Loading...
OPINI
Penulis: Alamsyah M. Djafar 00:00 WIB | Senin, 03 Oktober 2016

Masjid di Papua, Gereja di Jawa : Catatan Perkara Minoritas di Indonesia

Di Jayapura, Papua, hubungan harmonis antar-agama terpelihara baik. Apa penyebabnya?

SATUHARAPAN.COM - Suara azan itu terlempar dari pengeras suara masjid saat mobil yang kami tumpangi bakal mencium pelataran Hotel Sahid di Kota Jayapura. Masjid itu berdiri tak jauh dari hotel. Kubah dan pucuk menaranya terlihat dari halaman lobi hotel. Berdiri tegak membelakangi perbukitan yang sebagian badannya luka-luka lantaran dikeruk entah oleh siapa.  

Magrib di “Kota Kristen” ini rasanya tak beda dengan magrib-magrib saya di Depok Jawa Barat. Seperti umumnya di pulau Jawa yang mayoritas muslim, suara azan yang bersahut-sahutan menembus awan dan masuk ke rumah-rumah kita adalah bagian dari tradisi sehari-hari.

Di Jayapura masjid berdiri bersama ribuan gereja Kristen dan Katolik. Suguhan data Kementerian Agama Provinsi Papua menyebutkan lebih dari 140 masjid tersebar di Jayapura. Umat Islam di sini jumlahnya lebih dari 29 ribu, 26 persen dari total penduduk. Jumlah populasi terbesar umat Islam di antara wilayah-wilayah lain di sekujur tanah Papua. Kristen adalah agama mayoritas. Sebanyak 68 ribu jiwa, atau 76 persen dari total penduduk. 

Kota Toleran
“Menurut saya Kota Jayapura adalah contoh genial dari sebuah kota toleransi beragama yang bisa menjadi model bagi kota-kota lain yang bermasalah dengan intoleransi,” tulis Ridwan Al-Makassary dalam Damai Papua Damai Indonesia; Kumpulan Tulisan tentang Papua, Konflik, dan Perdamain. Ridwan aktivis Papua Peace and Development Action (PaPeDA) Institute, lembaga yang bergerak di isu-isu konflik dan perdamaian di tanah Papua. Lelaki yang juga mengajar di Universitas Sains Dan Teknologi Jayapura untuk Departemen Hubungan Internasional ini teman saya. Kami banyak beriteraksi saat ia masih jadi orang “Jakarta”. 

Mengapa Jayapura? Dibanding Kaimana dan Manokwari, Jayapura relatif “bersih” dari konflik dan kekerasan berbasis agama. Ini salah satu alasan Ridwan. Alasan lainnya hubungan antar tokoh agama relatif baik di kota berjuluk Hen Tecahi Yo Onomi T’mar Ni Hanased (Satu hati membangun kota demi kemuliaan tuhan) ini. Salah satunya melalui Forum Kerukunan Umat Beragama.
Seperti dibaca dari media, di beberapa tempat di luar kota Jayapura hubungan Islam-Kristen di Papua memang makin menegang. Setelah Tolikara diguncang kerusuhan tahun lalu, Maret silam ketegangan terjadi di Wamena Kabupaten Jayawijaya. 

Ketegangan Kristen-Islam
Ketegangan dipicu Pernyataan Persekutuan Gereja Gereja Jayawijaya (PGGJ) pada 25 Februari yang menolak pendirian Masjid Agung Baiturrahim. Dalam pernyataan itu ada bumbu informasi bahwa umat Islam bakal membangun masjid berlantai empat dengan menara setinggi 70 meter. Lebih tinggi dari patung Yesus Kristus yang berada di depan kantor kabupaten. Pernyataan beredar viral lewat pesan singkat dan media sosial.

Pernyataan itu aksi balasan terhadap pernyataan Forum Komunikasi Muslim Pegunungan Tengah Papua yang menyebut PGGJ organisasi ilegal. Mereka meminta polisi menangkap pendeta Kristen yang telah menandatangani pernyataan yang menyerukan pelarangan pembangunan masjid.

“Kalau masjid yang sudah mendapat izin ini dihentikan, kami akan ganti kopiah hitam ini dengan peci putih dan kita berperang,” kata Ustad Haji Kahar Yelipele Ketua Tanfidziyah Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama Kota Jayapura kepada saya.

Saya dan Ustad Kahar bicara sambal makan siang usai Workshop dan Konsultasi Publik Jaminan Kebebasan Beragama Berkeyakinan digelar Sabtu (17/9) di Hotel Sahid Jayapura. Ia salah satu peserta yang ikut kegiatan yang digelar atas kerjasama Wahid Foundation dan PaPeDA Institute. Dalam forum itu kami membicarakan isu-isu penting tersebut.

Dari Jakarta, kami datang bertiga. Saya, Muhammad Isnur dan Fatma Utami Jauharoh. Isnur pengacara publik dari Lembaga Bantuan Hukum Jakarta yang juga menangani isu-isu intoleransi dan pelanggaran kebebasan beragama berkeyakinan. Fatma Asisten Pelaksana Advokasi Wahid Foundation. 

Kembali ke soal penolakan masjid. Beruntung kesalahpemahaman bisa diatasi. Pertemuan akhirnya digelar demi menjernihkan kekeruhan masalah. Sejumlah pejabat hadir. Kapolda Papua Paulus Waterpauw, Panglima Kodam XVII/Cenderawasih Mayjen Hinsa Siburian, Ketua Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Papua Uskup Leo Laba Ladjar, Bupati Jayawijaya John Wempi Wetipo, Ketua Persekutuan Gereja Gereja Jayawijaya (PGGJ) Abraham Ungirwalu dan pemuka agama Kristen lainnya dan para pemimpin Muslim. Termasuk Ustad Kahar.

John Wempi Wetipo mengambil keputusan pembangunan masjid bakal terus jalan. Ia mengizinkan adanya renovasi bangunan dua lantai, bukan empat lantai. Ketegangan tak meledak jadi kekerasan dan konflik berdarah.

Mayoritas-Minoritas
Kasus masjid itu sebetulnya satu soal yang saya bicarakan denga Ustad Kahar. Hal lain yang kami obrolkan juga tentang NU di Jayapura. “Alhamdulillah Ustad, kami sudah melakukan kegiatan Lailatul Ijtima’ di lebih 140 masjid,” katanya dengan bangga. “Kami sudah beli tanah dekat sini. Semoga sebelum 2019 kami sudah bisa bangun kantor PCNU sendiri.” Ustad Kahar juga cerita soal masih dirasakannya kasus-kasus diskriminasi terhadap umat Islam Papua secara umum, khususnya dalam jabatan-jabatan publik.

Mendengar itu saya makin yakin jika perkara diskriminasi adalah soal ketimpangan antara relasi kekuasaan mayoritas atas minoritas terutama dalam hak-hak kewarganegaraan. Di Papua atau Sulawesi Utara bisa muslim minoritas. Di Jawa, bisa minoritas Kristen.

Inilah pentingnya sensitivitas dan perlindungan atas hak-hak minoritas. Logika yang disuarakan kelompok PGGJ yang menolak masjid di Wamena bukankah mirip dengan sebagian kelompok muslim yang menolak berdirinya gereja? Saya sering juga mendengar bumbu bahwa gereja-gereja itu merupakan gereja terbesar se-Asia Tenggara. Lantas mana yang paling besar jika beberapa gereja dianggap yang terbesar? 

Terus terang saya kurang setuju dengan pandangan yang tidak ingin menggunakan istilah mayoritas-minoritas. Bagi mereka, istilah ini bikin diskriminasi dan segreasi menguat. 

Pandangan itu bisa masuk akal jika dilihat perkara mayoritas-minortas sebagai perkara besar kecilnya jumlah kelompok tertentu. Tapi kurang tepat jika diniatkan untuk menyuarakan pentingnya melindungi yang rentan. Seperti kita setuju dengan perlindungan anak, perempuan, disabilitas, dan lain-lain.

Saya setuju pandangan Prof Dr Jamal al-Din Athiyah Muhammad pengarang Nahwa Fiqhin Jadidin lil Aqalliyat. Dalam buku yang sudah diterbitkan dalam Bahasa Indonesisa oleh Penerbit Marja Bandung tahun 2006 ini dengan judul Fiqh Baru bagi Kaum Minoritas ini ia menegaskan jika kerangka konsptual minoritas harus juga mempertimbangkan konteks besar-kecilnya kekuasaan yang ada. Kekuasaan mana yang lebih dominan dan mana yang tidak dan minor. 

Kekuasaan yang dominan sangat berpotensi melanggar hak-hak kelompok yang kecil. Jadi guru besar untuk hukum internasional dan peraturan perundang-undangan Fakultas Syariah dan kajian Islam di Universitas Qatar ini ingin menegaskan mayoritas-minoritas ini berkaitan dengan kekuasaan. Ia mewujud dalam politik, ekonomi, atau sosial. Di satu tempat bisa kalangan nonmuslim yang dilanggar hak-haknya, di tempat dan situasi lain bisa nonmuslim yang tertindas. Karena kerentanan hak-hak minoritas ini maka perlu jaminan perlindungan hak-hak mereka. 

Saya jadi ingat pernyataan KH Abdurrahman Wahid dalam sebuah forum. “Jika kita meindungi minoritas nonmuslim di negeri ini, sebetulnya kita juga sedang berjuang melindungi minoritas muslim di tempat lain.”

 

Penulis adalah Peneliti di Wahid Foundation

Editor : Trisno S Sutanto


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home