Loading...
OPINI
Penulis: Rainy MP Hutabarat 00:00 WIB | Senin, 01 Juni 2015

Media Sosial dan Gerakan Ekumene

SATUHARAPAN.COM – Ketika Marshall McLuhan  menyebut planet bumi  sebagai desa dunia, sesungguhnya ia tengah berbicara ihwal jenis revolusi yang dihasilkan kemajuan  pesat teknologi informasi dan komunikasi (TIK).  Dengan istilah itu McLuhan menunjukkan  a borderless world:  dunia yang menjadi  “telanjang” dalam luapan informasi dan terhubung secara massif dan real time

Dua dasawarsa kemudian, Manuel Castells menyebut  masyarakat dunia sebagai masyarakat berjejaring. Masyarakat berjejaring  yang terdiri dari netizen dan komunitas-komunitas virtual yang saling berinteraksi, berbagi, dan berkomunikasi. Integrasi teknologi digital dan internet yang populer dengan istilah kompunikasi, sebagaimana tampak bentuk gawai (gadget), telah menciptakan dunia tanpa waktu dengan ruang tersendiri (cyberspace), dengan realitasnya  (realitas virtual dan atau hiperealitas),  komunitasnya (virtual community) plus budaya  virtualitas nyata  (real virtuality). Keterjalinan  realitas riil dengan  realitas virtual telah menciptakan  realitas virtual  riil. 

Dalam realitas virtual riil, yang muncul bukan hanya  citra-citra atau tontonan, melainkan yang riil adalah juga  yang maya.  Sebagian kegiatan sosial kini berlangsung di dunia maya, tak lagi di dunia riil. Transaksi bisnis (dagang-e), kampanye politik, petisi, kuis, pertemuan-diskusi, pertemuan, konseling, dan lain-lain adalah beberapa contoh.   Kini memisahkan secara tajam antara yang riil dengan yang virtual semakin tidak relevan.

Salah satu hal terpenting dari internet adalah diperluasnya ruang publik dari yang riil ke yang virtual. Ruang publik, menurut Juergen Habermas, adalah arena tempat setiap individu berhak bersuara, berdialog, atau berpartisipasi secara demokratis dalam proses komunikasi,   tanpa tekanan atau paksaan dari individu lain atau diarahkan oleh suatu kekuasaan untuk  kesepakatan pragmatis. Dalam ruang publik sedemikian, martabat dan eksistensi diakui, juga dikukuhkan. 

Bertolak dari definisi ini, media sosial dalam jaringan internet dapat disebut sebagai ruang publik baru. Sifat-sifat media sosial memenuhi kriteria ruang publik: kebebasan berekskpresi, komunikasi yang dialogis, berbagi atau bertukar gagasan secara   demokratis, dan kesetaraan. Diskursus dalam media sosial kerap tanpa harus ada solusi pragmatis atau kesepakatan. Sifat-sifat ini kemudian diadopsi  oleh media daring, majalah atau  suratkabar elektronik. 

Melalui media sosial orang per orang tak hanya berjejaring atau saling terhubung – sebab fenomena berjejaring dan terhubung sudah berlangsung sejak zaman baheula dan bukan merupakan hal baru di era internet – melainkan juga membentuk komunitas virtual. Seberapa luas komunitas virtual ini? Ada jutaan komunitas virtual dan netizen bisa terdaftar sebagai anggota beberapa komunitas virtual sekaligus. 

Fakta memperlihatkan, jumlah pengguna media sosial di dunia terus meningkat. Menurut WeAreSocial Singapore < http://wearesocial.sg/> pada 2014 tercatat  2,5 miliar pengguna internet dan 1,86 miliar pengguna aktif media sosial di seluruh dunia. Sebuah sumber mencatat, per Januari 2015 Facebook merupakan  situs media sosial dengan jumlah pengguna terbanyak di dunia: 1.366 milyar.   WhatsApp  di peringkat ke 4  sebanyak 600 juta pengguna, instagram 300 juta di peringkat ke-9 (300 juta), disusul  twitter di peringkat ke-10 (283 juta). Dilihat dari  interaksi, sebagai situs media sosial terbesar Facebook memiliki tingkat sangat tinggi. Informasi Mark Zuckerberg  yang disiarkan per  29 Januari 2015 mencatat 7 milyar likes di Facebook, lebih dari 1 milyar pencarian (search), dan 30 milyar komentar setiap harinya pada  2014. 

Angka-angka ini menunjukkan, sekitar 2,5 milyar pengguna internet, atau 1,86 miliar pengguna aktif media sosial di dunia, juga terdaftar sebagai anggota komunitas virtual. Melalui  media sosial, mereka berpartisipasi di ruang publik virtual  untuk hal-hal yang bersifat politis, ekonomi, kultural, maupun religius.  Artinya, sebagian aktivitas hidup berlangsung di internet,  juga kehidupan sosial  melalui komunitas-komunitas virtual yang kerap merangkap komunitas riil, lewat "kopi darat".  Dengan media baru dalam format ponsel dan gawai orang bisa menonton TV, selain berkomunikasi. Di Indonaesia sendiri hingga  Juni 2014 pengguna Facebook sudah mencapai angka 69 juta dan  Twitter 50 juta anggota. 

 

Dibutuhkan Pengguna Yang Sadar

Ekumene akar katanya adalah oikos dan nomos.  Oikos artinya rumah dalam arti dunia sebagai tempat tinggal dan nomos (menein) berarti satu. Jadi oikoumene adalah dunia yang  satu sebagai tempat tinggal bersama. 

Jika dihubungkan dengan media sosial, ekumene dalam arti dunia yang satu sebagai rumah tempat tinggal bersama adalah dua hal yang sejalan dan saling menopang. Media sosial menghubungkan, membangun jejaring dan membentuk komunitas.  Sifat dunia  maya yang tanpa ruang dan waktu juga   memupuk perasaan sebagai warga global tanpa sekat. Yang disebut identitas sosial riil menjadi kabur, sebab ruang virtual menyediakan konsep anonimitas.  

Jika dilihat dari data pengguna media sosial, menjadi anggota dalam ruang publik media sosial telah menjadi salah satu  ciri warga dunia abad ini sehingga kita tak lagi cukup semata berbicara tentang realitas sosial riil.   Dengan keanggotaan ini seseorang sekaligus menjadi anggota masyarakat riil dan komunitas-komunitas virtual yang terhubung dan berinteraksi dengan ribuan warga lain di berbagai wilayah atau belahan  dunia tanpa  ruang dan  waktu.   

Media sosial sebagai ruang publik an sich memang  dirancang dengan konsep kehidupan sosial manusia: terhubung, interaktif, atau komunikatif. Hubungan dan interaksi bersifat  partisipatif, egaliter dan demokratis.  Karena itulah media sosial bisa dikatakan  menggerakkan ekumene, dan dalam arti tertentu sebagai wujud ekumene, sebab dalam ruang ekumenis perbedaan dan keragaman adalah raison d’etre, kesetaraan dirayakan, dan partisipasi serta kebersamaan adalah gerakannya.  Ekumene sejatinya adalah sebuah desa global. 

Sebagai ruang publik, komunikasi  dan partisipasi dalam media sosial tak hanya berbentuk diskursus, dialog,  narasi, berbagi  informasi dan kisah,  atau citra,  tetapi juga  dukungan, konsultasi,  dan solidaritas. Petisi dan pengumpulan sumbangan uang adalah  contohnya. Kekuatan utama media sosial adalah, setiap orang merupakan sumber informasi dan sekaligus peserta komunikasi yang setara. Siapa pun yang mencoba memakai  kekuasaan yang hegemonik akan dimusuhi atau diejek-ejek  oleh warga media sosial. Ekumene sebagai sebuah ruang sosial memang ditandai oleh partisipasi dan gerakan  dengan prinsip-prinsip egaliter dan demokratis.   

Dalam arti ini, media sosial selaku  ruang publik bekerja mengerakkan dunia sebagai oikoumene. Namun, untuk  menjadi instrumen oikoumene, dibutuhkan pengguna yang sadar dan paham akan kekuatan dan manfaatnya. Justru di sinilah masalahnya.  Pertama, pertanyaannya adalah,   apakah gereja-gereja sudah memanfaatkan internet, khususnya media sosial, untuk memperkuat gerakan ekumene. Sulit untuk tidak mengatakan,  sebagian besar gereja masih  bersikap cuek-bebek terhadap peluang besar yang ditawarkan  teknologi komunikasi dan informasi, pun terhadap berbagai dampaknya. 

Kehadiran TIK diakui, namun lebih diperlalukan   sekadar pelengkap, bukan  sarana yang telah ikut memengaruhi  kehidupan ekonomi, politik, agama, dan budaya bahkan eksistensi manusia dan komunitas. Media sosial lebih dilihat sebagai tempat mengisi waktu senggang, bukan sebuah dunia yang dihidupi bersama oleh para pegiatnya di seluruh jagat.  Milyaran orang berinteraksi di sana setiap hari, jelas bukan jumlah yang sedikit, apalagi angka-angkanya terus meningkat setiap hari. Ribuan komunitas virtual terbentuk, entah berbasis minat, daerah asal, afiliasi politik, profesi, gereja, dan seterusnya. Kalangan bisnis dan politisi jauh lebih paham manfaat ruang publik yang terbuka luas tanpa jeda   ketimbang pekerja gereja. Cobalah simak situs web atau  blog yang dikelola gereja-gereja dan  postingan para pekerja gereja. 

Kedua, bagaimana pengguna media sosial, termasuk pekerja gereja, memanfaatkannya dalam kehidupan sehari-hari? Hanya untuk membunuh waktu dan bersenang-senang (leisure) antara lain dengan  selfie seraya  wisata (kuliner)? Munculnya istilah selfie mengindikasikan salah satu kecenderungan pemanfaatan media sosial.   

Media sosial an sich memang dirancang sebangun dengan semangat ekumenis. Media sosial itu  sendiri ruang virtual ekumenis. Tinggal bagaimana penggunanya menghidupkan media sosial untuk gerakan ekumenis.

 

Penulis adalah pemerhati media, bekerja di YAKOMA-PGI 


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home