Loading...
OPINI
Penulis: Mory Yana Gultom 00:00 WIB | Kamis, 23 Juni 2016

Membongkar Dosa Struktural Pendidikan

Nasib pendidikan di Indonesia sungguh memprihatinkan. Apalagi jeratan dosa struktural membuatnya makin tak berdaya. Apa yang harus dilakukan?

SATUHARAPAN.COM - Pendidikan merupakan wadah penting yang menjadi titik krusial pembentukan mental, spiritual, sekaligus intelektualitas generasi bangsa. Berbicara mengenai pendidikan di Indonesia memang tidak ada habisnya. Mulai dari prestasi-prestasi anak didik kita di tingkat nasional maupun international hingga rendahnya kualitas pendidikan di daerah terpencil.

Menurut sejarah, pendidikan itu pada awalnya bersifat sangat eksklusif dan elitis, karena hanya dialami oleh golongan bangsawan saja. Para bangsawan itu selalu mengundang guru-guru privat ke rumah, terutama untuk mengajarkan sastra dan filsafat sebagai suatu bentuk kelangenan (merenda kehidupan) karena mereka telah mengalami kehidupan yang mapan secara ekonomis, sehingga banyak waktu kosong yang dimiliki. Tradisi itu kemudian berkembang dengan hadirnya filsuf Yunani, Plato yang pada tahun 397 SM mengajarkan ilmu kepada murid-muridnya di sebuah taman bernama academe. Nama taman ini untuk seterusnya digunakan untuk menyebut jenis bentuk pendidikan, yaitu akademi.

Pendidikan jasmani, musik, dan sastra diajarkan sampai siswa berumur 18 tahun. Setelahnya mereka diwajibkan untuk memasuki dinas militer selama dua tahun. Pada umur 20 tahun mereka kembali lagi bersekolah untuk mempelajari aritmatika, ilmu ukur, astronomi, dan filsafat (R. Darmanto Djojodibroto, 2004:43).

Sesuai dengan perkembangan zaman, pendidikan yang semula eksklusif dan elitis itu kemudian berkembang menjadi pendidikan untuk semua warga. Penegasan bahwa pendidikan itu menjadi hak setiap warga terdapat pada Pasal 26 Deklarasi Universal HAM Tahun 1948 yang menyatakan: “Setiap orang berhak atas pendidikan. Pendidikan harus bebas biaya , setidaknya pada tingkat dasar dan tingkat rendah. Pendidikan dasar harus bersifat wajib. Pendidikan teknik dan profesi harus tersedia secara umum dan pendidikan yang lebih tinggi harus sama-sama dapat dimasuki semua orang berdasarkan kemampuan.”

Deklarasi Universal HAM Tahun 1948 tersebut membuka kesadaran kepada semua pemimpin negara di dunia mengenai pentingnya pendidikan sebagai jembatan emas untuk menuju kepada kehidupan yang lebih baik. Kesadaran akan pentingnya pendidikan tersebut juga dimiliki oleh para pendiri bangsa di negeri ini, seperti yang tercermin secara jelas dalam rumusan Pembukaan UUD Tahun 1945 yang mengamanatkan bahwa salah satu tugas negara adalah mencerdaskan kehidupan bangsa. Pendidikan merupakan salah satu media pencerdasan bangsa yang paling efektif dan dapat berlangsung massif.

Tugas pencerdasan tersebut kemudian dirumuskan secara jelas pada Pasal 31 UUD Tahun 1945 sebelum amandemen, yaitu: (1) Tiap-tiap warga negara berhak mendapatkan pengajaran; (2) Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pengajaran nasional, yang diatur dengan undang-undang.

 

Dosa Struktural

Pendidikan di Indonesia seharusnya mengubah mentalitas dan mengeluarkan bangsa dari keterbelakangan, jika berhasil melahirkan manusia Indonesia mencapai massa kritis yang mampu memberi arah. Kenyataannya, filosofi pendidikan kita tidak fokus. Pendidikan diselenggarakan tanpa refleksi, hanya bagian aktivisme dan kadang reaktif. Gambaran manusia Indonesia menunjukkan bahwa produk pendidikan nasional tidak membumi.

Dunia pendidikan yang diharapkan sebagai titik awal sekaligus wadah untuk memanusiakan manusia justru tercemar dengan dosa struktural. Dikatakan struktural karena telah menggerogoti hampir semua lini, mulai dari penyelenggara hingga peserta didik. 

Pertama, pendidikan masih belum terjangkau oleh semua lapisan masyarakat. Mahalnya biaya pendidikan membuat hanya kelas tertentu saja yang bisa menikmatinya. Pemerintah memang telah mengalokasikan anggaran yang cukup besar untuk sektor ini. Melalui Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 44 tahun 2012, biaya pendidikan dasar memang sudah dihapuskan. Namun pada tataran implementasi, penarikan biaya dari orang tua belum bisa dihilangkan dari sekolah yang berstatus negeri sekalipun! Swasta juga terjebak industri pendidikan. Sekolah-sekolah padat modal didirikan demi memperebutkan pangsa pasar yang jumlahnya amat kecil. Setiap awal tahun ajaran anak-anak yang tidak lolos seleksi masuk sekolah negeri terpaksa memilih swasta. Akhirnya kembali lagi pada adagium “Orang miskin dilarang sekolah”.

Kedua, dana yang sudah dianggarkan untuk menjamin hak Warga Negara agar memperoleh pendidikan (setidak-tidaknya sembilan tahun) itu sering dijadikan peluang memperkaya diri sendiri oleh oknum-oknum yang berkesempatan. Lihat saja berapa orang Kepala Sekolah, Kepala Daerah, dan Pejabat-pejabat lain yang harus berurusan dengan hukum karena menyalahgunakan dana BOS. Belum lagi yang tidak terendus oleh aparat.

Ketiga, tata kelola sekolah belum menggambarkan keseriusan kita membenahi mental generasi mulai dari pendidikan. Sekolah belum dibiasakan transparan, orangtua belum dilibatkan secara maksimal kecuali hanya untuk rapat-rapat rutin untuk sosialisasi kegiatan sekolah yang seringkali tidak ada hubungannya dengan peningkatan mutu pendidikan. Komite sekolah dipakai sebagai tangan memungut dana dari orang tua dengan berbagai alasan, sedangkan pihak sekolah bersembunyi di belakangnya. Dengan cara ini, sekolah bisa cuci tangan dari praktek punutan liar. Bayangkan, dunia pendidikan sudah terbiasa dengan cara-cara pragmatis seperti itu.

Keempat, kurangnya fasilitas pendidikan. Ini terutama dirasakan oleh sekolah-sekolah yang berada di daerah terpencil, yang tidak mendapatkan perhatian dari Pemerintah maupun Pemerintah Daerah. Jangankan faslitas internet misalnya, listrikpun belum terjangkau. Atau bahkan bangunannya masih berlantai tanah, berdinding papan, beratap rumbia, seperti yang pernah saya saksikan di daerah paling Timur Indonesia. Sementara di Jakarta perangkat UPS di sekolahnya mencapai harga miliar-an. Sekali lagi, ini di Indonesia!

Kelima, kualitas dan kesejahteraan tenaga pendidik belum sesuai dengan tugas yang harus diembannya. Tidak banyak orang Indonesia yang ingin jadi Guru. Kebanyakan malah karena “terjebak”, karena sudah kadung kuliah di Jurusan Keguruan. Selain karena bukan passion, juga karena kebanyakan guru hidupnya tidak sejahtera. Penghasilan pas-pasan, bahkan kurang, apalagi guru-guru yang mengajar di Daerah. Belum lagi yang statusnya masih honorer. Akibat lebih jauhnya, mereka tidak bisa maksimal melaksanakan tugas sebagai pendidik. Program sertifkasi yang dilakukan Pemerintah untuk menjawab persoalan inipun tak relevan. Banyak oknum yang menjadikannya hanya sebagai kesempatan menambah penghasilan, bukan peningkatan kompetensi.

Keenam, distribusi guru belum berkeadilan. Kita tidak bisa menafikan adanya kesenjangan yang sangat luar biasa antara kualitas dan kuantitas guru yang ada di Perkotaan dengan di daerah terpencil. Ini berkaitan dengan persoalan sebelumnya, yakni  kesejahteraan. Dan Pemerintah tampaknya tak berdaya mengatasi ini. Berbagia program dilakukan. SM3T, Guru Gari Depan, Indonesia Mengajar, dan banyak lagi yang sifatnya swakelola. Namun tidak (mudah-mudahan belum) memberikan perubahan signifikan. Mereka hanya bertahan dalam beberapa waktu. Umumnya kembali lagi ke kota. Hanya segelintir yang terpanggil.

Ketujuh, sistem evaluasi belajar dan kurikulum masih mengarah pada “mega proyek” Pemerintah, tidak mempercayakannya kepada sekolah/guru untuk memetakannya. Contohnya masih amat kentara dalam penyelenggaraan Ujian Nasional dan pemberlakuan kurikulum yang sulit diakrabi para penyelenggara pendidikan. Siswa seolah hanya diajari untuk menghadapi ujian, bukan mempersiapkannya menjalani kehidupan. Akibatnya orientasi belajar siswa bergeser dari jalur yang semestinya, digiring pada persaingan nilai dalam bentuk angka-angka dalam Laporan Hasil Belajar.

Terakhir, kekerasan di Lingkungan Pendidikan menunjukkan betapa abstraknya tujuan pendidikan kita selama ini. Hingga kini!

Semoga saja Pemerintah dapat membongkar dosa-dosa struktural ini, membereskannya dengan cara yang tepat dan konkret. Kelak kita dapat merayakan Hari Pendidikan Nasional di Republik ini dengan sebuah apresiasi, bukan lagi dengan masalah yang tak kunjung usai.

 

Penulis adalah Asisten Pada Ombudsman Republik Indonesia

Editor : Trisno S Sutanto


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home