Loading...
OPINI
Penulis: Samsudin Berlian 00:00 WIB | Senin, 04 Mei 2015

Masalah Narkoba: Kegagalan BNN 

SATUHARAPAN.COM – Menurut Badan Narkotika Nasional (BNN), pemakai narkotika dan obat berbahaya ilegal di Indonesia berjumlah 4,2 juta orang. Yang meninggal akibatnya berjumlah sekitar 15.000 orang per tahun. Angka-angka ini belum diverifikasi oleh pihak independen, dan sudah ada yang mengkritik dan meragukannya. Tapi marilah untuk saat ini kita anggap saja benar.

Dan baiklah kita juga untuk sementara sepakat dengan penafsiran BNN dan pemerintah, bahwa jumlah ini sangat besar untuk ukuran Indonesia yang berpenduduk 260 juta orang. Juga, kita abaikan dulu berapa persen dari angka 4,2 juta orang itu adalah pemakai ganja—yang tidak mematikan, tidak menimbulkan overdosis, tidak lebih mencandu daripada rokok tembakau, tidak membuat orang jadi linglung permanen, tidak merusak otak dan otot.

Kita terima saja dulu data dan asumsi BNN, walaupun masih belum dapat dipastikan, bahwa pemakai narkotika dan obat berbahaya di Indonesia sudah mencapai taraf sangat mengkhawatirkan. Yang patut kita permasalahkan adalah tafsiran atau kesimpulan berikut tentang penanganannya yang bersifat fatal. Karena itu, kata BNN dan pemerintah, pengedar narkotika dan obat berbahaya harus dimatikan. Bukan hanya gembong, bukan hanya bandar, bahkan pengedar paling kecil pun, yang secara internasional biasa disebut mule, orang miskin atau setengah miskin yang diperalat untuk membawa narkotika dan obat berbahaya ilegal melintas batas negeri, sering kali tanpa sepengetahuan mereka tentang isi barang yang mereka bawa dan implikasinya bagi nyawa mereka. Mereka semua layak dimatikan negara, demikian argumen BNN dan pemerintah, sebagai pembalasan karena akibat buruk dahsyat yang mereka timbulkan bagi rakyat Indonesia dan agar pengedar kapok takut memasukkan lagi narkotika dan obat berbahaya ilegal ke dalam negeri Indonesia.

Kesimpulan ini patut kita permasalahkan karena merupakan salah satu bentuk argumen murahan dalam menganalisis permasalahan keamanan. Ketika terjadi tindak kejahatan, sebagian besar masyarakat dan aparatur keamanan cenderung mengajukan dua bentuk argumen yang sebetulnya adalah argumen menutup mata terhadap kenyataan.

Pertama, argumen “yang salah korban”, blame the victim. Ditodong? Salah sendiri jalan malam-malam sendirian di tempat sepi. Kalung dirampas? Salah sendiri pakai kalung mengilap mahal. Argumen ini berdampak antara lain di dalam berbagai bentuk mekanisme pertahanan diri oleh korban. Karena korban itulah yang salah, korban atau orang yang khawatir menjadi korban mengambil jalan sendiri untuk mengatasi masalah. Portal dan satpam di setiap mulut gang, kunci dan tongkat pengaman di setiap mobil, gembok di setiap pintu dan jeruji besi di setiap jendela, serta perisai kecurigaan di setiap hati. Rasa waswas, cemas, gelisah tengok kiri-kanan mewabah di mana-mana. Kepercayaan sosial hilang menguap. Setiap orang tak dikenal adalah tersangka.

 

  Negara buta, atau pura-pura membutakan diri, bahwa BNN itulah, negaralah, yang telah gagal menjalankan tugas dan fungsinya dengan memuaskan. Semakin dahsyat angka-angka pemakai dan korban narkotika dan obat berbahaya ilegal yang ditampilkan BNN, semakin besar pula borok BNN itu sendiri yang sedang dipamerkannya di depan umum.

 

Argumen kedua adalah “yang salah pelaku”. Mengapa pencurian? Yang salah maling. Mengapa pembunuhan? Yang salah pembunuh. Mengapa korupsi? Yang salah koruptor. Argumen ini terdengar logis dan gamblang, tapi tidak menjawab pertanyaan lebih mendasar. Mengapa di suatu wilayah terjadi kejahatan lebih banyak daripada di wilayah lain? Potensi kejahatan ada di mana-mana, tapi tidak di semua tempat potensi kejahatan mewujud menjadi kejahatan nyata. Mengapa, misalnya, Indonesia, bukan Singapura, termasuk negeri paling banyak korupsi di dunia? 

Argumen “salah pelaku” membawa antara lain kepada sikap fatalistik atau nrimo yang negatif. Memang dia dari lahirnya begitu. Memang kampung itu sarang maling. Memang suku bangsa itu keturunan tukang bunuh. Memang orang Indonesia sifatnya suka korupsi. Labelisasi dan prasangka terhadap sifat-sifat primordial meluas dan mendalam. Setiap orang dinilai berdasarkan warna kulitnya, agamanya, asal daerahnya, bentuk matanya, logat bicaranya, dst.

Kedua argumen itu telah dipakai dengan sangat efektif oleh masyarakat yang menolak mengubah tradisi buruk dan oleh negara yang inkompeten. Kesimpulan BNN dan negara, bahwa pengedar narkotika dan obat berbahaya ilegal patut dan harus dimatikan sekarang, adalah kesimpulan yang sangat tidak adil karena secara moncolok mengabaikan pihak yang seharusnya paling bertanggungjawab dalam kegagalan negara dan aparatus negara menghambat dan mengurangi jumlah pemakai narkotika dan obat berbahaya ilegal. 

Negara buta, atau pura-pura membutakan diri, bahwa BNN itulah, negaralah, yang telah gagal menjalankan tugas dan fungsinya dengan memuaskan. Semakin dahsyat angka-angka pemakai dan korban narkotika dan obat berbahaya ilegal yang ditampilkan BNN, semakin besar pula borok BNN itu sendiri yang sedang dipamerkannya di depan umum.

Akan tetapi, kita tidak mendengar ada pejabat BNN yang mengaku telah gagal, yang mengundurkan diri dengan rasa malu. Kita tidak mendengar pejabat negara atau presiden berjanji akan memperbaiki kinerja BNN dan dirinya sendiri. Yang terdengar hanya: Hukuman setimpal! Salah mereka! Matikan! 

Tidak terdengar gugatan agar BNN mempertanggungjawabkan nirkinerjanya selama ini di depan DPR. Justru sebaliknya, dengan logika jumpalitan, BNN yang telah, berdasarkan data dan asumsinya sendiri, gagal total itu, mendadak menjadi pahlawan pembela orang muda dan masa depan bangsa, hanya dengan cara bertekad membunuh beberapa orang asing dan beberapa orang Indonesia sendiri. Sangat sukseslah kampanye BNN, sehingga dalam sekejap saja, banyak sekali orang Indonesia yang tiba-tiba merasa bahwa satu-satunya cara menyelesaikan masalah yang dibesar-besarkan BNN itu bukanlah dengan cara mereformasi dan kalau perlu mengganti pejabat dan petugas BNN yang telah terbukti melalui pemaparan mereka sendiri tidak becus itu dengan personel-personel yang handal, melainkan dengan cara mengirimkan nyawa beberapa manusia yang sudah tak berdaya ke akhirat.

Memang mati seolah-olah menyelesaikan masalah sesaat, tapi orang mati tidak pernah menyelesaikan masalah orang hidup dengan tuntas. Hanya pemimpi naif yang dengan serius dan jujur mengira bahwa hukuman mati membabibuta terhadap mereka yang telah dibuktikan adalah pengedar narkotika dan obat berbahaya ilegal oleh pengadilan Indonesia yang terkenal tidak adil itu akan membereskan masalah, sementara lembaga dan pejabat yang dimandatkan dengan wewenang dan anggaran berlimpah dibiarkan tanpa tanggungjawab.

Lagi pula, pada akhirnya, bukankah kita semua ingin hidup dalam ketenteraman dan kesehatan beramai-ramai dengan orang-orang hidup yang lain, bukan beristirahat dengan damai bersama-sama di alam kuburan?

 

Penulis adalah pengamat bahasa dan masalah sosial, tinggal di Jakarta


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home