Loading...
OPINI
Penulis: Ichsan Malik 00:00 WIB | Senin, 18 Agustus 2014

Membangun “Kekitaan” Indonesia

SATUHARAPAN.COM – Indonesia pada hakikatnya sudah retak-retak, ketika konflik masa lalunya banyak yang tidak terselesaikan. Konflik tersebut  antara lain ide Islam syariat yang dipaksakan masa  DII/TII pada tahun 1950 an, kekerasan massal  dan pembantaian pada peristiwa G-30-S tahun 1965, penembakan, penculikan, dan pembunuhan pada awal  reformasi.

Keretakan ini  sekarang semakin meluas terpicu oleh pemilihan Presiden tahun 2014 yang baru berlalu. Di masyarakat berkembang  streotip dan prasangka tentang sedang berkonfliknya antara Islam syariat , dan nasionalisme ekslusif yang diwakili oleh kubu Prabowo, serta kelompok non-Islam, Islam liberal, internasionalisme yang diwakili oleh kubu Jokowi. Padahal realitasnya kita ketahui bersama yang sedang berkonflik adalah kelompok radikal, sektarian, elit, dan sisa-sisa orde baru berkonflik dengan kekuatan rakyat kebanyakan, egaliter, pro-demokrasi, dan kekuatan kaum muda yang kreatif.

 

Gejala Psikologis Bangsa  yang Retak

Selain faktor eksternal  yang menyebabkan keretakkan bangsa akibat konflik yang tidak terselesaikan, maka faktor internalnya berasal dari gejala Psikologis suatu kelompok. Dua ahli Psikologi Sosial, Tajfel dan Turner (1990; 1994), menyatakan bahwa ada beberapa gejala di dalam kelompok yang dapat menyebabkan keretakan dan konflik.

 Gejala  pertama ditemukan oleh Tajfel dari eksperimennya, terkait dengan adanya kecendrungan  dari  individu yang berkelompok untuk  melakukan katagorisasi-katagorisasi  dalam masyarakat berdasarkan status dan kekuasaan sehingga menyebabkan adanya kelompok-kelompok berdasarkan etnik, agama, dan jenis kelamin.  Kategorisasi akan memunculkan  ingroup-outgroup pada suatu kelompok masyarakat dan setiap kelompok cenderung menganggap dirinya positif. Kondisi ini memunculkan bias dalam persepsi atau biasa disebut sebagai stereotip.

Turner, rekan Tajfel, menemukan gejala kedua yang disebut sebagai perbandiingan sosial. Ternyata selain kelompok melakukan kategorisasi, kelompok itu juga melakukan perbandingan-perbandingan dengan kelompok lainnya. Perbandingan sosial ini akan menghasilkan ingroup favouritism yaitu dengan munculnya perasaan superior dari ingroup terhadap outgroup yang akan mengakibatkan  munculnya diskriminasi. Streotip dan diskriminasi akan mendorong terjadinya konflik yang menyebabkan masyarakat menjadi terbelah.

Kondisi retak dan kemudian menjadi terbelah harus dihindarkan dalam masyarakat dan bangsa ini. Namun  apaboleh buat saat ini realitas menunjukkan bahwa keterbelahan itu tetap ada dan berakar di dalam hati para anggota kelompok-kelompok di masyarakat. Ketika ada pemicu baru, maka keterbelahan ini akan berkembang menjadi konflik terbuka dan besar-besaran.

Menambal Keretakkan

Pada negara yang beradab,  upaya untuk menyelesaikan permasalahan masa lalu dan menambal keretakan-keretakan yang terjadi pada masyarakatnya  dilakukan dengan cara pengadilan  pelanggaran HAM berat atau rekonsiliasi nasional. Persoalannya di Indonesia kedua cara ini meskipun sudah diputuskan pada awal reformasi, namun karena tidak ada kemauan politik dari penyelenggara negara maka kedua cara ini macet total, sehingga sampai saat ini kita masih terus tersandera permasalahan masa lalu kita. Ibarat luka dia terus menganga.

Cara lain yang dapat ditempuh adalah apa yang sebut sebagai gerakan budaya damai di masyarakat. Pembangunan gerakan kebudayaan untuk mengintegrasikan kembali masyarakat yang sudah terbelah secara empirik pernah dilakukan di Maluku. Ada 5 komponen dasar dari gerakan kebudayaan damai yaitu sejarah bersama, harapan, rasa saling percaya, empati, dan identitas bersama. Kelima komponen ini akan diuraikan di bawah dan juga dinamika dari kelima komponen tersebut.

Komponen pertama adalah sejarah bersama.  Sejarah yang pahit, atau sejarah yang sudah dipolitisir adalah sumber konflik. Setiap kelompok masyarakat di Indonesia seolah-olah memiliki sejarahnya masing-masing. Baik sebagai korban maupun sebagai pengorban. Ada kecendrungan  dari pemerintah yang otoriter untuk  memanipulasi sejarah. Membuat sejarah dirinya sendiri. Maka langkah awal yang penting adalah meluruskan terlebih dahulu sejarah dari keberadaan bangsa ini secara adil dan objektif. Sejarah bangsa bersifat dinamis, awalnya korban, namun dalam perkembangannya justru setelah berkuasa dia menjadi pengorban atau penindas.

Komponen kedua  adalah harapan.  Harapan pada hakikatnya adalah suatu keberanian untuk menatap masa depan, meskipun masa depan itu belum pasti. Bangsa yang terperangkap kepada kepahitan masa lalu, biasanya adalah bangsa yang idak memiliki banyak harapan, bahkan tidak berani memiliki harapan. Bangsa semacam ini selalu dihantui ketakutan akan kejadian masa lalu, selalu merasa diri adalah korban masa lalu, dan berlombalomba bahwa mereka adalah korban yang diperlakukan tidak adil. Maka hampir dapat dipastikan  semangat kebersamaan sebagai suatu bangsa tidak berkembang. Faktor pemimpin yang peka dan jauh melihat kedepan sangat dibutuhkan untuk membangkitkan harapan menatap masa depan.

Komponen ketiga adalah Rasa saling percaya (trust).  Rasa saling percaya tumbuh karena tidak ada prasangka antara kelompok. Tidak ada kelompok yang mendominasi atau menindas kelompok lainnya. Ada pengakuan terhadap identitas masing-masing kelompok, dan ada kegiatan bersama yang dilakukan oleh kelompok. Kebersamaan meskipun berbeda-beda etnik dan agama, kesetaraan meskipun ada mayoritas dan minoritas,  dan kegiatan bersama yang dilakukan dan terciptanya kompetisi yang adil  merupakan kondisi yang secara langsung dapat menumbuhkan rasa saling percaya pada kelompok-kelompok masayarakat. Kebalikannya maka sudah dipastikan masyarakat itu hidup dalam situasi yang  penuh prasangka, dan diwarnai kecurigaan.

Komponen  keempat  adalah empati.  Wujud empati adalah perasaan senasib sepenanggungan yaitu kondisi di mana setiap orang merasa memahami apa yang dirasakan oleh orang lain. Empati bukan sekedar secara kognitif dapat memahami perspektif orang lalin, tetapi juga secara emosional dapat merasakan apa yang dirasa oleh orang itu. Tanda-tanda empati sudah berkembang dimasyarakat dapat kita lihat pada dua kelompok ketika sedang berinteraksi, apakah terjadi hubungan yang bersifat terbuka, menyenangkan, serta persepsi yang objektif terhadap kelompok lainnya.

Terakhir  adalah komponen kelima yaitu identitas bersama. Pada masyarakat yang terbelah maka identitas bersama adalah puncak dari integrasi dari masyarakat. Di Indonesia Timur dikenal istilah “Torang  bersaudara” inilah yang dimaksud dengan identitas bersama. Identitas ini merupakan identitas baru di mana semua identitas kelompok yang berbeda melebur menjadi satu namun berbeda. Terjadi saling pengertian kerjasama antara semua kelompok. Setiap kelompok menghormati perbedaan yang ada pada setiap kelompok. 

Setelah terbelah kemudian terintegrasi kembali, maka setiap kelompok harus memperhatikan faktor penting yang disebut sebagai “muka sosial”. Muka sosial berkaitan dengan harga diri dan martabat, “kehilangan muka” berarti individu atau kelompok dipermalukan dan jatuh martabatnya dimuka kelompok lainnya. Menyelamatkan muka adalah hal yang sangat penting di masyarakat Indonesia. Kelompok atau individu harus didorong untuk melakukan perbaikan  dan pembentukkan diri yang baru.

Kelima komponen dasar ini apabila positif semua maka akan mampu mengintegrasikan seluruh retak-retak yang ada pada masyarakat dan akan dapat membentuk kekitaan sebagai bangsa. Namun apabila masih ada beberapa komponen yang negatif maka yang akan tercipta adalah kekitaan palsu. Seolah-olah kita satu bangsa akan tetapi terbelah-belah dan berkeping-keping.

 

Penulis adalah Ketua Institut Titian Perdamaian      


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home