Loading...
EDITORIAL
Penulis: Redaksi Editorial 15:09 WIB | Jumat, 27 Februari 2015

Melengserkan Ahok atau (Justru) DPRD Jakarta

Sejak awal, Gubernur Jakarta, Basuki Tjahja Purnama digoyang dengan argumentasi yang tidak berdasarkan kinerja pemerintah, seperti oleh masa yang berdemo p[ada Jumat (30/10) tahun lalu. (Foto: dok.satuharapan.com)

SATUHARAPAN.COM – Konflik antara Gubernur Jakarta, Basuki Tjahja Purnama dan DPRD, di mana dewan bermaksud memecatnya, merupakan situasi riil yang menunjukkan praktik politik tanpa prinsip dan politik kotor, setidaknya pantas dicurigai demikian.

Begitu menjijikkannya politik tanpa prinsip sampai tokoh kemerdekaan India dan pelopor gerakan tanpa kekerasan, Mahatma Gandhi, menyebut hal itu sebagai salah satu dosa sosial.

Di mana kotornya praktik politik ini, terlihat ketika DPRD DKI Jakarta menyetujui usulan hak angket terhadap Gubernur yang ditandatangani oleh 106 anggota. Namun sejumlah media menyebutkan anggota Dewan tidak memahami tentang hak angket dan juga hak interpelasi.

Lebih dari itu, penyelidikan sendiri belum dilakukan, apalagi hasilnya, namun arah yang dituju sudah begitu vulgar, pemecatan Gubernur. Jikapun yang dimaksud dengan hak interpelasi, pertanyaan belum diajukan dan tentu belum ada jawaban, dan arahnya sudah sangat konkret pada pemecatan.

Dengan kata lain, proses dan jalan boleh dicari atau diadakan, tapi tujuannya adalah Ahok, demikian dia biasa juga dipanggil, dipecat. Sebelumnya sasaran itu pada Jokowi.  Ini adalah politik yang menghalalkan segala cara, bentuk pengungkapan lain yang sama dengan politik kotor.

Motif ini didorong oleh sejumlah pihak yang selama ini mendapatkan keuntungan dari pemerintahan yang buruk, dan mereka merasa kehilangan ketika pemerintahan dijalankan dengan akuntabilitas dan terukur untuk kepentingan rakyat. Mereka yang kehilangan ‘’projek’’ telah mendorong kekuatan untuk menggulingkan pemerintahan ini.

Politik kotor ini memang sudah lama dijalankan di Jakarta, sejak Joko Widodo menjadi Gubernur Ibu Kota. Jika, politik kotor dipraktikkan, maka siapa pun, pejabat di daerah mana pun di Indonesia, akan ‘’di-Ahok-kan,’’ selama dia bekerja untuk kepentingan rakyat, bukan kepentingan elite.

Selidiki Anggota Dewan

Pemicu konflik kali ini, adalah soal anggaran (APBD) di mana Ahok kurang memperhatikan draft yang diajukan DPRD. Padahal dewan memiliki hak budget dan terlibat dalam penyusunan anggaran. Di sisi lain, Pemerintah DKI Jakarta menerapkan e-budgeting untuk transparansi anggaran, namun ditolak oleh DPRD.

Dua hal itu yang menjadi alasan bagi DPRD bahwa Ahok melanggar prosedur dan mengabaikan DPRD sebagai representasi rakyat. Dalam kaca mata politik pemerintahan, Ahok bisa dikatakan melakukan abuse of power.

Namun ketika alasan Ahok diungkap, bahwa dalam draft APBD yang diajukan DPRD itu ditemukan oleh Gubernur dan BPKP (Badan Pemeriksa Keuangan Pembangunan) adanya dana siluman sebesar Rp 12,1 triliun. Penolakan e-budgeting juga mengesankan bahwa Dewan ‘’alergi’’ pada tranparansi anggaran.

Dengan diungkapkannya hal itu saja sebenarnya sudah cukup untuk melihat dengan jernih bahwa penyelidikan sebenarnya lebih tepat ditujukan pada politisi di Dewan, dan bukan gubernur. Alasannya,indikasi adanya  abuse of power justru pada Dewan yang memasukkan anggaran siluman, dan berencana memecat gubernur tanpa melihat bahwa gubernur dipilih langsung oleh rakyat.

Harus diingat bahwa anatomi korupsi di Indonesia, terutama yang melibatkan pemerintahan, telah dimulai pada perencanaan anggaran. Hal ini terlihat pada kasus BLBI, Hambalang, projek pembangunan fasilitas olah raga lain, juga kasus korupsi di sejumlah kementerian. Dan karenannya patut diduga terjadi pada anggaran DKI Jakarta.

Jadi, masalahnya sangat kuat ke arah inidkasi ada pihak yang tidak menghendaki perencanaan dan pelaksanaan anggaran yang transparan, dan patut dicurigai ada motif membonceng kepentingan pribadi dengan uang rakyat.

Menelikung Reformasi

Konflik ini sudah jelas sebagai fenomena menelikung agenda reformasi Indonesia. Perubahan yang telah dibayar mahal oleh rakyat, namun dirampok oleh politisi yang mungkin tidak ‘’berkeringat’’ semasa reformasi. Padahal rakyat mengharapkan pemerintahan yang bersih (bebas korupsi, kolusi dan nepotisme), akuntabel, kedaulatan pada rakyat melalui demokrasi, dan supremasi hukum.

Oleh karena itu, lebih masuk akal ketika masyarakat sipil Jakarta justru bangkit untuk menolak DPRD atau sejumlah anggota DPRD yang terindikasi melakukan abuse of power dalam perseteruan ini. Ini bukan untuk membela Ahok, tetapi membela pemerintahan yang akuntabel dan bersih.

Yang lebih memprihatinkan adalah bahwa perilaku politik kotor ini dipertontonkan tanpa rasa malu dengan berdalih pada prosedur dan melupakan substansi. Padahal prosedur yang ditetapkan dengan peraturan perundang-undangan itu didedikasikan untuk menjaga substansi, moralitas dan etika.

Perseteruan di Jakarta ini, sungguh bahaya yang konkret dalam membangun akuntabilitas pemerintahan yang melayani kepentingan seluruh rakyat dan bersih. Sebab, arahnya adalah terciptanya pemerintahan oleh dan untuk kepentingan elite yang sama artinya dengan kembali kepada otoritarian dan rakyat kehilangan kedaulatan.

Kasus serupa Ahok terjadi di banyak daerah, di mana kepala daerah yang bekerja untuk pemerintahan yang baik terus dirongrong oleh politik tanpa prinsip dan kotor. Pemerintah daerah yang relatif aman, justru memiliki kecenderungan telah terjerumus pada kolusi dengan dewan. Dan bukti tentang ini dalah banyaknya pejabat daerah terlibat perkara hukum, sebagian besar kasus korupsi.

Rakyat Jakarta, semestinya lebih cerdas ketimbang rakyat daerah lain. Rakyat Jakarta juga pantas mengambil tanggung jawab dan menjadi garda depan membangun pemerintahan yang bersih. Jika gagasan pemerintahan yang transparan dan bersih digagalkan oleh politik kotor, itu pertanda Indonesia bakal kembali pada pemerintahan otoritarian yang korup dan jahat.


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home