Loading...
OPINI
Penulis: Jacky Manuputty 00:00 WIB | Kamis, 10 April 2014

Memandang Rumah Indonesia Dari Jendela Timur: Lima Catatan

SATUHARAPAN.COM - Memandang Indonesia dari Timur, pertama-tama kita perlu membongkar pelabelan-pelabelan yang mungkin saja keliru untuk memaknai wilayah bagian timur ini. Bagian timur Indonesia dalam perkembangannya belakangan ini diidentikan dengan keterpurukan, kemiskinan dan keterbelakangan. Identifikasi demikian tak sepenuhnya keliru, bila kita meneliti indeks kemiskinan di wilayah ini. Namun, bagi kami di timur, pandangan ini tidaklah lengkap kalau harus dipakai sebagai  jendela tunggal untuk memotret bagian Timur Indonesia.

Hal di atas perlu untuk diggaris-bawahi, karena saya semakin mencurigai kecenderungan politisasi jargon-jargon kemiskinan dan keterpurukan dalam proses penundukan yang sangat manipulatif. Anda miskin, bodoh, terpuruk, separatis adalah imaji-imaji yang dibenturkan terus menerus untuk kurun waktu yang panjang dan berakibat pada hancurnya identitas. Alih-alih menjadi orang merdeka, maka Anda ditundukkan untuk menerima saja apapun yang diberikan. Ironisnya, otoritas penentuan kesejahteraan justru dipegang oleh para pemilik kuasa dan modal, bukan oleh masyarakat ‘korban’.

Inilah yang cenderung terjadi selama ini pada kami di timur Indonesia, dan yang sedang kami bongkar sebagai salah satu cara kami memaknai Indonesia. Indonesia sebagai tempat di mana orang-orang bagian timur telah dikalahkan sejak dalam pikiran, melalui label-label kemiskinan, keterpurukan dan kebodohan. Ini catatan pertama.

Kita memang perlu penyamaan persepsi untuk bicara tentang Indonesia dan cara meng-Indonesia. Rata-rata kami di bagian timur Indonesia terlahir di atas kekayaan alam dan budaya yang berlimpah.  Fakta ini merupakan fenomena wilayah-wilayah bagian Timur Indonesia yang sering dinafikan ketika kita menghitung angka-angka ideks kemiskinan dan keterpurukan.

Pada posisi ini, kami di bagian timur Indonesia sesungguhnya menolak label kemiskinan yang diidentikkan kepada kami. Kami lebih memilih untuk mengidentikkan diri bukan sebagai “orang-orang kalah”, tetapi dipaksa kalah di atas kekayaan hayati lingkungannya. Realitas ini bisa ditemukan bila kita dengan cermat memperhatikan sekian banyak manipulasi kebijakan yang sementara menghancurkan kedaulatan hayati masyarakat di Timur Indonesia.

Salah satu contoh yang paling mengemuka saat ini adalah persoalan perampokan kedaulatan hayati masyarakat adat Kepulauan Aru di Maluku atas nama peningkatan kesejahteraan yang, ironisnya, ditentukan melalui rencana konversi ratusan ribu hektar hutan perawannya menjadi perkebunan tebu skala besar.  Ini catatan kedua yang kami pahami dari timur tentang Indonesia. Kalau pada jaman penjajahan, penundukan masyarakat adat untuk melepaskan hak-hak ulayatnya bagi penjajah dilakukan melalui penggunaaan kekerasan dan tekanan fisik. Pada masa kini di Indonesia, praktik penundukan dan perampokan hak-hak ulayat rakyat dilakukan melalui manipulasi jargon-jargon kemiskinan dan kesejahteraan, serta manipulasi tatanan hukum dan aturan-aturan yang menguntungkan penguasa dan pengusaha.

Realitas yang kami kemukakan di atas pada gilirannya mendorong kami untuk melihat Indonesia sebagai Negara yang mempraktikkan demokrasi secara paradoks. Di satu sisi, kami disuguhi keberhasilan tatanan demokrasi procedural yang, di antaranya, dicapai melalui penyelenggaraan pemilihan umum secara langsung. Mirisnya, pada pihak lain, komunitas-komunitas marjinal tak dijamin hak-hak mereka untuk berpartisipasi untuk menentukan apa yang baik bagi dirinya Mereka bahkan hampir tak memiliki kebebasan untuk menggunakan kekayaan milik mereka guna membangun masa depannya yang bermartabat.

Apa yang kini terjadi di Kepulauan Aru adalah potret telanjang tentang fakta ini. Sampai saat ini kami masih berpendapat bahwa Indonesia belum berhasil untuk membangun kehidupan demokrasi yang berkeadaban. Menurunnya toleransi, berkembangnya korupsi, menguatnya ketidak-pastian hukum dan pelaksanaannya mendorong kami untuk turut mengamini bahwa Indonesia adalah Negara demokrasi tanpa spirit demokrasi. Ini catatan kami ketiga tentang Indonesia

Konstruksi kerapuhan dan keroposnya negeri ini menghadapkan kita pada realitas semakin kaburnya identitas kita sebagai orang-orang yang tinggal dalam sebuah kesatuan wilayah yang bernama Indonesia. Dalam kondisi di atas, kontestasi identitas sering berkembang menjadi konflik yang panjang dan berdarah-darah. Celakanya, ketika sekian banyak identitas tak memberi rasa nyaman dalam sebuah ruang transaksi sosial maka identitas agama akan mengemuka sebagai benteng pertahanan terakhir, sekaligus dipakai sebagai menjadi senjata untuk saling menyerang. Konflik di Maluku 1999-2003 dapat dimengerti sebagai konflik pertarungan identitas, yang kebetulan memakai agama sebagai kendaraannya. Apa yang bisa kita katakan sebagai catatan ke-empat dari timur dalam upaya memaknai Indonesia adalah bahwa negeri ini masih berada dalam proses menjadi sebagai bangsa. Ini catatan keempat.

Menentukan pilihan dan model pembangunan ke depan adalah catatan kelima untuk memaknai Indonesia dari timur. Kami di bagian timur masih masih berpendapat bahwa pembangunan Indonesia terkonsentrasi di barat (Jawa dan Sumatera). Pilihan model pembangunan maritim yang seharusnya menjadi karakter banyak wilayah di Indonesia bagian timur terasa jauh dari harapan. Sumber daya kelautan yang sangat besar di wilayah timur lebih menjadi ajang bagi illegal fishing ketimbang dipakai untuk mensejahterakan masyarakat di wilayah ini.

Tuntutan UU Khusus Wilayah Kepulauan merupakan pilihan menentukan yang bisa mengukur seberapa serius wilayah timur dipedulikan. Sayangnya realisasi terhadap tawaran ini masih terus menerus mangalami tarik ulur selama bertahun-tahuan antara pemerintah pusat dengan DPR-RI. Pada saat bersamaan kami menyaksikan dengan marah bagaimana pemerintah bersepakat membangun jembatan Selat Sunda untuk menghubungkan Pulau Jawa dan Sumatera. Alokasi anggaran sebesar lebih kurang 250 trilyun bagi pembangunan jembatan itu sungguh terasa menohok bagi kami di wilayah timur yang setiap saat bergelut dengan terbatasnya sarana transportasi laut dan jembatan antar pulau.

Tuntutan bagi pengembangan pembangunan yang berimbang di bagian timur Indonesia tidak saja terkait dengan upaya pengembangan sumber daya manusia, tetapi juga perbaikan regulasi-regulasi yang menjamin terciptanya kesetaraan itu, selain tentunya koneksitas yang baik antara pusat dan daerah.

Terlepas dari potret retak Indonesia yang kami lihat dari timur, tentunya kami bukan orang-orang pesimis yang kehilangan harap terhadap Indonesia ke depan. Solidaritas kemanusiaan yang kami lihat dan alami melalui gerakan-gerakan seperti #SaveAru, #SaveBangka dan lainnya, setidaknya membuktikan bahwa harapan masih bertumbuh di negeri ini. Orang-orang membangun solidaritas kemanusiaan dan lingkungan tanpa harus berjumpa satu dengan lainnya.

Di banyak tempat kami temukan trend pembelaan kemanusiaan dan lingkungan mewujud dalam banyak bentuk dan media. Anak-anak muda secara sukarela mengembangkannya secara massif lintas etnis dan agama sebagai sebuah gaya hidup. Semua ini memberi harapan bagi terciptanya sebuah atmosfir baru ke-Indonesia-an kita. Tentu kita berharap, lagu Indonesia Raya masih bisa kita nyanyikan bersama secara utuh. Utuh di bibir, hati maupun perilaku kita.

 

Penulis adalah Ketua Balitbang GPM (Gereja Protestan Maluku)


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home