Loading...
MEDIA
Penulis: Eben E. Siadari 09:14 WIB | Selasa, 24 Mei 2016

Media Australia Temukan Kuburan Massal Tragedi 1965 di Pati

Media Australia  Temukan Kuburan Massal Tragedi 1965 di Pati
Jalan menuju kuburan massal korban Tragedi 1965 di Semarang (Foto: ABC News/Adam Harvey/Ari Wuryatama)
Media Australia  Temukan Kuburan Massal Tragedi 1965 di Pati
Radimin berdiri di atas lubang yang sedianya dipakai sebagai kuburan massal tetapi tidak jadi (Foto: ABC News/Adam Harvey/Ari Wuryatama)

SEMARANG, SATUHARAPAN.COM - Tantangan yang pernah dilontarkan Menkopolhukam, Luhut B. Pandjaitan, agar keluarga korban Tragedi 1965 memberikan bukti tentang adanya kuburan massal yang selama ini banyak dibicarakan, terus bersambut. Setelah sebelumnya beberapa kalangan mendatangani kantornya dan menyerahkan data tentang kuburan-kuburan tersebut, media internasional juga menyambutnya dengan melakukan penelusuran terhadap keberadaan makam dimaksud. Mereka mendatangi makam, mewawancarai saksi-saksi yang masih hidup dan menggali kembali rincian tragedi itu.

Media Australia, abc.net.au, dalam laporannya yang terbaru menemukan sebagian dari apa yang oleh para narasumber mereka disebut sebagai makam massal yang dipakai mengubur korban-korban pembantaian Tragedi 1965, karena mereka dituduh terlibat organisasi terlarang Partai Komunis Indonesia (PKI).

abc.net.au, mengunjungi dua lokasi di Jawa Tengah dan berbicara kepada orang-orang yang ingat apa yang terjadi di sana.

Yang menarik, menurut laporan abc.net. au, masyarakat di kota-kota yang mereka kunjungi itu, tidak lagi menganggap tabu membicarakan pembunuhan-pembunuhan yang semasa Orde Baru orang-orang sungkan mempercakapkannya. Mereka, menurut abc.net.au, bahkan telah mendirikan sebuah monumen untuk para tahanan yang dibawa ke sana, yang berasal dari penjara setempat dan kemudian dibunuh.

"Kaum komunis datang mengenakan penutup mata, dan tangan terikat satu sama lain," kata Sukar, salah seorang saksi mata yang masih hidup, bercerita.

"Saya mendengar tembakan senapan antara tengah malam dan pukul 1:00."

Keesokan paginya, ketika tentara telah pergi, kepala desa memintanya dan beberapa orang lain untuk membantu membersihkan tempat itu.

"Kami menemukan dua lubang diisi dengan jenazah-jenazah yang ditutupi dengan tanah tipis. Beberapa bagian tubuh mereka tidak tertutupi. Saya mengumpulkan jenazah-jenazah itu dan menguburkan mereka," kata dia.

Salah seorang dari korban yang dikuburkan itu adalah Sachroni, anggota kelompok petani setempat.

Sejak lima dekade terakhir, keponakannya yang kini berusia 80 tahun, Muchran, rutin pergi ke kuburan massal itu untuk berdoa bagi mereka yang dikuburkan di sana.

"Saya berdoa, sehingga kami yang masih hidup, akan memiliki berkat mereka. Kami berharap roh mereka tetap terjaga," kata dia.

"Saya ingin makam ini tetap diurus. Jangan terlantarkan mereka. Demi kemanusiaan. Mereka adalah orang-orang yang tidak bersalah," kata dia.

Media Australia itu juga mewawancarai Eko Sutikno, salah seorang tahanan 1965 ysng hampir saja terbunuh di hutan di Semarang.

"Ada empat orang dengan nama yang sama dengan saya, 'Tikno', dan malam itu, ketika mereka memanggil nama saya, seseorang berdiri di hadapan saya, dan saya menjawab 'itu saya Pak'," kata Sutikno menceritakan kepada abc.net. au.

"Dia menyadari bahwa sekali nama Anda disebut Anda tidak akan pernah kembali, tapi setelah penderitaan dan penyiksaan, ia menganggap lebih baik mati daripada terus hidup."

Dekat kota Pati, seorang warga bernama Radimin dipenjarakan dan kemudian dibawa ke hutan di mana lubang telah digali. Dia pikir dia akan dibunuh.

"Saya mengucapkan selamat tinggal kepada istri saya, ibu saya dan saudara-saudara saya sebelum saya pergi. Mereka semua menangis. Mereka pikir itu adalah ucapan selamat tinggal terakhir saya."

"Saya satu-satunya saksi yang tersisa sekarang '

Menurut abc.net.au, terdapat kesan yang kuat bahwa para pelaku pembantaian menggali lebih banyak lubang daripada yang mereka butuhkan. Radimin menunjukkan hal itu kepada abc.net.au, dan mengenang apa yang dilihatnya 50 tahun yang lalu.

"Setiap orang dipegangi oleh dua orang, mereka mencengkeram  kemeja mereka di bagian bahu, sampai ke tepi lubang," kata Radimin.

"Mereka melemparkan mereka ke dalam lubang, sementara penjaga lain mendorong bagian pinggang.

"Kemudian setelah mereka (tahanan) berada di dalam lubang, mereka (penjaga) menembaki mereka. Satu orang tetap hidup, bahkan setelah mereka menembaknya di kepala. Mereka menembaknya lagi, lalu menguburnya dengan tanah -... Begitulah cara dia meninggal," kisah Radimin.

Dikisahkan pula bahwa para pembunuh mengenakan seragam kuning dari milisi lokal bernama Pemuda Garuda Pancasila.

Radimin mengatakan ia masih tidak tahu  apa pelanggaran yang ia lakukan. Ia menduga karena ia tidak menaati perintah dari anak seorang tokoh daerah itu untuk bekerja di sawahnya.

Para korban termuda dan saksi pembunuhan itu sekarang berada di usia 70-an dan 80-an tahun.

Jika pemerintah serius ingin mendapatkan keterangan saksi-saksi ini, menurut abc.net.au, waktunya sangat sempit. Karena satu per satu saksi itu telah berpualng karena tua.

"Hanya  saya dan Sarimin yang membantu menguburkan mereka," kata Sukar.

"Tapi Sarimin sudah lama meninggal, saya satu-satunya saksi yang tersisa sekarang," kata dia lagi.

Di kalangan pemerintah sendiri, rencana penggalian kuburan massal telah menjadi polemik. Menkopolhukam Luhut B. Pandjaitan mengatakan rencana penggalian dan pencarian data kuburan massal itu adalah kebijakan pemerintah dan perintah presiden. Sedangkan Menteri Pertahanan, Ryamizard Ryacudu menganggap hal itu tidak perlu dlakukan.

Editor : Eben E. Siadari


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home