Loading...
OPINI
Penulis: Weilin Han 00:00 WIB | Senin, 18 Mei 2015

Melihat Rumput Hijau di Negeri Sendiri

SATUHARAPAN.COM – Sebuah hukuman mati yang terjadi beberapa waktu yang lalu telah membelah masyarakat kita. Sebuah bencana jatuhnya pesawat di bulan Desember 2014 telah menyatukan hati kita. Keduanya telah meramaikan media sosial dan mendapatkan perhatian besar bahkan menjadi “trending topic” untuk beberapa lama. Sementara itu, di bulan Mei ini ada dua buah hari bersejarah, yang satu sudah lewat dan yang lainnya sedang menjelang. Mungkin bagi beberapa orang, pertanyaan-pertanyaan ini muncul di benak mereka: “Ehm? Emang apa aja? Hari Libur bukan? Oh? Hari Pendidikan Nasional dan Hari Kebangkitan Nasional? Itu kan hari upacaranya murid-murid dan para pegawai negeri”. Rasanya sih tidak begitu menjadi “trending topic”. Ga seru-seru amat, kok”.

Memang, kedua hari itu tidak perlu juga diperingati secara “seru”, apalagi, bila yang “seru” itu menjadi “trending topic”  yang sekedar muncul, ramai dibicarakan, kemudian hilang karena dianggap sudah tidak relevan lagi. Kedua hari bersejarah itu juga tidak perlu diperingati dengan kepura-puraan cantik yang hanya bersifat kosmetik seperti parade busana daerah yang dilakukan di setiap Hari Kartini, tanpa ada pemaknaan mendalam terhadap perjuangan yang dilakukan. 

Peringatan Hari Pendidikan Nasional yang ditetapkan setiap tanggal 2 Mei diambil dari hari lahirnya Ki Hajar Dewantara (KHD), yang aslinya bersama Soewardi Soerjaningrat Pada usianya ke-33 Belanda menangkapnya bukan karena KHD seorang Bandar narkoba. Sebaliknya, karena tulisannya telah sangat meresahkan penjajah. Di tahun 1922 KHD juga melakukan sesuatu yang “nekad” – Beliau mendirikan sekolah (cikal bakal Taman Siswa), masih pada waktu jaman penjajahan, dan sekolah itu ditujukan untuk mendidik anak-anak bangsa melawan penjajah. Tidak heran bila sekolahnya kemudian dianggap liar dan diancam ditutup. 

Hanya enam tahun kemudian, di tahun 1928, KHD, bersama dengan teman-teman lainnya, berhasil membuat “trending topic” lagi dengan berkumpul dan mematangkan gagasan mengenai Indonesia. Sebuah pertemuan “liar” dan “subversive” bukan karena mereka sedang mendirikan organisasi teroris yang mehancurkan, atau mengkafirkan keberagaman. Sebaliknya, beberapa pemuda ini ditakuti karena menyatukan keberagaman menjadi kekuatan bersama. Di usianya yang menjelang 40 tahun, KHD punya andil besar dalam menggagas sebuah Negara Kesatuan, yang kemudian bernama Indonesia. Kongres Pemoeda Boedi Oetomo di tahun 1928 itu kita peringati sebagai Hari Kebangkitan Nasional. 

Ketika nama para “dewa” pendidikan seperti Dewey, Freire, Bruner dan Gatto dibahas di kelas-kelas Fakultas Pendidikan, sementara ahli-ahli dan komentator pendidikan merujuk pada keberhasilan pendidikan di beberapa Negara lain, dan sekolah-sekolah berlomba menjual diri dengan label kurikulum berwawasan luar negeri, betapa tersingkirnya nilai-nilai yang pernah ditulis KHD, seakan-akan apa yang pernah ditulisnya begitu usang. Apakah ada perilaku lain yang lebih tinggi dari “Ing Ngarso sung Tulodo” yang begitu kita harapkan sekarang ini? Apakah istilah “resilience” lebih gaya dan bergengsi dibandingkan “kendel” yang dilantangkan KHD pada waktu itu?

Ketika negeri dengan salah satu garis pantai terpanjang di dunia, dan Negara kepulauan terbesar di jagad ini masih mengimpor garam, perlukah para anggota DPR yang meminta gedungnya diperbaiki membuat timsus dan kajian ilmiah lagi kenapa kita tidak bisa memproduksi garam sendiri? Ketika hutan tropis Indonesia yang diakui sebagai paru-paru dunia mendapat perhatian bahkan dari para selebritas dunia, bijakkah para Gubernur memberikan konsesi perubahan lahan menjadi perkebunan sawit alih-alih fulus dollar yang tinggi dan dengan dalih kesejahteraan ekonomi? Ketika jelas secara fakta dan logika negeri ini bukan penghasil gandum, dan itu artinya setiap kali kita mengkonsumsi makanan yang mengandung terigu kita sudah menghabiskan devisa negara, mengapa belum terdengar kebijakan yang menghentikan terigu? Dan himbauan mengkonsumsi produk lokal demi ketahanan pangan hanya menjadi slogan tak berdaya?

Ah, mungkin sudah terlalu lama kita menjadi pengikut aliran “trending topic”. Kita sudah terbiasa pada tataran “meramaikan pembicaraan”, melontarkan “topik” baru, atau menjadi komentator yang handal. Seringkali juga pembicaraan yang kita buat, ikuti dan ramaikan adalah pembicaraan yang menginjak-injak rumput di rumah sendiri, tanpa berusaha turun tangan memperbaiki. Dan memang, pepatah menjadi komentator sepakbola jauh lebih mudah dibandingkan dengan bermain bola itu sendiri sangat benar adanya.

Negeri ini perlu menghidupi Kebangkitan Nasional dengan melihat pada rumput yang ada di rumah sendiri. Saya mencari pelaku “tulodo”. Anda?

 

Penulis adalah praktisi Pendidikan

 

BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home