Islam transformatif mendalami persoalan-persoalan keumatan tidak melulu terkait soal negara dan tafsir keagamaan. Soal ketimpangan sosial, kemiskinan, ketidakadilan, kapitalisme global, juga dicari pemecahannya.

“Dalam Islam transformatif kalau mau membantu orang kena musibah atau miskin tidak ditanyakan dulu agama dan asal usulnya. Karena orang miskin itu hakekatnya sama, harus dilindungi sistem dan negara.” Kata Direktur Riset Maarif Intistute, Ahmad Fuad Fanani ketika diwawancara di sela-sela peluncuran Moeslim Abdurrahman Fellowship di kantor Maarif Intistute di Jakarta pada hari Selasa (17/9).

Islam transformatif menekankan negara harus memberi perlindungan atas orang miskin, tertindas, atau mustads’afin. Dalam gagasan Moeslim Abdurrahman tentang Islam transformatif dikenal sebutan mustads’afin baru.

Ahmad Fuad Fanani menjelaskan,“Kalau dulu mustads’afin itu hanya orang miskin, orang fakir, dan anak yatim. Tetapi sekarang ada orang-orang baru yang tertindas. Dia bekerja sebagai PSK untuk menghidupi anaknya, menyekolahkan anak, membiayai kebutuhan sehari-hari, karena tidak ada alternatif, dan sebagainya. Kalau mereka diajak berdakwah kan tidak harus selalu disalahkan. Dilindungi dulu, diajak ngobrol, disantuni, dicari apa persoalannya.”

Lanjutnya,”Di situ ada persoalan, selain tafsir keagamaan, ada sistem juga. Mustinya Pemerintah daerah harus responsif dan memberi solusi yang tepat, memberikan penanganan yang bagus. Ga cuman mengatakan ini halal, ini haram. Ini masuk surga, ini enggak. Tetapi ada langkah-langkah pemihakan sosial.”

Sementara Islam salafi ingin membuat Islam is the solution. Islam menjadi jalan keluar semua persoalan dengan membentuk negara Islam, sistem Islam, dan penerapan syari’ah.

“Seperti itu ‘kan ada jumping conclusion. Persoalan itu harusnya ditangani dengan sistematis dan ada pendekatannya. Soal ekonomi, soal krisis moral, soal kepemimpinan, pendekatannya dengan persoalan masing-masing.”

Lain pula dengan Islam modern yang ingin semuanya kembali kepada al Qur’an dan Hadits. Tetapi kadang-kadang melupakan dimensi sosialnya seperti keadilan dan keberpihakan kepada orang miskin.

Menurut Ahmad Fuad Fanani, gagasan Islam transformatif Moeslim Abdurrahman yang dirangkum menjadi merawat kebhinnekaan dan meneguhkan keberpihakan itu relevan dan kontekstual dengan kondisi Indonesia saat ini.

”Kondisi ini sangat kontekstual bagi Indonesia sekarang. Ada krisis, ada orang yang mengaku-ngaku paling benar adalah kelompoknya, gemar menyalahkan orang lain, tidak mengakui perbedaan. Tetapi di sisi lain kondisi juga mengenaskan, orang miskin tambah banyak, negara terus membiarkan ketimpangan struktural, ketidakadilan. Orang miskin menjadi korban globalisasi, ketidakadilan negara, korban kapitalisme global.”

Editor : Bayu Probo


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home