Loading...
ANALISIS
Penulis: Benny Susetyo Pr 10:22 WIB | Selasa, 22 Maret 2016

Membaca Tanda Zaman

Benny Susetyo Pr. (Foto: satuharapan.com)

SATUHARAPAN.COM - Ketua DPR Ade Komarudin mengingatkan, revisi UU Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota harus untuk kepentingan nasional. Revisi, kata dia, jangan dilakukan hanya untuk menjegal salah seorang calon kepala daerah tertentu. Wacana revisi UU Pilkada mencuat menyusul keputusan Basuki Tjahaja Purnama maju sebagai bakal calon gubernur DKI Jakarta melalui jalur independen. Bagi sebagian kalangan, langkah Basuki merupakan ancaman. Alasannya, syarat yang diperuntukkan bagi calon independen yang diatur di dalam UU itu tidak memenuhi asas berkeadilan.

Ketakutan akan femenena Ahok sebagai calon independen  tidak perlu dikuatirkan karena fenomena biasa dalam  ilmu pemasaran politik bagian strategi meraih kemenangan. Marketing politik yang dari istilahnya sendiri terasa sebagai contradictio in terminis (dalam istilahnya seperti ada yang kontradiktoris). Tapi sesungguhnya tidak demikianlah adanya. Strategi-strategi marketing memang sudah saatnya diterapkan dalam politik, mengingat Seiring dengan kemajuan teknologi informasi dan komunkasi, semakin terintegrasinya masyarakat global dan tekanan untuk menerapkan prinsip-prinsip demokrasi, institusi politik pun membutuhkan pendekatan alternatif untuk membangun hubungan dengan konstituen dan masyarakat luas.

Dalam konteks inilah marketing sebagai suatu disiplin ilmu yang berkembang dalam dunia bisnis diasumsikan berguna bagi institusi politik ilmu marketing biasanya dikenal sebagai sebuah disiplin yang menghubungkan produsen dengan konsumen. Hubungan dalam marketing tidak hanya terjadi satu arah, melainkan dua arah sekaligus dan simultan. Produsen perlu memperkenalkan dan membawa produk serta jasa yang dihasilkan kepada konsumen. Semua usaha marketing dimaksudkan untuk meyakinkan konsumen bahwa produk yang di-“jual” memang memiliki kualitas yang lebih baik dibandingkan produk yang dijajakan pesaing.

Metode dan pendekatan yang terdapat dalam ilmu marketing dapat membantu institusi politik untuk membawa produk politik kepada konstituen dan masyarakat secara luas. Institusi politik dapat menggunakan metode marketing dalam penyusunan produk politik, distribusi produk politik kepada publik dan meyakinkan bahwa produk politiknya lebih uuggul dibandingkan dengan pesaing. Penggunaan metode marketing dalam bidang politik dikenal sebagai marketing politik (political marketing).

Dalam marketing politik, yang ditekankan adalah penggunaan pendekatan dan metode marketing untuk membantu politikus dan partai politik agar lebih efisien serta efektif dalam membangun hubungan dua arah dengan konstituen dan masyarakat. Hubungan ini diartikan secara luas, dari kontak fisik selama periode kampanye sampai dengan komunikasi tidak langsung melalui pemberitaan di media massa. Ada lima komponen yang biasa dilakukan oleh partai politik, yaitu (Baines et al, 1999): Mengkomunikasikan pesan dan gagasan, Mengembangkan identitas jati diri, kredibilitas dan tranparansi, Interaksi dan respons dengan komunitas internal dan eksternal dengan melakukan pencitraan partai, Menyediakan pelatihan, mengolah dan menganalisis data untuk kepentingan kampanye.

Apa  yang dilakukan oleh Ahok menggunakan pendekatan POM yakni pemasaran orientasi pada market. Pendekatan dipilih karena masyarakat Jakarta kebanyakan masyarakat urban yang mengingingkan perubahan bukan pada kesetian pada Idologi. Dukungan pada figure bukan pada partai politik karena warga Jakarta haus akan perubahan, ini sebenarnya dimanfaatkan oleh Ahok menunjukkan dirinya memiliki independensi di hadapan partai politik dan figure jujur.

Warga Jakarta haus akan perubahan, mereka membutuhkan figure pemimpin mampu menjawab persoalan kehidupan mereka. Kehausan mencari pemimpin yang mampu menciptakan perubahan mendasar. Memutuskan ketergantungan terhadap permainan praktek kolusi dan korupsi yang membuat publik mencari figure. Untuk itu, semuanya bisa dimulai dari mental. Dengan meyakinkan diri bahwa kita memiliki kemampuan mengolah sumber daya dan mengoptimalkannya demi kesejahteraan rakyat. Mentalitas elite yang korup harus dibabat habis. Kebijakan yang cenderung hanya menguntungkan mereka dan kaum kaya (karena kepentingan politik dinasti) harus dienyahkan jauh-jauh. Itu semua hanya akan membuat mereka tidak akan mampu menjadi pelayan terbaik buat rakyat. Rakyat memilih pemimpin dengan visi yang jelas dan terukur.

Bukan pemimpin yang asal berjanji. Kecerdasan rakyat sangat menentukan nasib masa depan negeri ini. Perubahan Indonesia masa depan akan ditentukan pada pemimpin yang bisa mengombinasikan keberanian, kebajikan, dan kemampuan dalam tata kelola pemerintahan untuk melayani rakyat dengan sikap jujur dan tulus. Sikap jujur dalam berkekuasaan memang sering disebut sebagai sebuah kemustahilan. Namun, dalam banyak fenomena kekuasaan masih ada orang baik dan jujur di tengah kemunafikan dan keserakahan. Kita merindukan sosok pemimpin otentik dan berkeutamaan. Pemimpin yang mampu membawa menuju gerbang perubahan sesungguhnya. Seorang pemimpin yang sanggup berempati secara mendalam dengan kemauan rakyatnya. Pemimpin yang mengubah dari bangsa yang tidak memiliki kepercayaan diri menuju Indonesia yang kuat dan tangguh. Indonesia adalah bangsa besar, tetapi sering kali itu hanyalah dalam angan-angan.

Kenyataannya kita sebagai bangsa kerap masih terjajah oleh bangsa lain. Masih terlalu sedikit contoh untuk pola kepemimpinan impian yang dibutuhkan negeri ini. Justru yang banyak adalah mereka yang memimpin dengan kecenderungan layaknya seorang pebisnis. Barter kepentingan dalam dunia politik dan ekonomi justru sering kali melahirkan kebijakan-kebijakan yang menyakitkan. Sebab, tak jarang di dalamnya mengendap kepentingan yang bersifat pribadi dan golongan. Pemimpin terbaik akan mengembalikan kepercayaan diri sebagai bangsa yang luntur seiring dengan waktu. Kita bisa bangkit melalui kepercayaan diri yang kuat.

Perilaku politik para elite selama ini banyak melunturkan kepercayaan diri kita sebagai bangsa. Pemimpin hendaknya menjadi tonggak agar kita bisa kembali bangga menjadi Indonesia. Kepercayaan diri sebagai bangsa meluntur karena para elite negeri ini banyak berperan sebagai calo, bukan negarawan yang tulus. Kita bisa melihat praktik di negara yang mendeklarasikan ratusan tahun kebangkitan nasionalnya ini, yaitu bagaimana semuanya bisa dibeli dan dijual. Kebangsaan kita tak lebih dari kebangsaan upacara, bukan kebangsaan perilaku. Banyak fenomena yang bisa menjelaskan mengapa perjalanan kita sebagai sebuah bangsa sering terseok-seok di tengah jalan.

Kekayaan sumber daya alam melimpah tak kunjung bisa dinikmati demi kemakmuran rakyat, tetapi justru dikuasai oleh kepentingan golongan tertentu. Sumber daya alam yang melimpah belum benar-benar dipergunakan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat semesta. Kemiskinan, pengangguran, dan perbaikan kualitas pendidikan belum menjadi cita-cita bersama yang mendesak untuk dicarikan jalan keluar. Kebijakan publik pun tidak disusun atas dasar kepentingan publik secara sungguh-sungguh. Lahirlah kenyataan yang sering disebut orang sebagai para calo politik (rent seeker). Di balik praktik percaloan itu ada kekuatan para pemilik modal besar yang berperan. Maka, kita membutuhkan pemimpin yang tulus mengabdi untuk kesejahteraan bangsa ini. Pemimpin yang betul-betul memperhatikan nasib masa depan bangsa, bukan nasib dirinya sendiri.

Rakyat mencoba mencari figure pemimpin bukan lagi kesetian pada ideologi semata-mata melainkan pemimpin bisa menjawab kebutuhan warga Jakarta. Hal inilah dimaanfatkan dalam strategi pemasaran politik oleh Teman Ahok. Jadi apa dibuat oleh Ahok sebenarnya fenomena biasa dalam pemasaran politik memanfaat situasi ketika rakyat merindukan perubahan.

 


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home