Loading...
INDONESIA
Penulis: Febriana Dyah Hardiyanti 18:27 WIB | Kamis, 26 Mei 2016

Media Harus Jadi Garda Depan Lawan Radikalisme dan Terorisme

Media Harus Jadi Garda Depan Lawan Radikalisme dan Terorisme
Mantan pelatih teroris sekaligus mantan ahli pembuat bom, Ali Fauzi Manzi, saat menjadi narasumber dalam Short Course “Penguatan Perspektif Korban dalam Peliputan Isu Terorisme bagi Insan Media” dan didampingioleh salah satu penyintas teror bom Hotel JW Marriot Jakarta, Vivi Normasari, hari Rabu (25/5) malam. (Foto: Febriana DH)
Media Harus Jadi Garda Depan Lawan Radikalisme dan Terorisme

JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Mantan pelatih teroris sekaligus mantan ahli pembuat bom, Ali Fauzi Manzi, berharap media dapat menjadi garda depan pemberantasan radikalisme dan terorisme di Indonesia.

Hal itu diungkapkannya dalam Short Course “Penguatan Perspektif Korban dalam Peliputan Isu Terorisme bagi Insan Media” yang diselenggarakan oleh Aliansi Indonesia Damai (AIDA) dan Yayasan Penyintas Indonesia (YPI) di Jakarta, hari Rabu (25/5) malam.

Ali yang merupakan alumni Akademi Militer dari kelompok pemberontak Islamis terbesar di Filipina Selatan, yakni Front Pembela Islam Moro (Moro Islamic Liberation Front/MILF) mengajak seluruh peserta yang merupakan perwakilan dari beberapa media di Indonesia untuk bersama-sama memerangi kejahatan terorisme.

“Ini merupakan tugas kita semua dalam memerangi aksi-aksi terror,” katanya.

Ali juga mengungkapkan bahwa sosoknya yang dulu pro terhadap aksi terorisme, kini telah berubah haluan dan bertobat.

“Bukan hanya berhenti, tapi kini saya sungguh menentang aksi terorisme,” katanya.

Ali dalam sesinya sebagai narasumber sedikit berbagi kisah-kisah lalunya yang berhubungan dengan aksi terorisme.

“Dahulu saya merupakan ahli pembuat bom dan pelatih teroris. Semua itu berawal  ketika saya berusia 18 tahun di Malaysia lalu di Filipina. Selama tiga tahun, saya dibina secara intensif dengan kaidah-kaidah mereka. Pertemanan dan doktrin yang mendorong saya saat itu untuk bersimpati dan berempati. Hal itu juga yang pada akhirnya mengantarkan saya untuk dipercaya menganut ideologi mereka,” ujar Ali.

Ia menyatakan perasaannya kala itu ketika telah bertobat.

“Hati saya seperti teriris-iris dan sampai tidak bisa tidur ketika melihat ada Tragedi Bom Bali 1. Saya tak percaya bahwa sampai ada yang mengebom Bali dengan bom seberat 1 ton 125 kilogram. Awalnya saya merasa malu dan takut ketika bertobat, karena banyak yang mencibir, membenci, menghina, bahkan meneror saya. Namun, ketika waktu itu saya dipulangkan dengan keadaan sakit parah dari Filipina ke Indonesia, dan menerima perlakuan yang manusiawi oleh aparat polisi, hati saya mulai terketuk. Apalagi ketika saya sudah berhasil sembuh dan mengambil kuliah lagi, dosen saya juga sangat sabar kepada saya. Dan yang menjadi puncak kesadaran saya adalah ketika menemui para penyintas atau korban aksi terorisme yang tergabung  dalam YPI. Dari situlah saya mau menerima bahkan mencintai perbedaan,” kata Ali.

Ali alias Salman, alias Abu Ridho itu mengungkapkan rasa terima kasihnya kepada YPI yang sedari awal pertemuan beberapa tahun yang lalu mau menerima dan memaafkannya.

“Terima kasih kawan-kawan penyintas tragedi bom yang sudah membuat saya hidup kembali. Saya lega dan terharu telah dimaafkan dan diterima. Terima kasih,” tutur Ali.

YPI bersama AIDA menggandeng para mantan pelaku teror bom dan para penyintas di Indonesia untuk bersatu padu dalam Tim Perdamaian melakukan aksi sosialisasi dalam rangka mencegah terorisme dan radikalisme.


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home