Loading...
ANALISIS
Penulis: Trisno S Sutanto 00:00 WIB | Jumat, 22 April 2016

Meme Kartini

Citra tentang Kartini sekarang disebarluaskan lewat meme. Seperti apa mereka?
Kartini soal agama (Foto-foto: Istimewa)

Jakarta, Satuharapan.com – Hari Kartini memang sudah berlalu. Namun menarik untuk melihat bagaimana orang sekarang melihat figur tersebut. Dan cara menarik untuk melihatnya adalah lewat meme [baca: “mim”].

Ini memang istilah baru yang sekarang makin ngetop, terutama di kalangan Generasi-Y yang tumbuh dan besar dalam dunia media sosial. Sebab, sekalipun awalnya meme dicetuskan, empat dekade lalu, oleh pakar evolusi dari Inggris Richard Dawkins yang kontroversial, tetapi meme sekarang lebih sering dipakai kalangan ilmu-ilmu sosial.

Richard Dawkins

Dawkins mengaku, dalam buku kontroversialnya, The Selfish Gene (1976), ia mencari-cari istilah untuk merujuk pada pengganda (replicator) dalam evolusi biologis yang dapat diterapkan ke dunia sosial. Yang paling dekat adalah mimeme, dari bahasa Yunani, yang berarti “meniru”.

Dari situ lahirlah kata meme yang didefinisikan sebagai gagasan, tingkah laku atau gaya yang menular dari satu individu ke individu lainnya di dalam lingkup budaya tertentu. Bentuknya bisa macam-macam, entah itu tindakan, tulisan, gambar, ritual, simbol, dstnya. Suatu meme bertindak bak “virus akal budi”, memakai judul buku Richard Brodie yang diterjemahkan oleh Gramedia (2005), yang menyebar tanpa disadari, lalu diam-diam membentuk perilaku orang kebanyakan.

Nah, media sosial merupakan humus paling pas untuk si “virus” itu berkembang. Dalam media sosial, asal usul memang sukar dilacak. Hampir tak seorang pun sadar ketika meme tersebar, menjadi viral karena dituit dan diretuit lewat Twitter atau Instagram, bisa juga lewat Facebook atau berkembang dalam grup-grup WhatsApp yang makin menjamur. Lalu, tanpa disadari, gagasan yang diselipkan dalam meme – umumnya gambar, ditambah kata-kata yang sering jenaka, atau bisa juga nyumpah-nyumpah sembarangan – mempengaruhi orang di dalam memutuskan sesuatu atau mengambil tindakan tertentu.

"Kartini Nias": Krisis Listrik

Celakanya media sosial, pada intinya, adalah dunia yang “anarkis”. Tak ada aturan main sama sekali. Dalam media sosial, seseorang bak menjadi raja paling absolut: ia membuat, ia menyebar, dan menyebarkan ulang. Tidak seorang pun mampu menjadi “polisi” yang mengawasi lalu lintas peredaran meme, apalagi menjaga isinya. Semua kontrol ada pada si pembuat meme.

Karena itu tidak mengherankan kalau media sosial dan meme jadi bahan paling ampuh untuk kampanye. Menjelang pilkada, apalagi menjelang pemilihan umum nasional, Anda bisa meihat trafik meme meningkat drastis. Tapi, pada dasarnya, meme bisa dipakai untuk kampanye apa saja. Termasuk saat hari Kartini kemarin.

Dulu, di masa Orde Baru, diskusi paling mencuat soal hari Kartini adalah kritik tajam terhadap State’s Ibuism, yakni bagaimana sosok perempuan dibentuk oleh rezim saat itu: sebagai ibu yang taat, siap memikul beban ganda, dan berkultur Jawa. Maklum, gambar paling terkenal dari Kartini adalah perempuan berkebaya dan bersanggul. Malah dalam upacara hari Kartini di sekolah-sekolah, para siswi harus berkebaya dan bersanggul. Pun mereka yang berada di Papua yang berambut keriting.

"Kartini 2016": Pulang pagi?

Citra Kartini sekarang sama sekali berbeda. Salah satu meme terkenal adalah pandangan Kartini tentang agama: “Agama memang menjauhkan kita dari dosa tapi, berapa banyak dosa yang kita lakukan atas nama agama?” Namun ada meme lucu yang mengaitkan judul surat-surat Kartini, “Habis Gelap Terbitlah Terang”, dengan logo PLN (Perusahaan Listrik Negara). Di situ si Ibu sedang berusaha menghidupkan generator listrik, berhubung krisis listrik melanda Nias. Ini memang “Kartini Nias”.

Paling nakal adalah plesetan judul kumpulan surat Kartini. Pada Kartini 1902, judulnya sudah kita kenal: “Habis Gelap Terbitlah Terang”. Namun bagi Kartini 2016, judulnya berubah: “Pergi Gelap Pulang Terang”. Yang kontekstual dan “sopan”, adalah Kartini ber-selfie dengan figur Susi Pudjiastuti, Menteri Kelautan dan Perikanan yang membuat banyak orang terkagum-kagum, dan figur Tri Rismaharini, Walikota Surabaya. Keduanya memang layak disebut Kartini-Kartini modern!

Citra "Kartini Modern"

Saya sendiri lebih menyukai meme dari Papua: suatu “Kartini Noken”. Ini meme sederhana, namun punya pesan sangat mendalam: Noken adalah tas tradisional yang dibuat dari kulit kayut, dan sejak 2012 ditetapkan UNESCO sebagai warisan budaya yang harus dilindungi. Namun modernisasi makin menggerus tradisi Noken, dan kerap dianggap sebagai “barang kuno” yang memalukan.

"Kartini Papua": Mari pakai Noken!

Kini mama-mama di Pegunungan Tengah Papua bangkit. Mereka kembali merajut Noken dan menyebarluaskan untuk dikenal dan dipakai lagi oleh generasi muda. Maka pesannya jelas: Jika Anda ingin merayakan Kartini yang sesungguhnya, pakailah Noken! Sebab dengan memakai Noken, Anda mendukung mama-mama Papua merajut hidup, melestarikan tradisi dan pengetahuan mereka, serta lingkungan alam. Kartini toh bukan hanya milik orang Jawa!

Kalau Anda sendiri, mana meme Kartini yang paling disukai?

 

Editor : Trisno S Sutanto


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home